Tentang Hak Tolak Wartawan
Tulisan ini sebenarnya diinspirasi oleh tulisan dari rekan Ali Juliarno tentang “Apakah Hak Tolak Wartawan Bersifat Mutlak”. Oleh karena itu aku ingin memberikan tanggapan dari tulisan tersebut
Dari beberapa kelompok profesi, maka profesi advokat, dokter, notaries, rohaniawan, dan wartawan mempunyai keistimewaan dari sudut perundang-undangan juga dari sudut yurisprudensi. Keistimewaan tersebut diperoleh dari suatu prinsip hukum yang dikenal dengan nama “verschoningrechtigden” atau mereka yang wajib menyimpan rahasia yang dipercayakan kepadanya. Hal ini menjadi titik penting sehingga perlu dicantumkan dalam kode etik masing-masing profesi tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan hal ini dapat ditemukan pada Pasal 170 KUHAP dan Pasal 120 KUHAP.
Hak Tolak dalam konteks kehidupan pers adalah sebagai suatu inovasi hukum yang telah dikenal sejak UU No 11 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pers dan kemudian diperkuat lagi kedudukannya dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hak Tolak menjadi satu titik penting dalam memahami makna kemerdekaan pers sebagaimana dapat dilihat dari Pasal 28 F UUD 1945, Pasal 19 DUHAM, Pasal 19 ayat (2) KIHSP yang diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005, Pasal 14 dan Pasal 23 ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Definisi dari hak tolak sendiri berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud dari kedaulatan rakyat yang berasaskan pada prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (Pasal 2). Ketentuan ini harus dibaca senafas dengan Pasal 4 yang menyebutkan bahwa Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Untuk itu salah satu dari fungsi Hak Tolak adalah agar pers dapat berperan untuk mampu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam kasus korupsi sebagaimana dikutip dalam tulisan rekan Ari Juliano bahwa Jaksa Agung menyampaikan keprihatinannya terhadap wartawan yang “memburu” Dharsono (Ketua DPRD Banten) hanya untuk kepentingan pemberitaan saja tapi tidak mau melaporkan keberadaan Dharsono itu kepada aparat penegak hukum. Padahal, menurut Jaksa Agung, setiap warga negara memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila mengetahui ada tindak kejahatan. Dalam kasus ini rekan Ari Juliano mendasarkan pendapatnya bahwa Jaksa Agung harus meminta pengadilan untuk mencabut hak tolak dan kemudian menggunakan pasal 221 ayat (1) KUHP bila wartawan tetap menolak menyebutkan keberadaan sumber berita. Rekan Ari Juliano mendasarkan diri pada penggunaan Pasal 221 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang pada pokoknya mengatur bahwa barangsiapa yang dengan sengaja: (i) menyembunyikan pelaku kejahatan atau orang yang dituntut karena kejahatan; atau (ii) memberi pertolongan kepada pelaku kejahatan untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat yang berwenang, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal sembilan bulan penjara.
Penggunaan ketentuan ini sangat berbahaya dari sisi kemerdekaan pers, berdasarkan putusan MA No 1608 K/PID/2005, MARI telah menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan condition sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum karena tanpa kebebasan pers maka kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat menjadi sia-sia. Untuk itu tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum. Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain
Untuk itu penggunaan hak tolak jelas tidak bias dicabut begitu saja oleh pengadilan atas nama penegakkan hukum dengan kata lain hak tolak ini bersifat mutlak karena berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum (Pasal 8).
Kalau hak tolak ini diabaikan, maka mudharatnya akan lebih banyak dibanding manfaatnya, kita bisa melihat bagaimana pengadilan memutuskan tentang pemberitaan bohong ketika wartawan tetap memegang teguh tentang hak tolak. Demikian juga dengan pengungkapan kasus korupsi ke publik akan lebih sulit disamping tidak ada whistle blower act, orang yang mengadukan korupsi ke media menjadi takut, karena hak tolak wartawan akan dengan semena-mena dicabut oleh pengadilan.
Pers berfungsi untuk memberikan segala peringatan untuk pemerintah, jadi di sini wartawan berhak menyembunyikan dan memberikan hak tolaknya jikalau pemerintah tidak bisa mencari pelaku kenapa wartawan bisa dan kenapa mesti wartawan yang di salahkan ? memang yang gaji wartawan pemerintah.
hoooooooooooooooooy aku lagi pusiang
@heroy
🙂
@bersemi3456
santai aja
Saya rasa, anda mesti melihat penjelasan Pasal 4 ayat 4 UU 40 Tahun 1999. Di sana disebutkan Hak tolak itu tidak mutlak. Ini perlu ditekankan karena statement anda pada paragraf terakhir juga cukup “berbahahaya”. Penjelasan UU 40 1999 mengatakan sederet tujuan diberikannya hak tolak yang pada intinya adalah untuk kepentingan nara sumber. Dijabarkan lebih luas pada akhirnya memang untuk kebebasan pers jugalah, yakni agar pers bebas. Kalau narasumber selalu diketahui identitasnya, maka kepentingan umum seperti mereka para informan korupsi, mereka yang memberi keterangan akan adanya kejahatan, dll akan terancam. Tapi memberikan hak tolak secara mutlak pula berbahaya. Absolute power, siapapun pemegangnya berpotensi bahaya. Ini hukum besi. Ada kepentingan umum juga yang lebih besar yakni keamanan dan keselamatan negara dan ketertiban umum. Nah tiga hal itu tentu tidak bisa seenaknya diklaim oleh negara seperti yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam kasus di atas. UU sudah mengantisipasi itu, dan menurut saya sudah baik sekali, yakni hak tolak DAPAT [huruf besar dari saya] dibatalkan, hanya dengan putusan pengadilan.
Diletakkan dalam kasus itu, maka sudah benar cara pikir bahwa jika Jaksa Agung ingin informasi itu, dia bisa saja minta pengadilan untuk membatalkan hak tolak, tentu saja karena ada jaksa, pastilah kasusnya kasus pidana. Nah mesti hati hati juga apakah Jaksa itu pejabat penyidik atau bukan, karena di sana disebutkan bahwa hak tolak dapat digunakan ketika dimintai keterangan oleh penyidik dan atau ketika menjadi saksi di pengadilan. Pada umumnya, yang namanya penyidik adalah kepolisian, jadi di level kepolisianlah hak ini juga sah digunakan. Tentu kita mengenal penyidik PNS yang lain dan pejabat penyidik seperti KPK. Kejaksaan pada dasarnya adalah penentut, prosecutor. Tapi dalam kasus korupsi jaksa juga dapat menyidik, oleh karenanya sah sah saja Jaksa minta dikasih tau informasinya. Sementara itu sah sah saja si wartawan tidak mau kasih informasi. Lantas bagaimana kalau wartawan kasih informasi, alias tidak menggunakan hak tolak? Secara hukum juga sah saja. Kenapa? Karena konsepsi hak itu dapat digunakan maupun tidak. Bukan pelanggaran hukum. Kalaulah ada, maka pelanggaran etika saja. Ia dan medianya menjadi tdak lagi dipercaya oleh narasumber.
Penutup, untuk hak tolak, haruslah pengadilan yang membatalkannya, dan belum tentu pengadilan akan membatalkan, karena belum tentu pengadilan berpendapat suatu kasus membahayakan kepentingan dan keselamatan negara dan ketertiban umum.
Tabik
Manunggal K. Wardaya
kuliahmanunggal.wordpress.com
Pingback: World Editor Forum: Drone Bisa Mengancam Demokrasi | Blognyakrisniy