Menyoal RUU Perubahan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers


Tulisan ini juga bisa dilihat di hukum online di sini

Pendahuluan

Masyarakat Pers Indonesia sekali lagi dikejutkan dengan berita tentang munculnya RUU Perubahan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (untuk selanjutnya disebut dengan RUU Perubahan UU Pers). Setelah sekian lama hanya menjadi rumor, maka kemunculan RUU Perubahan UU Pers ini langsung mengundang kontroversi di tengah masyarakat pers. RUU yang sejatinya digagas oleh Dr. Sofyan Djalil saat menjabat Menteri Komunikasi dan Informasi segera mengundang penolakan dari berbagai pihak. Penolakan tidak hanya berasal dari kalangan organisasi wartawan seperti AJI, akan tetapi juga datang dari berbagai kalangan lain seperti DPR dan Dewan Pers. RUU ini dipandang akan mengembalikan pers ke dalam suasana penuh pengaturan sebagaimana yang pernah dialami oleh pers di masa sebelum hadirnya UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Menurut Heru Hendratmoko, Ketua Umum AJI Indonesia, RUU ini akan mengembalikan peran pemerintah sebagai pengontrol dari pers. Hal ini terlihat dari munculnya Peraturan Pemerintah yang akan menjadi peraturan pelaksana apabila RUU tersebut telah menjadi UU.

Dari titik ini penting melihat bagaimana politik hukum yang melatar belakangi pembuatan RUU tersebut dan ancaman apa yang berpotensi timbul apabila RUU ini diundangkan menjadi UU

Problem Paradigma

RUU Perubahan UU Pers ini mengandung problem paradigma, apabila dalam UU Pers, meski belum cukup jelas, paradigma yang dianut adalah self regulating society, maka paradigma yang dianut oleh RUU Perubahan UU Pers ini tidak lagi self regulating society dan meletakkan pengaturan serta kontrol tersebut ke tangan pemerintah. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan-ketentuan dalam RUU Perubahan tersebut bukan memperkuat peran Dewan Pers dan/atau organisasi jurnalis dan media namun malah memperkuat peran pemerintah dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pers. Munculnya, setidaknya tiga peraturan pemerintah dalam RUU ini bisa menjadi indikasi awal dari menguatnya keinginan pemerintah untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Dalam profesi yang lain, fungsi pengawasan, pada tahap penegakkan etika dilakukan oleh organisasi profesi, akan tetapi dalam RUU ini fungsi penegakkan etika profesi dilakukan melalui tangan pemerintah.

Problem Inkonsistensi

RUU Perubahan UU Pers ini mengandung masalah inkonsistensi sejak awal. Inkonsistensi ini teerlihat dari definisi pers yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka (1) RUU Perubahan UU Pers tersebut

UU No 40/1999 tentang Pers

RUU Perubahan UU Pers

Pasal 1 angka 1

Pers adalah lembaga social dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia

Pasal 1 angka 1

Pers adalah lembaga nir-laba dan/atau badan hukum dan/atau badan usaha serta wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, radio, televise, dan perangkat multimedia

Dalam kedua definisi tersebut, RUU Perubahan UU Pers mendefinisikan bahwa pers adalah sebuah subyek hukum yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Definisi ini menjadi rancu ketika muncul ketentuan lain dalam Pasal 3 ayat (2) RUU Perubahan UU Pers yang menyebutkan

“Disamping fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pers nasional juga berfungsi sebagai badan usaha”

Lebih rancu lagi ketika ketika lihat pembahasan dalam Pasal 9 ayat (3) dan (4)

(3) “Setiap perusahaan pers wajib memenuhi standar persyaratan perusahaan pers”

(4) “Ketentuan lebih lanjut tentang standar persyaratan perusahaan pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah”

Dalam ketentuan yang terkait ini terlihat jelas inkonsistensi dari RUU Perubahan UU Pers ini. Jika pers didefinisikan sebagai subyek hukum dan bentuk badan hukumnya bisa bermacam-macam dari Yayasan, Koperasi hingga PT. Maka akan bertabrakan dengan ketentuan dalam UU Yayasan dan juga UU Koperasi. Kedua UU ini justru mengatur sifat kedua badan hukum ini tidak sebagai badan usaha yang mempunyai kepentingan/motif ekonomi.

Persyaratan pengaturan tentang standar perusahaan pers juga terlampau melangkahi ketentuan yang terdapat dalam berbagai ketentuan misalnya ketentuan dalam UU PT, UU Yayasan, UU Koperasi, dan berbagai bentuk badan hukum lainnya yang diatur dalam KUHPerdata maupun KUHDagang.

Jika pemerintah bermaksud mengatur tentang standar perusahaan (termasuk perusahaan pers) maka pemerintah harus mengaturnya melalui UU dan bukan melalui PP. Ini berarti Pemerintah harus merevisi berbagai peraturan yang terkait dengan badan hukum.

Problem Kontrol dan Sensor

Melalui RUU Perubahan UU Pers, pemerintah bermaksud meletakkan kontrol kembali terhadap kehidupan pers. Kontrol tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (2) jo ayat (5)

(2) ”terhadap pers tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”

(5) ”dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pers yang memuat berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan atau bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan atau membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional”

Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (5) ini sangat longgar karena sampai saat ini tidak ada penjelasan resmi baik dalam konteks UU maupun dalam berbagai putusan pengadilan tentang apa yang dimaksud dengan:

  1. berita atau gambar atau iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau;
  2. mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan atau;
  3. bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat dan atau;
  4. membahayakan sistem penyelenggaraan pertahanan dan keamanan nasional

Ketentuan karet yang diadopsi dari KUHP dan RKUHP ini yang kemudian justru menyeret Teguh Santosa, Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online dan juga Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy ke depan pengadilan, serta berpotensi untuk menyeret ”Teguh” dan ”Erwin” lainnya ke depan pengadilan

Tafsir merendahkan, mengganggu, bertentangan, serta membahayakan tersebut justru merupakan tafsir sepihak dan berpotensi besar mengganggu kebebasan berpendapat terutama kebebasan pers. Dalam negara hukum, tafsir demikian justru tidak diperkenankan. Apalagi rumusan ini bertentangan dengan niat dan maksud dari Perubahan II UUD 1945, TAP MPR No XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005.

Kontrol Hak Jawab.Hak Koreksi, dan Kewajiban Koreksi

Dalam RUU Perubahan UU Pers ini mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi diakui namun pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Mekanisme hak jawab ataupun hak koreksi sebenarnya ada pada tataran etika akan tetapi dalam konteks Indonesia Hak Jawab dan Hak Koreksi telah menjadi prinsip hukum untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan pers yang keliru.

Pengaturan tentang Hak Jawab dan Hak Koreksi serta Kewajiban Koreksi ini seharusnya diatur oleh Dewan Pers secara baku mengingat ketiga pranata etik ini telah menjadi pranata hukum.

Dalam konteks hukum setidaknya dalam kasus Tommy Soeharto Vs. Gatra, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat melalui putusannya No 619/Pdt.G/1999/PN Jkt.Pst telahm memberikan guideline tentang pengaturan Hak Jawab. Dalam kasus tersebut PN Jakarta Pusat menyatakan bahwa

“Hak Jawab diberikan pada kesempatan pada halaman yang sama atau ditempatkan pada letak yang menarik perhatian, maksimum sepanjang berita yang dipertanyakan atau dipersoalkan. Penyiaran Hak Jawab wajib dilakukan segera oleh media siaran, jika dipersoalkan. Penyiaran Hak Jawab dilakukan segera oleh media siaran, jika perlu berulang”

Kasus ini bisa landmark tentang bagaimana pemuatan hak jawab yang seharusnya dan tidak perlu pengaturan lebih jauh melalui Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana dari RUU Perubahan atas UU Pers ini.

8 comments
  1. peyek said:

    heran mas, kenapa peraturan selalu dibuat dengan paradigma sedemikian, apa pembuat kibijakan itu tidak mengajak insan terkait dalam penetapan kebijakannya, seharusnya kebijakan yang diambil bisa memfasilitasi semua komponen yang berpengaruh dalam lingkup kebijakan itu kan?

  2. peyek said:

    lha herannya kenapa segala peraturan yang diambil para penentu kebijakan itu selalu menimbulkan paradigma ya mas?

    apa mereka tidak mengajak insan terkait dalam mengambil kebijakan seperti itu?

    *komen kedua nih mas, setelah yang pertama nggak masuk*

  3. kopidangdut said:

    Coba baca pandangan lain dari Firman Firdaus di
    daus.trala.la

  4. anggara said:

    @ peyek

    Waduh, biasanya pemerintah membuat suatu RUU masih berorientasi pada kekuasaan, dari pembuatan RUU saja usul inisiatif DPR dengan usulan pemerintah masih berbanding jauh

    @kopidangdut
    Saya sudah baca koq, terima kasih atas kunjungannya

  5. kopidangdut said:

    @ anggra: terima kasih juga sudah mengunjungi blog saya. Salam kenal..Viva Justisia..!

  6. wah,, hebat!!
    kebetulan sya juga berminat menulis tentang hak jawab, mohon bantuannya, kalau ada soft copy putusan kasus Tommy Soeharto Vs. Gatra, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat melalui putusannya No 619/Pdt.G/1999/PN Jkt.Pst,, boleh dong saya dikasih copynya,, atau jika sempat, silahkan mampir di rumah kecil saya,, saya sendiri baru belajar menulis,, terimakasih.

  7. anggara said:

    @ratu tebu
    waduh kebetulan saya nggak punya putusannya, itu ada di buku kutipan putusannya. saya sudah berkunjung tuh, menarik tulisan-tulisannya

  8. fitri AKHFI said:

    makasii

Leave a reply to fitri AKHFI Cancel reply