Setelah Vonis Bebas Prita Itu


Kemarin (29/12) PN Tangerang telah memberikan kado manis di penghujung tahun 2009, yakni Vonis bebas terhadap Prita Mulyasari. Saya, mas Ndorokakung, mas Ajo, mas Enda, dan mbak Ade Novita.

Dalam ruangan sidang utama tersebut, tersebar rumor bahwa putusan kali ini akan membebaskan Prita dari seluruh dakwaan. Darimana saya dapat rumor tersebut, saya melihat beberapa orang Jurnalis melakukan embargo untuk pengiriman berita tersebut. Saya tersenyum dan sambil berpikir, koq bisa putusan pengadilan sempat bocor ke tangan Jurnalis. Ini Jurnalisnya yang jago atau Pengadilan yang tak mampu menjaga kerahasiaan putusan ya hehehehehe.

Terlepas dari rumor tersebut, saya berusaha tetap tenang dan menyimak putusan. Buat saya, sebagai seorang strit loyer, hasil akhir tidaklah terlampau penting namun pertimbangan hakimlah yang menjadi penting. Satu persatu Majelis Hakim mulai menguliti unsur – unsur dakwaan pertama yaitu melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Saya sempat kaget karena Majelis Hakim melompat setelah membuktikan unsur “setiap orang” dan “dengan sengaja” telah terbukti. Mereka melompat menuju analisa terhadap unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik” dan menyatakan unsur inipun terbukti. Setelah itu Majelis Hakim melakukan analisa terhadap unsur “yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”. Kalau tak salah dengar, Majelis menggunakan argumen yang sebangun dengan keberadaan Pasal 310 ayat (3) WvS sebagai alasan pembenar yaitu “demi kepentingan umum”, sehingga unsur ini menjadi tak terbukti. Dari sini logika Majelis Hakim kemudian masuk melakukan analisa unsur “tanpa hak”. Majelis Hakim menilai bahwa unsur “tanpa hak” tak terbukti karena unsur “yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik” yang sudah dijelaskan sebelumnya juga tak terbukti.

Weleh, saya berpikir koq bisa ya, Pengadilan membuat analisa unsur yang begitu melompat dari logika hukum yang normal. Saya berpikir, memang disinilah letak kesalahan perumusan norma yang sejak awal menyertai perumusan UU ITE ini.

Dengan tidak terbuktinya dakwaan pertama, sebenarnya Majelis Hakim tak perlu memberikan analisa terhadap dakwaan kedua (pasal 310 ayat (2) WvS) dan dakwaan ketiga (pasal 311 WvS) karena bangunan awal dari ketiga dakwaan tersebut sama dan sebangun. Ini terjadi karena Jaksa menggunakan dakwaan alternatif pada surat dakwaannya, sehigga membuat Pengadilan “terpaksa” membuat analisa terhadap ketiga dakwaan tersebut.

Sempat terjadi perdebatan diantara kami, apakah Jaksa akan mengajukan kasasi terhadap kasus tersebut. Saya yakin Jaksa pasti akan kasasi terhadap putusan PN Tangerang tersebut dan dugaan saya benar hehehehehe

Lalu, selanjutnya bagaimana, saya berpikir advokasi terhadap penghapusan delik penghinaan di WvS Indonesia tetap harus dilanjutkan sembari melakukan advokasi penghapusan duplikasi delik pidana dalam UU ITE dan mengawal RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi.

Siapkah kita untuk melakukan perlawanan jangka panjang?

Advertisement
9 comments
  1. nadi said:

    Mendengar penjelasan Anda, saya mumet mas. Memang begitu itu ya bahasa hukum? Yang jadi pertanyaan, sebenarnya, jika tidak ada tekanan sosial yang bertubi-tubi melalui dunia maya dan media konvensional, apakah sang hakim juga akan memutus bebas? Salam,

  2. edratna said:

    Hmm menarik membaca analisa dari keputusan hakim tersebut.
    Dan kayaknya masih panjang ya ceritanya…

  3. kadang tak terjangkau oleh akal kita bahasa hukum selalu punya argumentasi.

  4. Jamesbond 007 said:

    Mas… kalo anda sekarang jadi Strit Loyer mengatakan “Siapkah kita untuk melakukan perlawanan jangka panjang?” di akhir tulisan anda.

    Pertanyaan saya, “Bagaimana jika anda sudah menjadi seorang Jaksa?”

    Apakah berbalik dan berubah “Perjuangan” anda? Ataukah akan menjalankan Tradisi seperti Jaksa-jaksa PN Tangerang tsb…???

    Akankah “Hukum untuk kebaikan hidup masyarakat” benar-benar terwujud? Ataukah “Hukum untuk sebagian masyarakat tertentu aja?”. Maksudnya “Hukuman itu untuk rakyak kecil yang tidak mampu membela diri karena tidak “beruang”…???

  5. H.Nizam said:

    Selamat Tahun Baru 2010, semoga ditahun ini pelaksanaan hukum akan berkembang lebih baik dengan berpedoman pada kepastian & keadilan.

  6. jeffrey mantiri said:

    Saya sgt setuju bang,dng apa yg telah diuraikan diatas, terus lakukan pantauan demikian, agar hukum ditegakkan. Regard-

  7. rudi said:

    bentuk surat dakwaan prita itu alternatif atau kumulatif mas?….kalau dipertimbangkan oleh majelis hakim semuanya berarti kumulatif tho mas ? gimana ?

  8. lontongberas said:

    allo oom angga, menurut saya kasus prita merupakan kasus hukum yang umum, bukan seperti yang ada di media dengan porsi yang berlebihan, sederhananya, prita dirugikan oleh omni kemudian membuat surat kritik yang disengaja atau tidak, tersebar ke orang banyak, di lain pihak omni merasa surat tersebut tidak sesuai dan bertendensi mencemarkan nama baiknya dan merugikan omni sebagai entitas pencari profit. lalu dimana letaknya penzaliman seperti yang digambarkan di media ?

    • anggara said:

      @lontong
      Aduh, perdebatannya bisa panjang ada aspek filosofis disana, sila tengok entry saya yg lain terkait dgn kasus prita

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: