Jakarta Mestinya Tidak Semacet Ini
Sumber http://bit.ly/9Pyqn4
Rabu, 25 Agustus 2010 |
M Jusuf Kalla
Sebagai Wakil Presiden selama lima tahun (2004-2009), saya sungguh menikmati kenyamanan menyusuri jalan-jalan padat di DKI Jakarta dan sekitarnya. Semua jalan yang akan saya lalui sudah dibersihkan sehingga mobil yang saya tumpangi melaju tanpa macet sama sekali.
Tentu saja saya melihat macet yang pekat di kiri dan kanan jalan. Saya ikut memberi solusi, tetapi sejauh ini belum memberi hasil optimal. Ketika menyelesaikan tugas sebagai Wapres, sejumlah teman langsung bergurau, ”Selamat menikmati indahnya kemacetan Jakarta.”
Saya terbahak dan segera membuktikan ucapan itu. Saya keluar rumah dan langsung berenang di lautan macet Jakarta yang mustajab. Walau macet di jalan, perjalanan saya sedikit lancar karena masih ada mobil polisi yang mengawal. Pemandangan yang tersaji di depan mata memang sangat hebat. Terasa benar bahwa Jakarta jauh lebih macet dibandingkan dengan sebelum era 2004.
Dua cobaan
Tahun 2010 saya merasakan kemacetan Jakarta dan sekitarnya. Keadaan jadi absurd. Seorang teman bertutur. Berdomisili di Bekasi, ia berangkat menuju kantornya di kawasan Senayan rata-rata pukul 04.45. Ketika meninggalkan rumah dengan mobil, istrinya masih belum mandi sebab sibuk memandikan anaknya dan menyiapkan sarapan. Ketika semua tugas itu tuntas dan anaknya sudah berangkat ke sekolah, istrinya mandi dan bergegas menyusulnya dengan ojek. Ternyata istrinya masih bisa menyusul teman ini tak jauh dari pintu tol.
Ia baru tiba di kantornya pukul 07.45. Praktis ia menghabiskan waktu tiga jam di mobil, lebih kurang sama dengan perjalanan pesawat terbang Jakarta-Manado. Tiba di kantor, ia kehilangan sebagian energi. Banyak yang terkuras. Lalu dengan kondisi ini, bagaimana ia bekerja optimal? Pulang kantor ia juga butuh lebih kurang tiga jam di jalan. Di rumah, waktu dia untuk bercanda dengan anak istri sudah sangat sempit. Yang tinggal lelah saja.
Berpuasa di Jakarta punya dua cobaan. Yang pertama, puasa itu sendiri, yang kedua upaya pulang ke rumah untuk berbuka. Di bulan Ramadhan ini sebagian warga Jakarta membawa air minum dan kurma di mobil. Bila tiba waktu berbuka puasa, dan masih berada di laut macet Ibu Kota, ia bisa berbuka dengan minuman itu sambil makan kurma. Sebagian rekan berusia lanjut, yang kadang-kadang tak dapat mena- han kencing ketika berhadapan dengan macet yang parah, membawa botol kosong. Siap kencing di mobil kalau sudah kebelet. Terasa benar, lama-lama kota ini tak manusiawi. Warganya dipaksa menghadapi kenyataan tak mengenakkan.
Tak kurang dari enam triliun rupiah terbuang percuma per tahun di Jakarta karena warga terhadang macet. Angka sebesar itu berasal dari hitungan sederhana atas pembuangan bahan bakar secara sia-sia saban hari dan waktu yang hilang, belum lagi produktivitas yang menurun tersebab lelah di jalan. Bikin janji bertemu di Jakarta sudah mulai sulit tepat waktu.
Kemacetan lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya memang dilema. Kemacetan ini patut diakui sebagai salah satu dampak kemajuan. Warga punya daya beli mobil dan sepeda motor. Pembangunan gedung pencakar langit, pusat belanja, dan sentra hunian baru tampak di mana- mana. Masalahnya, pemerintah tak bisa mengimbangi kecepatan pertumbuhan mobil dan sepeda motor itu dengan membangun infrastruktur memadai, khususnya jalan dan pengangkut umum.
Dalam pengalaman, kemacetan akan mempercepat kemacetan baru. Dulu satu keluarga mampu masih bisa dengan satu mobil untuk dipakai ayah, ibu, dan antar anak-anak ke sekolah. Namun, karena kemacetan, keluarga mampu harus punya tiga mobil untuk masing-masing. Kalau semua mobil itu berada serempak di jalan, maka kemacetan akan cepat sekali bertambah. Karena itu, kebijakan 3 in 1 tetap penting. Begitu pula pajak progresif untuk mobil kedua dan seterusnya perlu diterapkan lagi, tetapi dengan syarat transportasi umum terus ditingkatkan.
Sejauh saya amati, setiap gubernur DKI Jakarta berupaya bangun infrastruktur. Almarhum Ali Sadikin sangat sibuk melebarkan jalan dengan memotong pagar rumah dan bangunan, yang kemudian diikuti banyak kota di Indonesia pada waktu itu: membuka akses baru, membangun jalan layang, dan mendirikan infrastruktur di kawasan permukiman padat. Ali Sadikin bahkan sudah mencita-citakan pembangunan mass rapid transport, tetapi terbatasnya anggaran membuat ia tak memiliki energi cukup untuk merealisasikannya.
Pada era Sutiyoso, ada upaya keras mengatasi kemacetan lalu lintas. Ia membangun jalur khusus bus yang fenomenal hingga kini. Ia pun nyaris membuat sejarah dengan membangun monorel. Sayang, upaya ini kandas di tengah jalan.
Menunggu Fauzi Bowo
Kini kita menunggu gebrakan Fauzi Bowo. Gubernur pengganti Sutiyoso ini sibuk dengan upaya penertiban di DKI. Ia pun berupaya merealisasikan MRT. Dengan MRT, penduduk yang berada di jalan berkurang karena berada di kawasan kereta cepat dan massal itu. Kita juga menunggu Fauzi Bowo dapat merealisasikan proyek monorel yang bertahun-tahun tertunda.
Sebetulnya proyek monorel ini jauh lebih mudah. Kalau masalahnya pada anggaran, mestinya itu bisa segera diatasi. Semasa saya Wapres, pembiayaan sebenarnya sudah teratasi dengan kesediaan bank dari Dubai mendanai investor dengan syarat ada jaminan pemerintah. Pemerintah pusat setuju menjamin setelah biaya proyek diturunkan dari 800 juta dollar AS menjadi 500 juta dollar AS dengan lebih banyak pakai produksi dalam negeri, setelah diskusi lama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyatakan persetujuannya.
Karena itu proyek DKI, maka harus ada jaminan balik dari pemprov dan persetujuan DPRD DKI. Namun, agaknya antara pemerintah provinsi dan DPRD belum tercapai kesesuaian pandangan ihwal ini sehingga proyek berhenti di jalan. Tinggallah pilar-pilar monorel jadi monumen baru kota, jadi proyek terkendala justru karena masalah teknis di DKI sendiri. Sekiranya pemda dan DPRD setuju waktu itu (2008), monorel sudah beroperasi sekarang dan pasti dapat mengurangi kemacetan.
Monorel adalah pilihan yang tepat dan cepat dewasa ini karena tak perlu pembebasan lahan ser- ta tetap mengikuti jalur jalan yang ada dan tak mengurangi luas jalan seperti busway. Saat banjir pun tak masalah sebab justru akan jadi pilihan karena tinggi. Monorel ini andalan banyak kota di ASEAN: Kuala Lumpur dan Bangkok.
Sambil menunggu proyek besar itu terlaksana, saya menggugah Pemprov DKI segera membangun beberapa proyek dengan cepat. Katakanlah membangun beberapa jalan layang di beberapa pusat macet. Lalu lebih mengoptimalkan busway. Tambah bus dalam jumlah banyak! Satu jalur busway mengambil lebih kurang 25 persen lebar jalan. Mestinya, dengan pengambilan areal itu, bus di jalur khusus ini mampu mengangkut banyak penumpang. Kalau jalan tersebut biasanya mengangkut satu juta penumpang per hari, maka bus ini mestinya mampu mengambil lebih dari tiga kali lipat dari jumlah itu. Kalau ini belum tercapai, berarti jumlah bus harus ditambah dan kapasitasnya sendiri mesti lebih besar. Jalur busway harus steril dari kendaraan lain.
Semua pengangkut umum harus dibiayai oleh pemerintah dan masyarakat sendiri. Kalau subsidi pemerintah tak cukup, maka tarif harus disesuaikan sehingga bus jalur khusus ini dapat lancar dan terjaga kelangsungannya serta pengembangannya. Karena sudah mengambil jalan umum, maka kalau tidak maksimal, bus ini justru mengurangi kepentingan umum.
Tentang tarif, saya setuju dengan pendapat bahwa tarif bus jalur khusus ini harus dinaikkan. Tarif sekarang yang Rp 3.500 mestinya dinaikkan ke angka yang bisa diterima secara ekonomi: sebutlah Rp 5.000, sama dengan tarif ojek jarak dekat. Para pengguna bus ini, saya yakin, bisa mengerti sebab penambahan tarif ini pada ujungnya akan membuat pemprov dan investor berdaya menambah jumlah bus dan menjaga layanan.
Produk dalam negeri
Mempercepat pembangunan MRT sangat penting walau tak mudah karena kita harus mengatasi sistem drainase Jakarta yang tak baik, yang selalu banjir. Begitu pula pembebasan lahan yang sulit serta mahal dan baru efektif kalau jaringan MRT meliputi sebagian besar kota. Selama pembangunan pasti kemacetan bertambah, tetapi itu jangan jadi halangan. Yang harus diperhatikan: pembangunan harus melibatkan kontraktor dan produk dalam negeri dengan biaya yang lebih efisien.
Mengenai wacana memindahkan ibu kota ke kota lain agar kemacetan Jakarta berkurang, saya kurang sependapat. Bagi saya, sungguh tak mudah memindahkan ibu kota. Jangan bandingkan dengan Malaysia dan Australia yang penduduknya cuma 20 juta jiwa dan areal terbukanya sangat luas.
Tak layak pula membuat perbandingan dengan negara yang ibu kotanya bukan di pusat bisnis, seperti AS (Washington DC), India (New Delhi), Australia (Canberra), Malaysia (Putra Jaya Kuala Lumpur), Brasil, dan Pakistan. Semuanya negara federal, sedangkan negara kesatuan seperti Indonesia, Jepang, Perancis, dan Thailand pada umumnya beribu kota di kota besar. Negara federal umumnya mendirikan ibu kota sendiri yang tak terletak di salah satu negara bagian sehingga lebih netral. Di samping itu, pada negara federal urusan bisnis dan birokrasi lainnya memang wewenang negara bagian.
Hal sangat penting yang perlu segera dipercepat ialah pembangunan rusunami agar rakyat kebanyakan hidup lebih nyaman di rumah susun yang lebih sehat dan hidup dekat tempat pekerjaan sehingga tak perlu banyak kendaraan di jalan yang menambah macet. Sangat disayangkan, Pemda DKI justru kurang tanggap, justru menyegel pembangunan rusunami yang telah berjalan sehingga semangat pengembang menyusut.
Janganlah membiarkan kehidupan di DKI ini terlalu timpang. Izin apartemen mewah kelihatan lebih mudah dibandingkan dengan rusunami. Iklan perumahan mewah yang terus-menerus akan menciptakan dampak sosial yang berbahaya apabila kampung-kampung atau sepanjang Ciliwung tak diperbaiki.
Pemerintah pusat dengan keputusan presiden telah memberi izin dan setuju semua tanah pemerintah dan BUMN di DKI bisa dibangun rusunawa dengan harga Rp 1 juta per meter persegi dan dengan bunga yang disubsidi. Sangat disayangkan juga bahwa pengembang boleh membangun terus rumah mewah tanpa wajib bangun rumah sederhana. Pemda DKI harus lebih kritis dan melihat ke depan, bukan justru menyegel dan tidak peduli. Kalau dibangun banyak rumah susun, berarti dapat ditambah akses jalan dan juga taman yang hijau untuk rakyat kurang mampu.
Tak harus macet
Ibu kota sekaligus kota besar tidak selalu macet selama diatur dengan baik. Lihatlah Tokyo dan London. Bangkok pernah macet hebat, tetapi setelah dibangun jalan layang dan monorel ia menjadi lebih baik. Begitu pula kota besar yang bukan ibu kota juga tidak dijamin tanpa macet. Surabaya, Bandung, Makassar dan Medan, juga Mumbai di India sudah macet karena pertumbuhan yang cepat. Jadi, kemacetan bukan karena ibu kota, tetapi kecepatan mobilitas tak sebanding jalan.
Hal lain: memindahkan ibu kota hanya mengurangi sedikit penduduk. Pegawai pemerintah pusat yang pindah mungkin sekitar 200.000 orang lebih, 5 persen dari jumlah pegawai negeri sipil. Masalahnya, kita mesti membangun infrastruktur baru, kantor baru, perumahan, dan sebagainya. Anggarannya bisa mencapai ratusan triliun rupiah.
Yang pindah tentu bukan hanya kantor kementerian, tetapi juga semua aparat yang terkait, seperti markas TNI, Kepolisian, Kejaksaan, DPR, MA, komisi-komisi, dan sebagainya. Membangun kantor tambahan DPR di Senayan saja butuh Rp 1,8 triliun. Bayangkan kalau membangun kompleks Senayan baru di tempat lain. Belum lagi istana.
Walaupun sebagian biaya bisa diperoleh kalau semua kantor pemerintah itu dijual ke swasta, itu berarti pada kemacetan tak ada perubahan karena kantor itu tetap sibuk. Lebih baik dana yang besar itu dipakai untuk membangun infrastruktur di Jakarta dan di daerah serta pusat bisnis baru, pendidikan, hiburan yang tersebar di kota-kota lain sehingga kegiatan yang tersebar ke daerah-daerah menimbulkan daya tarik baru, keadilan, efisiensi, serta lapangan kerja yang lebih merata dan kemakmuran yang lebih baik untuk seluruh bangsa tanpa harus bertumpuk dan macet di Jakarta
M JUSUF KALLA Wakil Presiden (2004-2009)
sebagian warga jakarta di transmigrasi aja ke kalimantan, sulawesi ato papua aja…tapi sarana prasarana disana juga harus menunjang
Yang jadi masalah adalah sikap tidak konsisten dari pengambil keputusan, contohnya proyek monorail, sudah mulai dibangun tiang pancang di daerah Senayan tapi sudah beberapa tahun terbengkalai, padahal biaya yang sudah dikeluarkan tentunya tidak kecil.
Seharusnya pemerintah (daerah/pusat) ambil alih pembangunannya waktu pihak swasta tidak sanggup.
saya barusan dari jakarta, pak anggara. sungguh, lalu lintas jakarta kok jadi makin tidak nyaman, yak. perlu ada perhatian serius nih.
Di penghujung romadhon ini,
Tiada kata yang indah selain saling maaf memaafkan di bulan suci nan fitri .Bila ada kata sikap dan pelayanan kami yang tak sepantasnya. Kami atas nama Pimpinan (dr Muhammad ali toha assegaf) dan kawan-kawan di Rumah-sehat afiat mengucapkan:
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H, Mohon Maaf Lahir Dan Batin
“Taqabbalallahu minnaa wa minkum. Taqabbalallahu yaa kariim. Waja’alnallah.
Wa iyyakum minal ‘aidiin wal faa iziin..
Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Dan Batin”
Semoga kebersamaan yang terjalin selama ini bisa memberikan keberkahan dan kebaikan untuk kita semua. Amien
Apapun kebijakannya, apapun sarananya, apapun fasilitasnya, kalau ga di dukung oleh masayarakat yang arif ga bakalan maksimal.
Tp yg utama adalah PINDAHKAN IBUKOTA. Itu saja………..
kapan jakarta terhindar dari kemacetan?
Saya juga punya pengalaman berpuasa hari pertama di Jakarta. Waktu jam buka dah masuk, saya masih di tol, persiapan buka ga ada, yg nawarin jg ga ada [anehh….kalo dikampung saya ga gini]. Satu jam berselang baru bs batalin puasa. Yg pasti tak terlupakan pas moment turun bus saya jatuh dr tangga bus itu tanpa ada yg nolongin…..oh Jakarta ! [sapa suruh datang Jakarta yaaahh]