Archive

Tag Archives: UU

Alkisah, saya pernah baca buku karya Prof JE Sahetapy yang berjudul “Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana”. Di buku tersebut dijelaskan bahwa konon di Inggris pada masa lalu hampir semua kejahatan di hukum mati, termasuk pencurian. Namun, pencurian justru marak ketika penjahat tersebut di hukum mati. Jadi pada saat semua orang nonton penjahat – penjahat itu dihukum mati maka para pencuri beraksi untuk melakukan kejahatannya.

Read More

Pecandu Narkotika di Indonesia seringkali mengalami stigmatisasi sehingga harus menerima perlakuan sebagaimana layaknya penjahat kelas berat.

Dengan diundangkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga tidak menjawab persoalan dari Pecandu Narkotika. Dalam UU 35/2009 Pecandu Narkotika orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Namun susahnya buat para pecandu atau Penyalah Guna Narkotika juga ternyata ditempatkan pada posisi yang sulit. Sebagai bagian dari Victimless Crime, seharusnya para pecandu atau penyalahguna tidak ditempatkan sebagai suatu kejahatan, kecuali apabila kelompok tersebut terbukti menjadi pengedar bagian dari jejaring peredaran Narkotika.

Read More

Bisa – bisanya kamu berpendapat seperti itu, seperti bukan orang yang mengerti persoalan HAM saja dirimu ini, begitu kata kawan saya yang mempertanyakan pendapat saya soal Poligami

Lah, apa saya salah berpendapat bahwa Poligami itu boleh? Kalau memang boleh masak saya harus jawab tidak boleh? Maklum sebenarnya saya menjawab pertanyaan kawan yang cukup mudah namun rumit itu. Pertanyaannya adalah: Sepakatkah saya dengan Poligami? Jawaban saya adalah menurut saya Poligami itu boleh.

Read More

I. Pendahuluan

Informasi adalah suatu mantra sakti yang tersebar luas di abad ini. Karena informasi inilah menyebabkan banyak pemerintahan di dunia ini berupaya keras untuk mengekang laju deras arus informasi dengan bermacam cara. Karena sebuah informasi bahkan dapat menyebabkan suatu rejim menjadi jatuh berguguran. Informasi juga bisa menjadikan seseorang yang dikenal bersih tiba – tiba duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa koruptor di Pengadilan. Namun informasi juga diperlukan oleh para eksekutif di korporasi – korporasi bisnis, baik kecil ataupun besar, untuk menentukan strategi bisnis yang apik untuk dapat menjangkau para konsumennya.

Read More

Secara umum UU 12/2006 terdiri dari 8 Bab dan 46 Pasal. Namun ada beberapa hal yang penting untuk dicermati diantaranya adalah Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 yang kesemuanya mengatur tentang siapa yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia. Sementara terkait dengan syarat dan tata cara pewarganegaraan yang penting untuk dicermati adalah Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 , Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 21. Ketentuan penting yang menyangkut bila Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraan untuk dicermati adalah Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 29. Sementara ketentuan tentang proses re-naturalisasi yang harus dicermati adalah ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34. Sementara untuk bagian Tindak Pidana yang penting diingat adalah Pasal 36, Pasal 37 dan Pasal 38.

Hal yang paling kontroversial dan dianggap merugikan kaum perempuan pada UU 12/2006 ini adalah ketentuan Pasal 26 ayat (1). Ketentuan ini dipandang menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki – laki karena perempuan yang terikat dengan perkawinan dengan laki – laki warga negara asing dianggap mengikuti kewarganegaraan suaminya jika hukum di negara suaminya menyatakan kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami akibat perkawinan tersebut. Di satu sisi karena prinsip UU ini hanya mengakui kewarganegaraan tunggal namun di sisi sebaliknya justru tidak menghormati pilihan bebas dari perempuan warga negara Indonesia untuk mengganti dan/atau tetap menjadi warga negara Indonesia. Sebagai catatan ketentuan yang sama berlaku juga bagi suami warga negara Indonesia yang memiliki istri warga negara asing.

Terkait:

Melihat UU Kewarganegaraan Yuk (Bagian I)

Jadi, soal kewarganegaraan di Indonesia pada dasarnya sudah ada beberapa peraturan yang mendahului diantaranya yaitu: (1) UU tentang Pengaturan tentang Kekaulanegaraan Belanda bukan Belanda tertanggal 10 Februari 1910, (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1947 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara Indonesia, (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung, (6) Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan (7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Read More

Sesat Pikir UU PPHI

 

UU PPHI yang diundangkan pada 2004 telah menjadi pranata hukum yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia. UU ini menggantikan UU No 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan UU No 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan swasta. UU ini menurut para pembuatnya akan lebih mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan murah bagi para pencari keadilan di lapangan hubungan industrial. UU PPHI ini juga memperkenalkan berbagai pranata atau mekanisme baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial. UU ini sekaligus juga mengintrodusir berbagai jenis dan bentuk perselisihan seperti perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Read More