Catatan Ringan Untuk PP Bantuan Hukum
UU Advokat, Pasal 22, telah mengamanatkan terbentuknya PP tentang Bantuan Hukum, nah merespon hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan PP No 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum yang ditandatangani pada 30 Desember 2008 dan diundangkan pada 31 Desember 2008 (bukannya ini sudah libur ya…?).
Secara umum PP ini berisikan 19 pasal, namun saya jadi gatel juga membahasnya. Baiklah, harap sabar sebentar
Catatan pertama
Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.
Dalam hal ini tidak diperoleh keterangan, siapakah yang akan membayari pengeluaran non jasa (biaya operasional), apakah advokat, organisasi advokat, atau LBH yang diminta permohonannya. Hal ini penting dijawab, mengingat, komponen operasional dapat menyita sumber daya yang cukup banyak pula. Bantuan hukum tidak bisa hanya diartikan sebagai pemberian bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan/pengadilan namun juga proses negosiasi, perdamaian, dan lain lain.
Catatan kedua
Pasal 4 – Pasal 6 mengatur tentang tata cara mengajukan permohonan bantuan hukum, dan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (2) bahwa dalam waktu 3 hari advokat, organisasi advokat, atau LBH wajib memberikan balasan tentang permohonan tersebut. Hal ini dijawab dalam Pasal 12 yang menyatakan bahwa
(1) Advokat dilarang menolak permohonan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
(2) Dalam hal terjadi penolakan permohonan pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon dapat mengajukan keberatan kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum yang bersangkutan.
Menurut saya hal ini kurang jelas alias menggantung, bagaimana jika permohonan tersebut ditolak dan kemudian diajukan keberatan, apakah akan digelar sidang Dewan Kehormatan? Lalu siapakah yang akan disidang, advokatnya, organisasi advokatnya, atau LBHnya? Karena terkadang penolakan tersebut juga bisa disebabkan banyaknya kasus yang menumpuk, atau tidak sesuai dengan keahlian, dan atau malah tidak sesuai dengan hati nurani atau yang paling apes tidak ada lagi dana operasional untuk menunjang pemberian bantuan hukum tadi.
Lalu apa kewajiban dari advokat, organisasi advokat, atau LBH yang menolak permohonan tersebut? Apakah harus mencarikan pengganti atau pencari keadilan tersebut yang harus punya inisiatif mencari penggantinya. Jangan sampai pencari keadilan menjadi terombang – ambing karena ketidakjelasan ini
Catatan ketiga
Soal sanksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 14, terkadang hal ini membuat saya berpikir, bagaimana dengan seorang advokat yang tidak bekerja bebas, tentu sulit untuk tidak mematuhi perintah kantor atau organisasinya, apabila kantor atau organisasinya berdasarkan pertimbangan – pertimbangan manajerial tidak mampu menangani pemberian bantuan hukum tersebut? Tapi yang dijatuhkan sanksi adalah Advokat yang ditunjuk oleh kantor advokat atau organisasi advokat atau LBH.
Catatan keempat
Soal unit kerja, secara implisit berdasarkan Pasal 15 ayat (2) yang dibebani membentuk unit kerja bantuan hukum adalah organisasi advokat. Hingga menurut saya terasa janggal jika kemudian berdasarkan Pasal 16, LBH harus membentuk unit kerja bantuan hukum, bukannya LBH pekerjaan utamanya adalah memberikan bantuan hukum? Mungkin yang dimaksud dalam Pasal 16 ini adalah Kantor Advokat.
Catatan kelima
Satu-satunya yang tidak tersentuh dalam PP ini adalah peran dari kantor advokat
Harapan saya semoga PERADI segera menyiapkan unit kerja ini dalam waktu selambat-lambatnya Juni 2009 (Pasal 18)
PP yang lucu (seperti biasanya).
beberapa pertanyaan yang tidak terjawab dari PP ini maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai advokat, bantuan hukum maupun hukum acara:
1. Siapa itu orang tak mampu? apa kriterianya? Siapa yang menentukan seseorang mampu atau tidak, sehingga layak untuk mendapatkan bantuan hukum cuma2?
2. Apa tugas, kewajiban, peran Negara dalam menjamin hak warga negara untuk mendapatkan layanan bantuan hukum?
3. Apa konsekuensi hukum bagi negara maupun warga negara ketika kewajiban negara tersebut tidak dilaksanakan?
salam
PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak ‘bodoh’, lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah ‘dokumen dan rahasia negara’.
Statemen “Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap” (KAI) dan “Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA” (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan “trimo” terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan “Perlawanan Pihak Ketiga” untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675