Menggugat Peran Kalangan Advokat dalam Reformasi Hukum
Menggugat Peran Kalangan Advokat dalam Reformasi Hukum
Tulisan diambil dari situs http://www.komisihukum.go.id
oleh: Frans Hendra Winarta
(Desember 2003)
Satu hal yang menyebabkan proses penyelesaian krisis multi dimensi di negara kita menjadi berlarut-larut adalah terjadinya kekacauan hukum (judicial disarray). Karena itu salah satu jalan keluar dari masalah krisis multi dimensi ini adalah perlu dilakukan reformasi dalam bidang hukum. Yang dimaksud dengan reformasi hukum adalah perubahan dan pembaharuan total terhadap seluruh sistem hukum (legal system) dan penegakan hukum (law enforcement), terutama terhadap lembaga penegak hukum kita seperti hakim, jaksa, polisi dan advokat. Hal ini harus dilakukan mengingat selama ini merekalah yang sebenarnya sumber dan turut menjadi bagian dari terjadinya kekacauan hukum tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hukum kita selama ini lebih banyak diintervensi oleh kepentingan politik dan ekonomi sehingga keadilan tidak lebih dari sekadar barang komoditas yang diperjualbelikan. Lembaga pengadilan sebagai instrumen utama penegakan hukum telah dijadikan “pasar” untuk memperjualbelikan keadilan dan menjadi sumber korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Demikian pula nilai-nilai keadilan telah dicampuradukkan dengan berbagai bentuk intervensi kekuasaan maupun intervensi komersial.
Ukuran menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu perkara dipandang hanya dari kacamata politis dan ekonomis dan hal ini kerap dianggap sah karena mekanisme penentuannya telah memenuhi standar legal formal. Yang membuat keadaan sistem hukum kita semakin parah adalah bahwa praktek-praktek curang tersebut di atas dilakukan secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dan mereka dikenal dengan sebutan “mafia peradilan” . Menurut Daniel S. Lev, mafia peradilan adalah “after all a working system that benefits all its participants. In some ways, in fact, for advocates, who otherwise are excluded from the collegial releationships of judges and prosecutors, it works rather better and more efficiently than the formal system.” (Buku Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Advokat Indonesia Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Hukum di Indonesia, (Jakarta: 2001), hal. 11).
Sedangkan praktek-praktek koruptif yang sering mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai “judicial corruption”. Dalam Dekalarasi International Bar Association (IBA) pada konferensi dua tahunan (17-22 September 2000) di Amsterdam, berdasarkan rekomendasi para pakar hukum Center For the Independence of Judges and Lawyers (CIJL), disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat/pengacara dan hakim).
Tidak dapat dipungkiri bahwa advokat pun secara langsung maupun tidak langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan dan judicial corruption. Padahal dapat dipastikan bahwa posisi advokat dalam sistem hukum kita mempunyai peran yang vital dan krusial karena hanya advokatlah yang memiliki akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi hukumnya. Namun yang terjadi adalah bahwa sekarang profesi advokat lebih dikenal sebagai “broker” perkara yang berdiri tepat di antara kliennya dan aparat penegak hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan. Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya perlahan diganti dengan peran “mendekati” aparat penegak hukum agar perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apa pun. Advokat yang seharusnya berperan secara konsisten menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan dan judicial corruption.
Keadaan tersebut didukung pula oleh iklim budaya hukum masyarakat Indonesia dimana mereka lebih menghendaki agar perkaranya dapat dimenangkan dengan cara apa pun tanpa mempedulikan nilai keadilan dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Celakanya, budaya ini telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia berpuluh-puluh tahun lamanya.
Demikian pula peranan pers (wartawan) dan media massa yang tidak kalah pentingnya. Mereka malahan turut berperan mendukung terciptanya keadaan tersebut di atas, dimana mereka lebih cenderung untuk memuat berita-berita yang menonjolkan para advokat yang turut terlibat dalam lingkup mafia peradilan dan judicial corruption. Akibatnya masyarakat lebih mengenal para advokat yang melakukan praktek-praktek curang tersebut ketimbang para advokat yang tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keadilan dan keadilan.
Melihat gambaran tersebut di atas memang sudah saatnya kita sadar bahwa negara kita harus melakukan reformasi total, terutama di bidang hukum. Untuk memperbaiki keadaan tersebut di atas memang bukanlah pekerjaan mudah. Upaya melakukan reformasi hukum perlu dukungan dari semua pihak yang terkait, terutama political will dari pemerintah mengingat pemerintahlah yang memiliki kekuatan memaksa untuk memberantas KKN dan praktek-praktek curang di lembaga peradilan.
Bagaimana dengan peran advokat? Apa saja yang dapat dilakukan seorang advokat dalam reformasi hukum, mengingat selama ini advokat pun secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam praktek mafia peradilan dan judicial corruption.
Peran advokat dalam reformasi hukum ini dapat dilakukan antara lain dengan ikut menentukan kebijakan dalam sistem peradilan. Hal ini didasari oleh gagasan bahwa advokat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan itu sendiri. Yang melandasi timbulnya gagasan ini adalah karena advokat merupakan salah satu pihak (stakeholder) dalam sistem peradilan sehingga pandangannya mengenai sistem peradilan harus diperhatikan.
Selain itu, timbulnya gagasan ini juga karena alasan bahwa advokat memiliki kewajiban moral untuk ikut memastikan bahwa prinsip – prinsip peradilan yang baik harus dipenuhi dalam sistem hukum yang ada, misalnya advokat harus memastikan bahwa sistem administrasi yudisial (administration of justice) memenuhi prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah sebagaimana ditetapkan secara tegas dalam undang-undang. Selain itu, advokat dalam menjalankan fungsinya berkewajiban pula untuk mengupayakan peradilan yang adil dan benar (fair trial).
Hak atas fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak) adalah sebuah norma dalam hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang dirancang untuk melindungi individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenang-wenang atau perampasan atas hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan lainnya. (Lihat: Fair Trial: Prinsip-prinsip Peradilan yang Jujur dan Tidak Memihak, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997).
Namun, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa peran advokat dalam reformasi hukum tidak akan berjalan baik apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat dan terus-menerus terhadap perilaku dan etika para advokat. Tugas pengawasan ini merupakan tanggung jawab organisasi advokat karena eksistensi organisasi advokat erat kaitannya dengan sejauh mana fungsi-fungsi advokat dapat dijalankan oleh profesi tersebut. Tugas dan tanggung jawab organisasi advokat tersebut dapat kita lihat lebih jelas dalam IBA Standards for the Independence of the Legal Profession yang memberikan gambaran umum mengenai peran dan fungsi organisasi profesi advokat, yaitu antara lain sebagai berikut:
“The functions of the appropriate lawyers’ association in ensuring the independence of the legal profession shall be inter alia:
e. To promote free and equal access of the public to the system of justice, including the provision of legal aid and advice;
f. To promote the right of everyone to a prompt, fair and public hearing before a competent, independent and impartial tribunal and in accordance with proper and fair procedures in all matters;
g. To promote and support law reform, and to comment upon and promote public discussion on the substance, interpretation and application of existing and proposed legislation;
h. To promote a high standard of legal education as a prerequisite for entry into the profession and the continuing education of lawyers and to educate the public regarding the role of a lawyers association.”
Dengan melihat ketentuan tentang tanggung jawab dan fungsi organisasi advokat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa organisasi advokat juga harus mendukung reformasi hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap perilaku dan etika para advokat. Dalam konteks inilah peran kode etik advokat mengemuka dan menjadi alat untuk monitoring perilaku advokat untuk memastikan kualitas pelayanan, integritas dan membela kepentingan masyarakat di bidang hukum dan peradilan. Selanjutnya, untuk tetap mempertahankan kualitas para anggotanya, sebuah organisasi advokat harus memperhatikan kompetensi intelektual para anggotanya agar lebih baik lagi mutu pelayanannya kepada masyarakat. Proses ini dikenal sebagai proses Continuing Legal Education (CLE).
Dengan adanya pengawasan yang ketat, sistem rekrutmen yang tidak koruptif, program training, dan program CLE yang dilakukan secara konsisten oleh organisasi advokat diharapkan akan tercipta advokat-advokat yang tidak hanya memiliki ilmu pengetahuan yang luas tapi juga memiliki moralitas yang baik pula. Sehingga mereka tahu akan tugas, fungsi dan perannya sebagai seorang advokat yang profesional, yang mempunyai komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut, yang memiliki pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan kebenaran serta yang tidak selalu hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu sudah merupakan keharusan bagi setiap advokat untuk mendukung dan turut berperan dalam reformasi hukum saat ini.