Tentang Pencabutan Pasal Penghinaan Presiden
Mahkamah Konstitusi sekali lagi telah menorehkan sejarah baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dengan putusannya bernomor 013-022/PUU-IV/2006. Berdasarkan putusan tersebut delik penghinaan terhadap kepala negara yaitu pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Delik penghinaan terhadap kepala negara ini merupakan delik formal dan biasa yang artinya sepanjang unsur-unsur deliknya terpenuhi maka lengkaplah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang tersebut dan untuk tindak pidana jenis ini, Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak perlu membuat pengaduan untuk memproses tindak pidana ini ke hadapan hukum. Kepolisian Negara RI dari sisi hukum dipandang cukup untuk langsung memproses tindak pidana ini tanpa menunggu persetujuan dari Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Delik ini paling sering dipakai oleh aparat kepolisian untuk memproses para aktivis demokrasi yang mengkritik pemerintah melalui beragam media untuk mengekspresikan pendapat atau kritikan para aktivis tersebut. Pasal ini sejatinya dibuat untuk melindungi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan Indonesia terhadap praktek-praktek buruk kolonialisme Belanda di Indonesia. Tak heran, apabila setelah kemerdekaan, penggunaan pasal – pasal penghinaan terhadap kepala negara ini mendapat kritik dan kecaman secara meluas.
Delik – delik penghinaan terhadap presiden tersebut adalah
Pasal 134
Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun atau pidana dengan paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
Pasal 136 bis
Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya
Pasal 137
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana dengan paling banyak tiga ratus rupiah
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan perncarian tersebut
Dalam memutuskan permohonan pengujian KUHP terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ini, Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusannya berdasarkan pendapat dari Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA dan Prof. Dr. JE Sahetapy, SH, MA. Prof Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa arti penghinaan dalam Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP harus mempergunakan pengertian yang berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-321 KUHP. Dan dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dalam masyarakat demokratis maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah dan untuk itu tidak perlu ada delik penghinaan khusus terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Sementara Prof JE Sahetapy menyatakan bahwa batu penguji terhadap keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP adalah Pasal V UU No 1 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa ”Peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Dengan batu penguji tersebut maka Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP menjadi tidak relevan lagi dalam demokrasi reformasi.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa sejak kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar, maka Presiden dan Wakil Presiden tidak boleh mendapatkan perlakuan istimewa hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Selain itu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat tergantung pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan dan juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap.
Mahkamah Konstitusi juga menegaskan pendapatnya tentang upaya pembaharuan hukum pidana yang terdapat dalam R KUHP tidak boleh memuat ketentuan-ketentuan yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP, dikarenakan Mahkamah Konstitusi memandang bahwa Indonesia adalah suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan penggunaan pasal-pasal tersebut dapat menghambat proses demokrasi.
Secara khusus MK juga memberikan pendapatnya tentang pasal 207 KUHP yang bunyi pasalnya adalah sebagai berikut
Pasal 207
Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Catatan khusus MK tentang Pasal 207 KUHP dalam putusannya No 013-022/PUU-IV/2006 bahwa dalam hal pemberlakuan Pasal 207 KUHP, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penuntutan terhadapnya hanya dilakukan atas dasar pengaduan. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi menempatkan Pasal 207 ini sebagai delik aduan. Aparat penegak hukum baru bisa memproses pelanggaran atas Pasal 207 ini setelah ada pengaduan dari penguasa. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan, penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHP oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP
Setelah munculnya putusan MK tentang delik penghinaan terhadap kepala negara muncul pendapat yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden masih bisa melaporkan tindak pidana penghinaan dengan menggunakan ketentuan pidana tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah atau badan umum atau menggunakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Bab XVI Tentang Penghinaan mulai dari pasal 310 – 321. Pendapat inilah yang dianut oleh aparat pemerintah sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Hukum dan HAM RI segera setelah MK mengeluarkan putusannya tersebut, pendapat ini juga dianut oleh sebagian besar para ahli hukum pidana dan kelompok masyarakat hukum di Indonesia.
Dalam menilai delik ini sebaiknya dilihat kembali konteks pendapat MK tentang Pasal 207 KUHP, meskipun Presiden dan/atau Wakil Presiden masih bisa melaporkan tindak pidana penghinaan akan tetapi dasarnya adalah harus ada pengaduan terlebih dahulu dari Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tentunya akan memberikan konsekuensi hukum bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden harus memberikan kesaksiannya ke depan Pengadilan sebagai saksi korban. Selain itu sebenarnya MK secara implisit menyatakan bahwa ketentuan – ketentuan tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat tergantung pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan dan juga berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap. Oleh karena itu, penggunaan ketentuan pidana dalam hal penghinaan terhadap pemerintah dan/atau pejabat pemerintah yang sah harus dihindari oleh aparat penegak hukum.
Masalah yang lebih rumit akan muncul jika menggunakan delik penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 – 321 KUHP. Jika aparat penegak hukum menggunakan pasal – pasal ini untuk memproses tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden maka akan sungguh menggelikan. Karena delik ini biasanya digunakan apabila ada “serangan” atau penghinaan secara pribadi oleh orang lain. Masalahnya adalah bagaimana memisahkan Soesilo B. Yudhoyono dan M Jusuf Kalla sebagai pribadi dan Soesilo B. Yudhoyono dan M Jusuf Kalla sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden RI. Tentunya akan sulit untuk memisahkan peran tersebut karena ekspresi ketidakpuasan yang diwujudkan dalam sesuatu bentuk yang dapat dianggap penghinaan bagaimanapun juga muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan yang dipimpin oleh keduanya. Disamping itu juga akan muncul ketidakseimbangan hukum dimana korbannya adalah seseorang yang menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan pelakuknya adalah warga negara biasa. Meski hukum mengasumsikan adanya keseimbangan akan tetapi pada kenyataan tidak pernah tercapai yang dinamakan keseimbangan hukum.
Dari titik pandang ini sebenarnya merupakan suatu kemustahilan apabila aparat penegak hukum hendak memproses tindak pidana penghinaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 – 321 KUHP, yang ditujukan kepada seorang Soesilo B. Yudhoyono dan M Jusuf Kalla yang kebetulan menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden RI.
Persoalan mendasar adalah apakah setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden masih pantas untuk membuat pengaduan tindak pidana penghinaan terhadap mereka? Tentunya dari sudut pandang kepentingan demokratisasi, kebebasan berekspresi, dan kemestian adanya kepastian hukum maka seseorang warga negara Indonesia yang menduduki jabatan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sangat tidak pantas baik menurut norma hukum ataupun norma kepantasan yang berlaku di suatu negara demokrasi melakukan pengaduan adanya penghinaan yang dilakukan seorang warga negara Indonesia terhadap diri Presiden dan/atau Wakil Presiden.