Putusan Mahkamah Konstitusi Ultra Petita?
Putusan MK soal UU KPK dan UU KKR menebarkan kontroversi di kalangan para ahli ahli hukum di Indonesia. Sebagian kalangan ahli hukum menganggap MK telah melakukan ultra petita atau melebihi apa yang dimintakan oleh pemohon. Kalangan DPR juga menganggap MK telah melebihi kewenangan yang telah diberikan baik oleh UUD 1945 ataupun UU
Terlepas dari kontroversi tersebut, maka perlu ditilik apa dan bagaimana kewenangan dari MK yang didapat baik oleh UUD 1945 ataupun oleh UU Mahkamah Konstitusi.
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:
• Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
• Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
• Memutus pembubaran partai politik
• Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
• Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh MK tetapi tidak dimiliki oleh MK adalah :
• Contitutional question
seorang hakim (diluar hakim konstitusi) meragukan konstitusionalitas suatu norma hukum yang hendak diterapkan dalam suatu kasus konkret, sehingga sebelum memutus kasus dimaksud hakim yang bersangkutan mengajukan permohonan (pertanyaan) terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi perihal konstitusionalitas norma hukum tadi
• Constitutional complaint
Seorang warga negara mengadu ke Mahkamah Konstitusi bahwa tindakan atau kelalaian suatu pejabat negara atau pejabat publik telah melanggar hak konstitusionalnya sementara segala upaya hukum biasa yang tersedia sudah tidak ada lagi
Peranan Mahkamah Konstitusi sendiri sangat penting, mengingat Mahkamah Konstitusi telah menyatakan dirinya sebagai penjaga konstitusi melalui proses contitutional review pada pasal 50 UU Mahkamah Konstitusi. Pernyataan ini tentunya membawa angin baru, karena berdasarkan UU MK proses contitutional review hanya dapat dilakukan setelah adanya Perubahan III UUD 1945.
Berbagai putusan MK telah mempengaruhi norma dan sistem hukum di Indonesia. Meski tidak secara tegas memiliki kewenangan legislasi, akan tetapi sesungguhnya MK memiliki kewenangan legislasi terbukti dengan berbagai munculnya norma hukum baru di Indonesia dari berbagai putusan MK melalui penafsiran MK terhadap konstitusi. Selain itu MK juga sedang dalam perjalanan sebagai penafsir tunggal konstitusi. Hal ini terjadi bukan merupakan keanehan, karena wewenang yang diberikan oleh UUD 1945 adalah mengadili pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.
Kewenangan dasar MK ini yang kemudian menjadi titik permasalahan oleh banyak ahli hukum di Indonesia dan juga DPR. MK dianggap oleh beberapa kalangan telah melakukan apa yang didalam hukum dinamakan ultra petita. Tetapi pertanyaannya benarkah MK telah melakukan ultra petita? Tidakkah MK hanya berusaha menjaga konstitusi dari berbagai anasir-anasir yang tidak diperlukan dalam suatu sistem hukum? Oleh karena itu penting untuk melakukan pembedahan hukum dengan kacamata yang jernih.
Dalam hukum acara perdata (yang masih diwarisi dari HIR/RBg buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda), hakim tidak dibenarkan memutuskan melebihi apa yang dimohonkan oleh penggugat/tergugat. Hal ini justru berbeda dengan mekanisme hukum dalam hukum acara pidana. Jika hakim melebihi apa yang dimohonkan oleh penggugat/tergugat maka putusannya disebut dengan ultra petita dan putusannya (tentu saja) telah melawan hukum.
Pada hakekatnya HIR/RBg (Hukum Acara Perdata) begitu pula BW (Hukum Perdata) keberlakukannya di Indonesia berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945. Tetapi tidak pernah muncul UU yang mengatur keberlakuan kedua produk hukum kolonial seperti WvS (KUHP) yang keberlakuannya diatur melalui UU No 1 Tahun 1946. Karena itu kedua produk ini sebenarnya hanya berstatus rechtbook (kitab hukum) dan bukannya wetbook (kitab undang-undang). Hal ini berbeda dengan status yang disandang oleh WvS (KUHP) yang menyandang status wetbook Tentu saja meski berstatus rechtbook keberadaan keduanya tetap diperlukan karena bagaimanapun juga harus ada prosedur beracara di dalam pengadilan.
Akan tetapi, akan menjadi permasalahan apabila MK berpegang kaku pada ketentuan HIR/RBg yang berstatus rechtbook tersebut. Permasalahan konstitusi pada dasarnya bersifat unik dan khusus oleh karena itu tidak mungkin dapat diselesaikan hanya berpatokan pada HIR/RBg yang sudah out of date tersebut. Akan sangat riskan apabila prosedur acara penafsiran kontitusi diletakkan pada HIR/RBg.
Dalam memutuskan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, MK tidak bisa hanya berpatokan pada ketentuan yang terdapat dalam HIR/RBg. Dalam hal ini permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar MK harus berupaya menemukan beberapa hal yaitu:
1. Menemukan dan/atau menafsirkan suatu norma konstitusi
2. Mengangkat norma tersebut menjadi operasional dalam suatu norma hukum
3. Menafsirkan apakah suatu norma hukum dalam undang-undang bersesuaian dengan norma hukum dalam konstitusi
4. Menyatakan apakah suatu produk undang-undang mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku secara hukum
Dalam melakukan tugasnya MK tentu saja harus melihat dan menafsirkan seluruh norma hukum yang terdapat dalam suatu undang-undang tidak hanya melihat norma hukum yang terdapat dalam suatu permohonan saja, karena apabila ini diikuti secara ketat akan terjadi suatu produk undang-undang yang berlaku seperti zombie dimana roh dari undang-undang tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi badan/wujudnya yang tampil melalui undang-undang masih berlaku. Undang-undang yang akhirnya menjadi zombie ini pernah dimohonkan pengujiannya ke hadapan MK dan MK dalam putusannya telah mencabut nyawa dari UU tersebut.
Dari titik ini rupanya MK memberi perhatian khusus supaya undang-undang tidak hanya menjadi zombie saja apabila suatu ketentuan dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum lagi. Perhatian inilah yang rupanya hendak ditonjolkan oleh MK dalam memutus UU KKR. Karena ketentuan yang dimohonkan oleh para permohon merupakan roh/nyawa dari UU KKR, sehingga apabila roh ini saja yang dicabut dan bukan roh + badan yang dimatikan maka kemungkinan besar UU KKR hanya akan melengkapi dan/atau menambah koleksi zombie UU di Indonesia.”
Lalu bagaimana dengan nasib pengadilan Tipikor, MK rupanya telah melakukan penafsiran terhadap ketentuan konstitusi yang berbunyi ”…..dibentuk oleh undang-undang”. Berangkat dari penafsiran ini maka MK menyatakan tidak boleh ada diskriminasi penegakkan hukum anti korupsi di negeri ini karena akan berakibat tidak adanya kepastian hukum di Indonesia. Karena pengadilan tipikor dibentuk oleh UU KPK maka pengadilan tipikor hanya akan menerima perkara korupsi yang diajukan oleh KPK. Sementara pengadilan negeri hanya akan menerima perkara korupsi yang non KPK. Diskriminasi ini sudah terjadi dari awal dan sudah disadari oleh MK, oleh karena itu MK menafsirkan sekaligus memutuskan bahwa pengadilan tipikor haruslah tidak diskriminatif dan menimbulkan dualisme penegakkan hukum anti korupsi. Diskriminasi dan dualisme ini harus diakhiri dengan membentuk UU Pengadilan Tipikor yang compatible dengan UUD.
Mengenai eksekusi pembubaran pengadilan tipikor yang ditunda, bukankah banyak pengadilan di Indonesia yang juga bisa melakukan penundaan eksekusi baik dalam perkara pidana, perdata ataupun dalam perkara lain dan dalam hal ini telah terjadi secara umum dan jamak? Lalu mengapa eksekusi yang tertunda ini menjadi masalah besar atau ”dibesar besarkan” oleh DPR dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)? Tidakkah irama yang dimainkan DPR dan PERADI ini seirama dengan permainan para koruptor yang tidak menghendaki adanya pengadilan tipikor?
Eksistensi pengadilan tipikor sebenarnya secara hukum mirip dengan zombie, karena sudah tidak mempunyai dasar hukum lagi akan tetapi secara sosiologis, pengadilan tipikor masih eksis melalui penundaan eksekusi yang dinyatakan oleh MK dalam putusannya. Penundaan putusan ini bukan sesuatu yang tidak berdasar atau ilegal akan tetapi sesuatu yang legal atau berdasarkan hukum. Oleh karenanya penundaan eksekusi ini tidak boleh menjadi pemicu atau upaya yang akan melegalkan koruptor untuk melawan kembali.
Untuk itu, mari kita lihat kembali ke arah mana MK (dan bersama-sama dengan MA) akan membawa penegakkan hukum di Indonesia.
MK dalam memutuskan suatu yang diajukan oleh siapapun tentu tidak akan serta merta akan memutuskan begitu saja, akan tetapi melalui pertimbangan hukum yang cukup mendalam oleh seluruh hakim konstitusi yang ada, untuk itu tidak ada semacam pengkooptasian putusan yang akan merugikan bagi seluruhnya. niat dan ketulusan dari MK harus diberi aplos oleh seluruh kalangan, karna dari hari inilah kita bangsa indonesia paling tidak telah belajar untuk menjaga agar konstitusi sebagai staatsfunmental norm tetap terjaga.
Assalamu’alaikum.
Perbedaan antara Mk dengan pengadilan-pengadilan biasa (so called ex nederland occ.), adalah jelas. Dia adalah pengadilan kontemporer. Perkara judicial review, misalnya, baru muncul di kasus Marbury v. Madison di US 1803. Kemudian, berdasarkan ide Hans Kelsen, MK ada pertama kali di Austria awal abad 20.
Jadi, tidak ada hubungannya adagium ‘ultra petita’ yang diajarkan para leluhur hukum kontinental dengan ini. Coba kita baca Pure Theory of Law-nya kelsen. Lagipula, sebaiknya kita mencoba untuk memasuki paradigma baru konstitusionalisme, dimana suatu perkara Jud Review tidak mematok berdasarkan ‘apa permintaan plaintiff’ (dlm hal ini pengaju perkara J Review), tapi ‘apa norma dasar dalam konstitusi’. Jadi, tidak perlu ada istilah ultra petita di pengujian konstitusi, karena patokannya memang bukan tuntutan dari pemohon, tetapi konstitusi itu sendiri, from where the authorization given from.
Trims atas kesempatannya, kalau boleh please reply tanggapan ke email saya, sebab ini berkaitan dg skripsi saya. Nice to have a contact! Wassalamu’alaikum
mengenai ultra petita, memang benar tidak ada aturan khusus yang membolehkan ataupun tidak memperbolehkan MK melakukan suatu keputusan yang ultra petita. namun harus kita kembalikan lagi kepada hukum acara Mahkamah Konstitusi. Disitu dijelaskan kalau MK dapat melakukan suatu hak uji materiil, semua kasus yang akan diajukan harus diajukan oleh orang yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh UU tersebut. Jadi tentu saja MK jangan aji mumpung. mumpung ada kasus masuk memutus sesuatu yang menguntungkan lembaga MK sendiri.
Dalam Hukum Administrasi Daerah, sebenarnya ultra petita diperbolehkan namun penggunaannya penggunaannya harus dilakukan seminimal mungkin agar nantinya tidak mengarah pada reformatio in pries.
soal ultra petitta, ada pendapat seperti ini kalau dalam permohonan, pemohon meminta putusan seadil-adilnya maka sebetulnya pengadilan berhak memutuskan diluar petitum yang diminta
pembaruan hukum di indonesia sulit dapat dilakukan secara maju, karena sistem hukum di indonesia masih harus diperbaiki. contoh KUHP sampai detik ini dari tahun 1982 sampai sekarang belum dirubah yang banyak adalah rancangan KUHP saja.
salam
asa
coba anda cari tentang bangalore principle dan temukan jawaban lebih lanjut tentang ultra petita…
@yasir
terima kasih 🙂
adanya petitum ex aquo et bono dengan sendirinya telah memberikan ruang gerak bagi hakim utk memutus apapun menurut prinsip keadilan yang dimiliki dan diyakini oleh hakim berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Konvensi menaruh petitum memohon putusan seadil-adilnya dgn sendirinya menjustifikasi hakim memberikan putusan di luar petitum-petitum kongkrit yg dimintakan pemohon/penggugat. Jd dgn UU MK baru yang melarang hakim MK membuat ultra petita tetap tdk relevan selama pemohon/penggugat mencantumkan petitum ex aquo et bono, kecuali hal ini tdk dituliskan olehnya, maka dgn sendirinya hakim dpt terikat dgn petitum2 kongkrit yg dimintakan.