Merawat Kekerasan di Indonesia
Sungguh menyedihkan saat saya mendengar adanya 3 orang warga negara Indonesia yang harus melepaskan nyawa di desa Ciumbulan, kecamatan Cikeusik, kabupaten Pandeglang, propinsi Banten hanya karena mereka berbeda keyakinan dengan warga sekitar.
Peristiwa kekerasan yang terjadi pada Minggu (6/1) pagi kemarin dimana terjadi bentrokan antara Jamaah Ahmadiyah dengan warga di Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik Kabupaten Pandeglang telah mengakibatkan 3 orang tewas dan 6 orang lainnya terluka.
Tempo melaporkan bahwa ketiga korban yang meninggal tersebut adalah Roni, Mulyadi, dan Tarno. Berdasarkan catatan medis RSUD Malingping, Roni tewas dengan luka bacok di bagian dagu memanjang hingga ke leher belakang sepanjang 20 cm. Pelipis kanan luka robek sepanjang 6 cm, luka robek di pinggang kanan 15 cm, luka bacok di punggung sepanjang 60 cm, dan luka bacok tak beraturan di bagian kepala belakang.
Sementara Mulyadi 6 luka bacok di bagian dada kanan dan kiri, lengan kiri, pipi kiri, 6 luka bacok di bagian belakang kepala, dan pinggang kanan. Sedangkan Tarno mengalami luka pada dada dan perut. Selain itu Tarno juga mengalami sejumlah luka bacok di bagian pinggang kanan dan kepala bagian belakang.
Meski menurut Kapolri, bahwa Polisi telah berusaha mencegah tapi peristiwa kekerasan tetap terjadi. Tak heran jika banyak pihak mengutuk serangan dan peristiwa kekerasan yang brutal tersebut. Yang saya heran, bagaimana caranya ada massa yang berjumlah ribuan orang tanpa terdeteksi oleh pihak kepolisian setempat? Dan bagaimana model pengamanan yang telah dilakukan? Jika pihak kepolisian hanya mengevakuasi orang lalu apakah boleh ribuan orang tersebut kemudian merusak aset barang milik pihak lain. Bahkan menurut laporan KBR68H, pihak keamanan rupanya sudah mengetahui akan rencana penyerangan tersebut. Lah, kalau mereka tahu, kenapa hanya diam?
Jika rencana tersebut telah diketahui oleh pihak kepolisian, tentu pihak kepolisian mestinya bertindak aktif mencegah dan bukan malah seperti membiarkan peristiwa tersebut terjadi. Banyak cara bisa dilakukan jika misalnya kejadian tersebut di dahului dengan pidato – pidato yang menyulut kebencian tentu Polisi harus menangkap pelakunya karena diduga melanggar Pasal 156 atau Pasal 157 KUHP. Di lapangan tindakan pencegahan juga bisa dilakukan dengan menggunakan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Saya pikir banyak instrumen UU yang bisa digunakan untuk mencegah peristiwa ini terjadi, namun entah mengapa tak juga digunakan secara patut.
Lalu, langkah apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat? Menurut saya yang paling elegan adalah mengajukan gugatan PMH kepada pihak – pihak yang punya kompetensi untuk mencegah peristiwa kekerasan itu terjadi dengan menggunakan model hak gugat warga negara. Tentu, hal itu tidak bisa dilakukan secara tunggal, namun masif seperti saat DPP PDI menggugat pemerintah Orde Baru karena mengijinkan Kongres Tandingan PDI. Tapi persoalannya, beranikah kita?
Memang sangat menyedihkan sekali mengapa berbagai kekerasan
terjadi dinegara kita yang disebabkan oleh adanya berbedaan keyakinan.
Yang lebih parah lagi pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan tsb,
lolos dari tuntutan hukum.
Semua ini bisa terjadi akibat kepemimpinan negara yang lemah, hanya
memikirkan kepentingan diri, keluarga dan partai politik.
Betul pak, insiden-insiden seperti ini biasanya disebabkan karena masalah yang sudah berjalan selama BERTAHUN-TAHUN (jarang yang terjadi seketika begitu saja). Jadi, ada sangat banyak waktu untuk menyelesaikan inti masalahnya.
Tapi, seperti bapak sebutkan – kenapa tidak ditangani ?
Ini yang seharusnya kita pertanyakan. Karena kalau kita cuma saling menyalahkan & kemudian berkelahi soal ini antara kita, maka biang kerok nya akan puas tertawa terbahak-bahak.
Disini saya lihat juga ada masalah tidak tersampaikannya aspirasi rakyat bawah, apalagi ketika mereka lihat yang muncul di media malah berbeda / dipelintir oleh berbagai oknum – sehingga akhirnya jadi meledak berupa insiden-insiden berdarah seperti ini. Perlu ada cara agar mereka bisa menyampaikan keluhan-keluhannya juga.
Blog mungkin bisa dimanfaatkan untuk ini, saya akan coba kontak bbrp teman2 yg punya akses ke grassroot utk lihat apakah bisa kita buat program-program yang menggarap soal ini.
Pemerintah harus tegas terhadap tindak anarkis seperti ini, tindakan persuasif tidak cukup berguna..
Kalau terus dibiarkan yang lain akan menyusul..
sebagai keluarga nonmuslim, saya punya juga saudara muslim. Dari desa, saudara saya mayoritas muslim. diantara kami saling hormat dan familier. tak ada rasa sedikitpun yg bisa membakar keamarahan dan itu tentu tak akan saya harapkan. adanya persaudaraan yg kental. sangat indah. kalau saya pulang desa, bahkan diberitahu jam kebaktian minggu sebuah gereja yg ada di sebuah desa lain diberitahukan tanpa ditanya. orang di desa sangat familier.
berbalik melihat 2 gbr hidup penyiksaan di cikeusik, hati ini bergetaR dan tanpa sadar mata berlinang air mata. orang membawa pentung dengan semangat memanggil nama Tuhan penuh rasa kebencian menggebuk orang yg kelihatan dlm gambar tak bergerak lagi. apa sdh sadar betul para pelaku itu.
hati kecilku bergumam, sdh berubahkah bangsa besar ini dari adat ketimurannya? Semoga masih banyak anak bangsa ini berpegang terguh ajaran agamanya masing2 dengan berhati penuh damai. Saatnya kebencian sesama anak bangsa di sadari itu merugikan kita semua.
bangsa kita memang sedang sakit. siapa bisa menyembuhkan