Daerah Kelabu, Benarkah?


Kemarin ada berita tentang seorang anak yang diperkosa di Depok oleh teman Facebooknya dan kemudian ada berita yang menyusul bahwa anak tersebut dikeluarkan dari sekolah. Saya nggak akan membahas mengenai soal dikeluarkannya anak tersebut atau sudah diterima kembali di sekolahnya. Yang saya bahas adalah soal adanya identitas si anak terkait dengan peristiwa kejahatan tersebut.

Anak – anak, khususnya anak yang berhadapan dengan hukum, memiliki perlindungan khusus terkait dengan penyebaran identitas untuk menghindari labelisasi. Untuk itu Pasal 64 ayat (2) huruf g dan Pasal 64 ayat (3) huruf b UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa “perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi”. Begitu juga dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga disebutkan bahwaWartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

Salah satu bot teman baik saya, kemudian meneruskan gerundelan saya ke seorang redaktur di Tempo. Yang kemudian dijawab melalui BBM yang diteruskan kepada saya, kira – kira isinya begini:

Konsultasi sama Dewan Pers: Daerah Kelabu. Dilihat saja antara kepentingan publik dan perlindungan identitas korban. Dari sisi publik ada keperluan untuk mengetahui sekolah mana yang tidak aman dari ancaman pemerkosaan. Kalau kepentingan publik tidak ada, ya tak usah disebut jelas identitas sekolahnya

Saya bisa mengerti konteksnya jika pelaku pemerkosaan adalah oknum dari sekolah dan kemudian apabila sekolah tersebut berusaha menutup – nutupi perbuatan kriminal tersebut. Namun dalam kasus ini, kondisi tersebut sama sekali tidak ada, bahkan dari kronologi yang dibuat oleh Tempo sendiri, korban ditemui bukan di sekolahnya. Lalu kenapa identitas sekolah tersebut harus dimuat? Bukankah itu juga membongkar atau mendorong orang untuk dapat mengetahui identitas anak tersebut?

Jadi, masihkah daerah kelabu?

2 comments
  1. Daerah kelabu? Kepentingan publik? Alasan!

    Redaktur Tempo, silakan jawab ini: bila murid sekolah itu adalah anakmu sendiri, keponakanmu, atau putri pemimpin redaksimu, apakah kau akan tetap menerbitkannya seperti itu?

    Jujur sajalah menjawabnya!

    Aku yang cuma “wartawan kampungan” di koran yang hidupnya “Senin Kamis” saja tahu kode etik pers, masak redaktur media sekelas Tempo—media yang paling kukagumi di Indonesia, dan juga banyak dipuja publik—bisa menjawab begitu? Andai redaktur Pos Kota atau Lampu Merah yang mengatakannya, tak apalah.

    Tak tahu aku apakah Dewan Pers bekerja menjalankan fungsinya untuk mengawasi berita-berita semacam ini, atau mereka asyik main Twitter di akun pribadinya dan menunggu sampai ada warga yang mengadu secara resmi kepada Dewan Pers.

    Aku di pihakmu, Bang Anggara!

  2. sufehmi said:

    Informasi nama sekolah itu adalah informasi yang sangat penting bagi publik — kita jadi tahu sekolah mana yang, alih-alih melindungi muridnya, malah menyalahkan muridnya atas musibah yang diterimanya.

    Kepentingan nama baik sekolah jauh lebih penting daripada welfare muridnya. Disgusting.

    Kelakuan institusi-institusi seperti ini perlu dibeberkan dengan sedetail-detailnya kepada publik.

    Thanks.

Leave a comment