Tentang Fictie Hukum


Pernah dengar istilah ini tidak yaa “jika sebuah UU sudah diundangkan, maka semua orang dengan sendirinya sudah dianggap tahu” Menurut teman saya yang dosen itu, nama asasnya adalah fictie hukum.

Nah, bisa anda bayangkan, anda tidak tahu atau setidak-setidaknya tidak membaca, atau setidak-tidaknya tidak mengerti tentang hukum (misalnya tata cara penangkapan) dan lalu anda ditangkap (dengan asumsi anda sudah tahu prosedurnya) apa yang akan dilakukan? Bukankan itu agak sewenang-wenang?

 

Lalu, bagaimana dengan contoh wordpress yang doyan melakukan suspend tanpa peringatan terlebih dahulu hanya karena mereka sudah memasangnya di ToS

 

atau bagaimana, jika anda dikeluarkan dari keanggotaan milis ataupun sebuah forum maya tanpa peringatan terlebih dahulu, karena anda melanggar ToS?

 

Silahkan dinilai sendiri, tulisan ini terinspirasi dari kegiatan blogwalking

Advertisement
31 comments
  1. calupict said:

    Latinnya “Ignorare Legis est lata Culpa”.
    Legal maxim ini mungkin berasal dari pemikiran biar warga mau mengetahui tentang hukum. Enggak lucu kan kalau ada pembunuhan lalu terdakwanya bebas karena dia tidak tahu kalau membunuh itu dapat dipidana.

  2. tony said:

    kalo mau dijelasin teorinya bisa jauh ampe teori kontrak sosial segala. intinya negara punya wewenang untuk menetapkan hukum yg mengikat seluruh warganya di wilayah kedaulatannya kan?

    agak sewenang2? mungkin. tapi seperti kata mas calupict *tendang2* di atas, itu perlu. lagipula ada check and balancesnya kok. anda merasa ditangkap dgn sewenang2, ada lembaga praperadilan. anda merasa tidak melakukan perbuatan yg salah? ada persidangan yg akan menentukan hal itu. dan anda selalu berhak didampingi penasehat hukum yg tentunya lebih mengerti materi dan prosedur hukum yg disangkakan pada anda. due process of law lah.

    soal ToS, seharusnya dipahami bahwa user telah diberi kesempatan untuk membaca dan dgn demikian dapat menyepakati aturan penggunaan layanan. jika di kemudian hari user merasa tidak terikat dgn ToS tersebut, itu sama halnya dgn berjanji hari ini tapi ingkar esok hari. yg namanya hubungan itu ada hak dan kewajiban kan? terima hak juga harus konsekuen menjalankan kewajiban kan? gitu lah kira2..

  3. anggara said:

    @nenda
    sebenarnya itu contoh yang simpel, mudahnya begini, kan nggak semua orang tahu bahwa proses penangkapan itu cuma 1 x 24 jam. dan kalau nenda pernah ikut melakukan pembelaan untuk orang-orang miskin dan buta hukum, kejadian seperti itu banyak. belum lagi penangkapan yang tidak sah. hukum memang mengandaikan semua orang harus tahu begitu suatu peraturan diundangkan. tapi tentu akan lebih baik jika semuanya diberitahukan terlebih dahulu sebelum melakukan upaya paksa, terutama soal hak

    @sevenco
    memang ada yang namanya proses pra peradilan, tetapi harus diingat ada berapa kasus yang dimenangkan oleh tersangka dalam pra peradilan, karena seringkali aparat membuat surat-surat mundur. saya pikir miranda warning itu bagus sekali, karena tersangka diberitahukan hak-haknya. mungkin mas perlu lebih menekuni pembelaan terhadap kelompok masyarakat marjinal, bahwa sangat tidak mudah merebut berbagai hak-hak tersebut, bahkan untuk hak didampingi oleh seorang pembela yang berkualitas.
    soal ToS, saya mengandaikan sama dengan aturan hukum tersebut, toh nggak ada ruginya kalau penyedia layanannya memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum diambil upaya paksa

  4. peyek said:

    lho berarti sudah sosialisasi sebelumnya apa nggak pakai?

  5. ijang said:

    Waah…berarti kita harus selalu update masalah hukum dong…baca UU kedokteran aja pusing … ada yang salah tulis… ada yang mengancam…. sosialisasi gak jelas…

  6. anggara said:

    @peyek
    kadang yang sudah sosialisasipun belum tentu banyak orang yang ngeh kang

    @ijang
    betul pak dr, kalau nggak apdet, itulah gunanya puasa kuasa hukum. soal uu praktek kedokteran yaa, mungkin harus diminta ke IDI untuk melakukan sosialisasi, sehingga UU yang mengatur profesi dokter menjadi perhatian masyarakat kedokteran secara bersama-sama dan tidak hanya menjadi perhatian elit di IDI

  7. calupict said:

    sebenarnya itu contoh yang simpel, mudahnya begini, kan nggak semua orang tahu bahwa proses penangkapan itu cuma 1 x 24 jam. dan kalau nenda pernah ikut melakukan pembelaan untuk orang-orang miskin dan buta hukum, kejadian seperti itu banyak. belum lagi penangkapan yang tidak sah. hukum memang mengandaikan semua orang harus tahu begitu suatu peraturan diundangkan. tapi tentu akan lebih baik jika semuanya diberitahukan terlebih dahulu sebelum melakukan upaya paksa, terutama soal hak

    Nah, seharusnya ada hal semacam Miranda Warning.

    Kalau ToS itu masuknya kan kontrak. Ada konsesualisme antara pemakai dan penyedia jasa. Jadi, pemakai jasa seharusnya membaca terlebih dahulu ToS tersebut. Saya percaya yang bikin blog di wordpress cukup pintar untuk mengerti isinya. Lagipula, banyak yang melanggar ToS itu sebenarnya kesalahan umum yang seharusnya bisa dihindari seperti memakai barang yang jelas2 melanggar hak cipta seperti versi .pdf dari buku terkenal, kumpulan mp3, dsb.

  8. anggara said:

    @nenda
    kalaupu miranda warning itu tidak ada, maka tidak ada salahnya mengingatkan kembali tentang apa yang telah dilanggar dan lasin sebagainya
    soal ToS, meski itu masuknya kontrak, itukan kontrak baku, hal sebenarnya dari sisi perlindungan konsumen sangat tidak adil dan berat sebelah. saya lebih senang cara google ketika mereka ingin melakukan suspend terhadap pengguna layanannya. pengguna layanannya diberi tahu sebelumnya dan punya hak membela diri
    btw: soal hak cipta, orang-orang eropa yang di amerika (baca: orang amerika serikat) itu pernah tidak mengakui hak cipta dari penerbit asing loh

  9. evelyn pratiwi yusuf said:

    Mas, itu kan udah biasa deh Indonesia.
    Kalau di sosialisasikan, kapan para pejabat bisa korupsinya?
    Aku sendiri sudah 21 tahun hidup di Indonesia kadang nggak ngerti detail tentang UU baru maupun lama.
    🙂
    * udah lama nggak mampir ya*

  10. anggara said:

    @epy
    gitu yaa, tapi yang seperti itu kan harus dilawan

  11. Yance Arizona said:

    Numpang ya Mas Anggara…

    Soal “Ignorare Legis est lata Culpa”. atau fiksi hukum lainnya menarik untuk diperbincangkan. Jarang kita melihat fiksi hukum itu dalam konteks waktu dan dimana kelahirannya. fiksi yang kita bicarakan ini juga harus dilihat dalam konteks keIndonesiaan.

    Dalam Sejarah Hukum di Eropa daratan. hukum itu lahir dari kontrak sosial, kontrak sosial adalah metamorfosa dari kontrak-kontrak ekonomi masyarakat merkantilis. jadi ia lahir dari ranahnya hukum privat. baru abad 18 dengan gejala industrialisasi munculah Negara Modern. Negara modern mensyaratkan adanya generalitas dalam sistem hukum yang bersifat publik. untuk memenuhi generalitas itulah semua orang yang berada dalam satu wilayah negara harus tunduk pada suatu hukum yang dibikin oleh bandan publik. hal itu memberi manfaat agar institusi publik menjadi kuat.

    Lalu bagaimana kira-kira bila dibandingkan dengan konteks indonesia? Pertama, soal geografis adalah pembeda yang paling tajam antara NKRI dengan Negara-negara Eropa daratan yang relatif kecil. Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarkat yang beragam berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara.

    Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst. Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah dibikin?

    Hal lain yang banyak dikritik oleh gerakan Critical Legal Studies adalah soal hukum yang mengalienasi masyarakat, misalkan dalam penggunaan bahasa hukum. bahasa hukum menjadi bahasa yang jauh dari bahasa yang lazim digunakan oleh masyarakat. seakan bahasa hukum punya logikanya sendiri.

    Juga pernah saya baca dalam buku yang ditulis oleh Herman Bakir, Judulnya Filsafat Hukum: ….dst. dalam buku itu Bakir mengutip salah satu ungkapan dari ahli hukum, kira-kira katanya begini: “Legal reason is Legal fiction”. ungkapan itu menjelaskan bahwa antara fiksi hukum dan argumentasi/logika hukum adalah hal yang identik. ungkapan itu dapat menarik mitos-mitos dalam masyarakat menjadi logika hukum yang rasional, sebaliknya juga bisa menarik aturan yang eksplisit dalam hukum yang kita bicarakan menjadi sebuah fiksi yang utopis..

    Salam

    Yance Arizona

  12. anggara said:

    @mas yance
    penjelasannya sangat filosofis sekali, he…he…he…sampai saya terkagum-kagum loh dengan penjelasan mas yance ini. btw thanks untuk tambahan infonya

  13. sofiariyani said:

    Ass. Mas, saya mau menyususun skripsi tentang kebebasan pers atau tentang perlindungan anak, tolong pembahasan tentang masalah tsb ya mas…

  14. anggara said:

    @sodiariyani
    sebaiknya anda berkunjung ke halaman archives, karena saya banyak menulis tentang kebebasan pers

  15. edratna said:

    Sebaiknya memang kita semakin sadar hukum, sebelum melangkah harus tahu rambu-rambunya.
    Untuk memulai menulis blog di WP harus baca peraturannya…..apapun hal-hal seperti ini harus dimulai dan tertib.

  16. anggara said:

    @edratna
    thanks buat komentarnya

  17. Nenda Fadhilah said:

    Saya pernah jadi admin forum (enggak sehectic admin wp.com saya rasa) dan banyak pelanggar aturan yang sudah jelas (macam spam) itu bot jadi kalau pake sistem peringatan suka enggak efektif. Lagipula, user wp.com itu banyak sehingga mungkin mereka anggap sistem peringatan itu tidak efektif.

    Ditebas langsung emang enggak enak buat blogger (asli) yang disangka melanggar aturan, tapi setidaknya wp.com memberikan cara agar blognya bisa balik kan.

  18. anggara said:

    @nenda
    thanks buat komentarnya yaa 🙂

  19. adib said:

    sorry niee…

    mo nanya tentang piagam PBB

    gw pernah diskusi di kampus tentang penerapan isi piagam PBB di Indonesia,walaupun sudah ada ratifikasinya tapi tapi masih bingung aja tentang
    pelaksanaan di lapangan…

    gw pernah nanya ma Prof.Sumaryo Suryokusumo, (Guru Besar Hukum Internasional) tp blm dapat jawaban yang
    cukup..

    tankx be4

  20. anggara said:

    @adib
    piagam PBB tidak diratifikasi setahu saya, tetapi harus diletakkan sebagai norma-norma hukum umum yang dilaksanakan oleh anggotanya

  21. odie said:

    Tidak semua prosedur dapat kerecord kita, kadang kala masalah nasib aja, berbuat baik dan benar aja kalau nggak tau prosedur bisa melawan hukum, mudah-mudahan pihak independent dalam penegakan hukum semakin kuat dan tidak tercemar dan cacat iman

  22. anggara said:

    @odie
    terima kasih untuk pendapatnya

  23. hidayat said:

    numpang nimbrung ya…
    Emang negara kita masih berkutat & menganut Crime control model jadi pendekatannya lebih kepada upaya menekan tindak kriminal & belum menganut Due process model yang melindungi seluruh warga negara dari aparat berwenang (kepolisian) shg dalam melakukan tindakan hukum (penengkapan, penggeledahan dst.) aparat harus menerangkan maksud, alasan mereka melakukan tindakan tsb & hak2 orang yang terkena tindakan tsb (Miranda Warning).
    dari alasan ituk masyarakat jadi terbiasa melakukan tebang langsung karena mencontoh aparat2nya & itu berlangsung selama republik ini berdiri shg menganggap hal tsb merupakan hal biasa & baku. padahal hukum itu sendiri seharusnya dinamis & harus sesuai dengan kebutuhan kita. kalo spt sekarang yang kasian orang2 kecil yang tidak paham & tidak punya sandaran utk meminta bantuan kalo menghadapi masalah hukum. Meraka jadi bulan2an aparat sehingga timbul perasaan antipati thd hukum itu sendiri, sbg contoh,rakyat bahkan banyak yang tidak melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum karena sudah alergi terhadap aparat hukum karena takut malah dipersulit atau malah akan jadi korban permainan kotor aparat hukum yang mata duitan…!!!.
    makasih sdh boleh ikut nimbrung ya…

  24. anggara said:

    @hidayat
    terima kasih juga pak, penjelasan bapak sungguh mencerahkan saya 🙂 salam kenal

  25. mokry_tyov said:

    fictie hukum,…
    aku rasa itu bagus,..
    cm kadang-kadang undang2 yg dibuat kurang aspiratif bg banyak orang,..
    pertanyaanya,…
    apakah 1 orang anggota parlemen (DPR) benar-benar mewakili beberapa beribu2 orang yang memilihnya?
    kontrol kita terputus pada pembuat undang2,…
    jika undang-undang yang dibuat bukan merupakan representasi dari aspirasi rakyat,…dan hanya aspirasi golongan,..
    fictie hukum sungguh benar-benar membuat rakyat semakin sulit…
    nurut mas,…
    bagaimana cara kita mengontrol anggota legislatif kita supaya benar-benar aspiratif?

  26. anggara said:

    @mokry
    ya melalui pemilu kontrolnya

  27. yuan said:

    wuihhhhh….ternyata daku tdk salah masuk nih.. ternyata kuliah 3 stngh tahun, nongkrong di notaris, kantor pengacara sung hukum perbankan masih tetep aja pengetahuan tentang hukum masih cetek… hi..hi….

  28. anggara said:

    @yuan
    maksudnya enggak salah masuk itu gimana yaa? saya juga masih cetek koq

  29. Asep Dian Abdilah said:

    Pak bisa dijelaskan : bahwa UU Praktik Kedokteran dalam pembuatannya harus memperhatikan asas yuridis, filosifis, dan sosiologi

  30. Asep Dian Abdilah said:

    Pak bisa dijelaskan : bahwa UU Praktik Kedokteran dalam pembuatannya harus memperhatikan asas yuridis, filosifis, dan sosiologi ?

  31. arif said:

    mas…tahu buku yang membahas tentang fiksi hukum???q lg tugas akhir ttg fiksi hukum

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: