Belajar dari Tulisan Alanda Kariza


Kemarin pagi saya mendapatkan mention di akun twitter saya yang menunjuk tulisan dari Alanda Kariza dengan judul “Ibu, 10 tahun penjara, 10 milyar rupiah”. Saat melihat tulisan itu, komentar saya hanya singkat, tulisan yang menarik dan menyentuh. Kenapa tulisan itu menjadi menarik dan menyentuh, buat saya pribadi sih nggak terlampau heran, karena ia juga penulis novel dan pernah meraih beberapa penghargaan yang cukup bergengsi.

Namun, ada beberapa hal yang menyedot perhatian saya untuk pertama kali adalah saat ia menuliskan secara runtut proses hukum yang menimpa ibunya, Arga Tirta Kirana, mantan Kepala Divisi Legal Bank Century (2005-2009). Yang paling mencuri perhatian saya adalah pada kalimat ”Hari Kamis, Ibu akan membacakan pledooi (pembelaan) di PN Jakarta Pusat. Ibu akan menceritakan seluruh kejadian yang beliau alami dan mengapa seharusnya beliau tidak mengalami tuduhan apalagi tuntutan ini”. Kenapa saya tertarik? Ya wajar kalimat ini mengesankan ibunya menghadapi proses hukum yang rumit sendirian tanpa kehadiran seorang penasihat hukumpun. Dan tadinya saya juga berpikir bahwa ibunya dalam posisi ditahan di sebuah rumah tahanan di Jakarta. Buat saya pribadi fair trial adalah hal paling fundamental untuk disikapi dan dicermati, salah satu tandanya adalah kehadiran seorang kuasa hukum agar dapat mewakili dirinya dalam melakukan pembelaan di Pengadilan.

Setelah membaca tulisan itu, saya mengirimkan pesan ke beberapa teman saya untuk ikut membaca tulisan itu. Tak lama setelah itu datanglah beragam informasi penting yang terkait dengan fair trial. Yang menarik adalah ternyata ibunya tidak sendirian menghadapi proses hukum itu, ada sekelompok pengacara yang mendampingi ibunya di pengadilan. Salah satu pengacara yang turut membela Ibunya Alanda adalah pengacara yang cukup ternama di Jakarta yaitu Pak Humphrey Djemat, Pemilik Kantor Hukum Gani Djemat & Parnter, Ketua PERADI DPC Jakarta Pusat sekaligus juga Ketua Umum DPP AAI. Tak lama masuk kembali beberapa pesan di inbox saya yang menyatakan Ibunya tidak di tahan selama proses itu. Menurut laporan Kompas, Arga Tirta Kirana, didakwa dengan model dakwaan subsidiaritas yaitu primair melanggar Pasal 49 ayat (1) huruf a Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan subsider melanggar Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pasal 49 ayat 1 huruf a berbunyi, “…membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.” Ancaman pidana maksimal dalam dakwaan primer adalah 15 tahun penjara dengan denda Rp 200 miliar.
Pasal 49 ayat 2 huruf b berbunyi, “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.” Ancaman pidana maksimal dalam dakwaan subsider adalah 8 tahun dan denda maksimal Rp 100 miliar.

Well, dalam kasus ini Ibunya Alanda tidak ditahan adalah suatu keberuntungan tersendiri, mungkin anda ingat kasus yang menimpa Prita Mulyasari kan? Ia di dakwa karena melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang kontroversial itu saja harus merasakan dinginnya lantai tahanan. Menurut aturan hukum yang berlaku, untuk tindak pidana di atas 5 tahun, sangat besar kemungkinan seorang tersangka/terdakwa itu ditahan. Nah, untuk kasus ini saya ibunya Alanda sama sekali tidak ditahan (CMIIW)

Eh, ternyata inbox saya masih berlanjut menerima email, salah satu email yang buat saya menarik adalah email yang memberikan tautan pada salah satu tulisan yang dibuat oleh sumber anonim yang ngakunya nggak ahli perbankan. Saya cukup ragu dengan pernyataan penulis yang mengaku tidak mengetahui seluk belum perbankan, karena tulisan itu menurut saya cukup runtut dan baik dalam aspek penjelasan. Untuk lebih lengkap silahkan lihat tulisan itu disini

Menarik membaca tulisan Alanda dan membandingkannya dengan membaca tulisan dari Roy Sayur. Tapi yang pasti dan ingin saya tegaskan adalah tidak ada kepentingan keadilan yang terganggu di kasus tersebut. Soal tuntutan 10 tahun dan denda 10 Milyar dibandingkan dengan yang menurut Alanda tidak adil karena pemilik Bank Century hanya dituntut 8 tahun dan denda 50 milyar sih saya tak bisa bandingkan karena saya tidak tahu Robert Tantular didakwa dengan menggunakan ketentuan UU yang mana dan ketentuan pasal berapa. Intinya adalah saya cukup bersimpati dengan Alanda, tapi karena tidak ada kepentingan keadilan yang serius terlanggar, agak sulit rasanya saya berkampanye untuk itu.

4 comments
  1. Saya pertamanya simpati sama Alanda Kariza, tapi kemudian berpikir bahwa ibunya tentu bukan orang biasa yang selama dalam masa persidangan bisa bebas begitu, bisa juga memanfaatkan ketenaran anaknya untuk membentuk opini public.
    Alanda telah membuat pledoi secara online untuk kasus ibunya dan ini baru pertama kalinya..

  2. niee said:

    aku juga udah baca tulisan Alanda,
    memang tampak menyentuh, tapi kalau diusut jauh seperti itu memang mungkin akan banyak yang bisa didiskusikan lagi.
    ya semoga saja hukum berjalan sesuai ketentuannya..

  3. Ketika saya baca ceritranya di The Jakarta Globe dan blog Alanda saya menjadi
    tersentuh. Tapi setelah membaca tulisan anda maka saya akan “wait and see” saja.

  4. bolmer said:

    Tulisannya memang memberi sedikit terang atas masalah yang menimpa Ibunya tetapi kita tidak bisa hanya mendengar hanya dari satu pihak saja. Perlu di crosscheck dengan hasil penyelidikan yang akan disampaikan dalam persidangan. semoga aja hukum dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.

    Berkunjung ya

Leave a reply to bolmer Cancel reply