Kenakalan Anak, Judi, dan Nurani
Majalah Tempo hari ini menulis liputan soal sepuluh anak penyemir sepatu yang diadili karena judi. Majalah Tempo melaporkan “Semua ini berawal pada akhir Mei lalu. Ketika itu Dadan dan sembilan temannya, setelah bekerja sebagai penye mir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta, beristirahat di Terminal 1 B. Di situ lah sepuluh bocah itu lalu bermain macan buram. Koin Rp 500 diputar dan mereka bertaruh gambar apa yang bakal muncul. Tatkala asyik bermain macan buram itu muncul polisi. Sepuluh anak itu digelandang ke kantor Kepolisian Resor Khusus Bandara Soe karno-Hatta. Setelah beberapa hari dita han di kantor polisi, mereka dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Hampir satu bulan mereka mendekam di sana, sampai tidak dapat mengikuti ujian nasional. Atas desakan masyarakat, pada 26 Juni lalu mereka dibebaskan dan dikembalikan ke rumah orang tua masing-masing.”.
Saya ingat Judi jalanan macam ini dulu hanya merupakan pelanggaran dalam WvS (baca: KUHP) kita yang diatur dalam Pasal 542 WvS. Nah berdasarkan UU No 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian maka Pasal 542 WvS yang semula pelanggaran diubah menjadi kejahatan dan ditempatkan menjadi Pasal 303 bis WvS.
Semua kegiatan judi “iseng” yang semula hanya bersifat pelanggaran atau boleh dibilang kejahatan ringan tiba – tiba berubah menjadi kejahatan serius dan oleh para pembentuk UU 7/1974 hal inipun diamini sehingga Pasal 1 UU 7/1974 pun menyatakan dengan tegas bahwa semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Ancaman pidananyapun berubah Pasal 542 ayat (1) yang semula hanya diancam dengan max pidana kurungan 1 bulan dan pidana denda max Rp. 4.500 menjadi max pidana penjara 4 tahun dan max pidana denda Rp. 10.000.000. Sedang Pasal 542 ayat (2) yang semula hanya diancam dengan max pidana kurungan 3 bulan dan pidana denda max Rp. 7.500 menjadi max pidana penjara 6 tahun dan max pidana denda Rp. 15.000.000
Judi sendiri diartikan dalam Pasal 303 ayat (3) WvS (terjemahan Indonesia versi BPHN) sebagai “tiap – tiap permainan dimana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mreka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga pertaruhan lainnya.”
Menurut pendapat dari R. Soesilo pasal 303 WvS hanya dapat dikenakan pada bandarnya atau perusahaannya sementara para pemainnya hanya dapat dikenakan pada Pasal 542 WvS yang sekarang berubah menjadi Pasal 303 bis tersebut.
Berdasarkan penjelasan ini maka saya pendapat bahwa penggunaan Pasal 303 dan Pasal 303 bis ini tidak bisa dibaca terpisah, artinya kalau hanya kegiatan iseng, logikanya tidak ada bandar atau perusahaan yang menjadikan Judi sebagai mata pencaharian. Lalu kalau anak-anak itu akan didakwa dengan Pasal 303 bis, memangnya pada saat “main-main” itu apakah ada bandar judinya? Saya pikir dan Hakim dan Jaksa harusnya berhati – hati kalau hendak mendakwa dan memutus suatu perkara model seperti ini
Tulisan ini dikirim melalui email
krupukulit like this…ini praktek penahanan udah bener2 ga masuk akal! berdasarkan info teman gue yang kerja di Bapas, tersangka anak rata-rata di tahan. anak2 di sidang aja sudah agak berlebihan, apalagi sampai dikenakan penahanan sebelumnya. ck ck ck…
@arsil
begitulah potret negaramu…hihihihihih
Seyogyanya dalam penanganan anak yang bersentuhan dengan hukum harus lebih bijak dan dlm penanganannya bisa diterapkan restorative justice system, sehingga keputusan yang diambil merupakan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak meninggalkan trauma bagi anak tersebut.
“Judi coin” iseng-iseng malah di proses, tapi yang judi beneran malah melenggang .. oalaaahhh..