Sesat Pikir UU PPHI


Sesat Pikir UU PPHI

 

UU PPHI yang diundangkan pada 2004 telah menjadi pranata hukum yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Indonesia. UU ini menggantikan UU No 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan UU No 12 Tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan swasta. UU ini menurut para pembuatnya akan lebih mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat dan murah bagi para pencari keadilan di lapangan hubungan industrial. UU PPHI ini juga memperkenalkan berbagai pranata atau mekanisme baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial. UU ini sekaligus juga mengintrodusir berbagai jenis dan bentuk perselisihan seperti perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Dengan diperkenalkannya pranata dan jenis perselisihan yang baru, UU ini diindikasikan justru berpotensi mempersulit dan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa bagi para pencari keadilan, baik dari sisi pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, dan asosiasi pengusaha.
Di dalam mediasi jenis sengketa yang bisa diselesaikan adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam konsiliasi jenis sengketa yang bisa diselesaikan adalah perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam arbitrase jenis sengketa yang bisa diselesaikan adalah perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam Pengadilan Hubungan Industrial jenis sengketa yang bisa diselesaikan adalah dlam tingkat pertama perselisihan hak dan perselisihan PHK serta untuk tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

 

1. Sulitnya menentukan jenis perselisihan

 

Pembedaan jenis perselisihan terutama perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan PHK membawa konsekuensi tersendiri dalam strategi memilih mekanisme penyelesaian sengketa. Dalam situasi khusus, mungkin mudah bagi para pihak untuk melakukan identifikasi dalam menentukan jenis perselisihan. Tetapi dalam banyak kasus akan sulit untuk menentukan identifikasi jenis perselisihan. Seperti misalnya dalam perselisihan PHK adalah sangat umum terkait juga dengan perselisihan hak dan atau perselisihan kepentingan. Misalnya perselisihan hak yang diikuti dengan perselisihan PHK atau perselisihan kepentingan yang diikuti dengan perselisihan PHK atau yang lebih ekstrim perselisihan hak yang diikuti dengan perselisihan kepentingan yang kemudian diikuti pula dengan perselisihan PHK.
Oleh karena itu pembedaan jenis perselisihan malah memperumit proses pemilihan mekanisme penyelesaian. Sangat jarang ditemui ada jenis sengketa yang berdiri sendiri. Dari sini sebetulnya rumit bagi para pihak menentukan strategi pemilihan mekanisme penyelesaian sengketa. Mekanisme melalui mediasi diindikasikan kuat akan menjadi pilihan yang paling disukai oleh para pihak. Karena dalam mekanisme mediasi semua jenis sengketa diakomodasi, dan tentunya membawa konsekuensi tersendiri akan munculnya ketidakpuasan bagi para pihak yang bersengketa

 

2. Tumpang tindih ketentuan dalam perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

 

Diaturnya perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan dalam UU PPHI malah mengabaikan mekanisme penyelesaian sengketa yang telah diatur secara inheren dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan juga UU Ketenagakerjaan.
Dalam UU PPHI yang menjadi yurisdiksi perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan adalah tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban dalam kegiatan keserikat pekerjaan. Dalam pelaksanaan hak dan kewajiban yang berhubungan dengan kegiatan keserikat pekerjaan dalam satu perusahaan adalah mengenai pembuatan perjanjian kerja bersama dan mewakili buruh/pekerja dalam lembaga bipartit, maka beberapa ketentuan yang mengatur sengketa antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan adalah:
UU NO 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 14, pasal 35, dan pasal 36
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, dan Pasal 122
Dari titik pijak ini sebetulnya pengaturan tentang penyelesaian sengketa antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan tidak perlu diatur dalam UU PPHI. Karena sudah sangat jelas mekanisme hak dan kewajiban untuk menjalankan kegiatan keserikat pekerjaan dan bagaimana sengketa tentang kegiataan keserikat pekerjaan dapat diselesaikan.

 

3. Mungkinkah Perselisihan PHK berdiri sendiri
Dalam konteks hubungan industrial, kerapkali PHK dapat terjadi baik PHK yang dilakukan oleh pengusaha ataupun PHK yang dilakukan oleh pekerja/buruh. Dalam konteks yang lebih luas, terjadinya PHK selalu didahului dengan perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan. Tidak pernah PHK terjadi secara tiba-tiba tanpa ada persoalan yang mendahului sebelumnya.
Dari sini tidak bisa dipahami dasar argumentasi bahwa perselisihan PHK dijadikan suatu perselisihan yang berdiri sendiri, terkecuali dalam hal bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk adanya PHK namun belum terdapat kesepakatan dalam penentuan besaran jumlah pesangon yang akan diterima oleh pekerja/buruh. Dalam konteks ini, perselisihan PHK seharusnya tidak dijadikan suatu bentuk perselisihan tersendiri

 

4. Sesat pikir ADR/APS

 

UU PPHI, ini memperkenalkan kembali bentuk-bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lama. Namun sekali lagi para pembuat UU PPHI ini tidak memahami prinsip dasar dari Alternatif Penyelesaian Sengketa yang bersifat “kerelaan” serta “win-win solution” dan bukan “kewajiban” serta “zero sum game”. Dalam UU PPHI ini APS diatur bersifat sebagai “kewajiban”, sehingga secara langsung malah membunuh sifat kerelaan dari para pihak untuk menyelesaikan sengketanya secara damai karena peluang untuk mencari jalan tengah menjadi hilang. Pemberian wadah dan pengaturan secara khusus APS ini diindikasikan kuat tidak akan memberikan proses penyelesaian damai, malah bersifat sebagaimana layaknya sidang pengadilan biasa dengan diaturnya hukum acara dalam mediasi, konsiliasi, dan arbitrase yang akan menimbulkan praktek “zero sum game”. UU PPHI ini juga tidak membuka kemungkinan adanya APS non permanen yang mempunyai kekuatan eksekusi serta tidak mengakomodir penggunaan bentuk-bentuk APS yang lain, seperti “mekanisme enquiry, mediasi-arbitrase, mediasi-konsiliasi” dalam proses penyelesaian sengketa.
Mekanisme APS ini yang diatur dalam UU PPHI ini sebenarnya hanyalah perbaruan dari peraturan yang lama dan bukannya memperkenalkan mekanisme baru yang lebih mudah dan cepat dalam proses penyelesaiannya. Kalau disimak lebih jauh sulit untuk menemukan perbedaan prinsipil antara mekanisme triparti dengan mekanisme mediasi/konsiliasi atau mekanisme P4D/P4P dengan arbitrase. Sulit untuk menemukan perbedaan prinsipil selain perbedaan teknis antara tripartit dengan mediasi/konsiliasi dan P4D/P4P dengan arbitrase. Yang relatif baru dari UU PPHI hanyalah Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang ditempatkan sebagai salah satu kamar dari pengadilan umum.
Di masa depan, penggunaan prinsipil dari APS ini sebaiknya memang diatur dalam UU, namun penggunaan teknis dan bagaimana bentuk-bentuk APS harus diatur dalam PKB antara pengusaha dan serikat buruh/serikat pekerja. Sehingga para pihak dapat secara kreatif menentukan berbagai bentuk dan mekanisme penyelesaian sengketa.

 

5. Mediasi yang tidak memfasilitasi

 

Hal yang paling membingungkan adalah konsep mediasi yang diperkenalkan dalam UU PPHI ini. Mediasi yang diperkenalkan dalam UU PPHI ini tidak akan menimbulakan mediasi yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk dapat berunding. Tetapi mediator menjadi figur sentral dikarenakan adanya bentuk quasi putusan “anjuran” yang dikeluarkan oleh mediator. Dalam pengalaman praktis, mediasi yang selama ini dipraktekkan melalui lembaga tripartit lebih berfungsi sebagai quasi hakim dibandingkan bertindak sebagai fasilitator. Hal ini akan lebih rumit dengan munculnya PERMA tentang mediasi yang mengharuskan adanya mediasi dalam pengadilan sebelum pemeriksaan pokok perkara. Jadi akan ada dua mediasi yang dua-duanya tidak ada praktek mediasi yang memfasilitasi.
Di ranah hukum, mediasi tidak mengenal anjuran. Peran mediator hanya sebatas memfasilitasi, para pihaklah yang diharapkan menemukan solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi. Peran mediator haruslah pasif. Mediasi dalam UU PPHI ini peran mediator sangat aktif dan tidak pasif serta menjadi titik sentral bagi para pihak, karena filosofi yang dianut oleh mediasi dalam UU PPHI adalah filosofi “zero sum game”

 

6. Dimana tempat arbitrase non permanen
Meski Arbitrase sudah dikenal dalam UU yang lama, namun arbitrase diperkenalkan lagi pada UU PPHI ini dengan yurisdiksi hanya pada perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh/serikat pekerja dalam satu perusahaan. UU ini juga melarang dengan tegas adanya bentuk arbitrase lain yang dibentuk oleh para pihak yang berselisih, dalam konteks ini UU PPHI kalah maju dengan UU tentang Arbitrase dan APS yang membolehkan adanya arbitrase non permanen selain BANI. Jika dalam UU yang lama kemungkinan dibentuknya arbitrase non permanen masih dimungkinan (meskipun tidak pernah dipergunakan oleh para pihak), tetapi UU PPHI malah menutup sama sekali adanya arbitrase non permanen. Dalam konteks APS, harus dibuka peluang untuk diakomodasinya arbitrase non permanen sekali lagi untuk membuka peluang damai bagi para pihak yang berselisih. Arbitrase non permanen mengharuskan para pihak untuk bernegosiasi dari mulai hukum acara hingga ke pilihan “wasit”-nya. Dan ini memaksa para pihak yang berselisih untuk terus menerus berkomunikasi untuk mencari berbagai titik temu. Lalu apa alasan tidak dibukanya arbitrase non permanen?

 

7. Pengadilan Hubungan Industrial yang non impartial

 

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang mulai diperkenalkan diindikasikan akan menjadi arena pengadilan yang non impartial (memihak). Meskipun semangat memasukkan unsur masyarakat perlu diapresiasi, namun dikuatirkan memasukkan unsur masyarakat yang dari unsur pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh akan terjadi bias keberpihakan. Sangat diragukan hakim ad-hoc baik dari unsur pengusaha atau serikat pekerja/serikat buruh memahami dengan baik berbagai prinsip-prinsip hukum umum. Ini jika hendak dilihat dari sisi kualitas, apalagi dari sisi kuantitas, sejumlah besar hakim ad-hoc dari unsur serikat pekerja/serikat buruh yang terpilih adalah mewakili KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) suatu serikat pekerja yang disponsori oleh pemerintah. Apakah yang hendak diharapkan dari suatu serikat pekerja yang “sangat kuning” dan tidak punya platform hukum serta anti korupsi yang tegas, dengan kata lain, sangat dikuatirkan hakim ad-hoc dari KSPSI ini tidak mumpuni dari sisi kualitas. Kalau dari sisi ini maka komposisi hakim di PHI adalah sebagian besar adalah pengusaha 2 dan pemerintah 1 (ini kalau majelis hakimnya 3 orang). Ini cerminan bagaimana suatu Majelis Hakim pada PHI bisa sangat memihak kepada salah satu kepentingan. Hakim karir juga masih diragukan kemampuan dan kredibilitasnya, masih menjadi rahasia umum jika mafia peradilan masih marak dan bersliweran di seluruh pengadilan di Indonesia, termasuk di Pengadilan Anti Korupsi (lihat kasus Harini). Pertanyaan besarnya apakah virus korupsi ini sudah terjangkit pada PHI, walahuallam.

Advertisement
3 comments
  1. beritanya masihj kurang.saya sangat membtuhkan lebih banyak lagi tentang prosedur arbitrase brdsarkan UU No. 2 tahun 2004 yang lebih rinci beerta penjelesannya, termasuk juga hambatan2 yang dihadapi dalam menyelesaikan perselisihan hubugan industrial dengan cara arbitrase.

  2. Salam keadilan….
    Ass.wr.wb dan salam sejahtera bagi kita semuanya..saya adalah seorang mahasiswa fakultas hukum diUMSU Medan..saya punya tugas kuliah tentang pengadilan PPHI khususnya tentang proses beracara dipengadilan.Kalau boleh saya ingin minta tolong agar diberikan materi yang dimaksud..boleh dikirim ke email saya…..Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

  3. Ani said:

    PPHI selalu menghasilkan keputusan yg berfihak pada pengusaha… pemerintah harus segera membenahi UU yang mengatur hukum ketenagakerjaan karena saat ini pihak pekerja yg selalu di rugikan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: