Ancaman Kekerasan di Lembaga Pendidikan
Kekerasan di dalam sekolah, terutama di bangku sekolah bahkan hingga Universitas masih menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Bullying, istilah kerennya, ini menjadi sesuatu yang dapat menghancurkan masa depan anak.
Pendidikan berdasarkan UU 20 Tahun 2003 didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara pendidikan, masih berdasarkan UU yang sama, berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Kalau dari bunyi yang tersurat dalam UU tersebut, begitu mulia tunjuan pendidikan tersebut diselenggarakan di Indonesia. Namun, kenapa praktek kekerasan itu terus menerus terjadi? Ada beberapa penyebab yang bisa mendasarinya
Pertama: dari pengajar itu sendiri, masih cukup banyak para pengejar, bahkan di sekolah-sekolah negeri yang cukup ternama, melakukan praktek kekerasan seperti menampar dan yang paling sering melakukan intimidasi secara psikologis kepada para peserta didiknya
Kedua: Perilaku feodalisme, perilaku ini masih tumbuh subur di hampir seluruh lembaga pendidikan. Ini sudah mulai dengan yang namanya ospek (atau apapun itu), yang tendensinya mengekalkan praktek feodalisme di lembaga pendidikan yang seharusnya membentuk manusia-manusia merdeka yang berjiwa demokratis.
Ketiga: Penegakkan hukum yang masih minimal, ini yang kemudian melanggengkan seluruh struktuk dan praktek kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan. Buat saya, nggak mungkin, lembaga pendidikan secara institusional maupun pimpinannya secara personal tidak mengetahui praktek kekerasan dan premanisme yang terjadi di lembaga yang dipimpinnya
Buat orangtua seperti saya, membuka komunikasi dua arah yang jujur dan terbuka untuk anak menjadi penting dan yang kedua keberanian yang untuk melakukan tindakan melawan praktek kekerasan harus terus menerus disuarakan, baik di forum kumpul-kumpul atau kalau perlu menggugat ke pengadilan dari para pelaku sampai pimpinan sekolahnya
Menurut saya, orang yang melakukan kekerasan karena sudah kehabisan akal untuk mengatasi masalah. Misalnya : pengakuan diri, introgasi, orang yang tidak mau menurut dlsbnya.
Padahal banyak cara, yang lembut tentu, bisa membuat orang menurut, mengungkapkan, mengaku eksistensi orang lain. Contohnya : CSI dalam mengungkap kasus tidak menggunakan kekerasan walaupun sang tertuduh tidak mau mengaku. Contoh lainnya : para penyebar keyakinan yang mempunyai pengikut walaupun alirannya dinyatakan sesat.
Contoh lainnya : dengan berkarya, orang mengakui eksistensi kita. Atau dengan memimpin secara adil, orang mengakui bahwa kita seorang pemimpin yang bijak dlsbnya. Ada cara yang lebih elegan, mengapa harus dengan kekerasan???
@kang eby
saya sepakat dengan ulasan kang eby, namun jangan lupa para pengajar itu juga harus berubah karena tanpa perubahan sikap dan cara pandang, maka kemungkinan ancaman kekerasan akan terus menerus terjadi
Menurut saya budaya kekerasan pada lembaga pendidikan di indonesia ini lebih seperti pembalasan dendam jadi akan sulit untuk di hilangkan,bahkan dengan sudah banyaknya kasus yang sampai ke telinga publik bahkan sampai ada korban meninggal tapi masih ada saja yang melakukan hal tersebut /berdasarkan pengalaman teman.
@modaro
susah sih memang, tapi harus dimulai untuk memotong budaya kekerasan
Pingback: » MASA ORIENTASI SISWA DAN MASA PERKENALAN MAHASISWA hujair.sanaky@staff.uii.ac.id