Mimpi Memecah Kemacetan Jakarta
Pendahuluan
Jika anda tinggal di Jakarta atau tinggal di kota – kota sekitar Jakarta, tentu anda akan terbiasa dengan kemacetan yang terjadi. Mau naik Mobil anda akan terhadang macet, mau naik motor juga sama saja, tapi entahlah kalau naik sepeda.
Saya sendiri sejak 2005 sudah tinggal di kawasan seputar Jakarta juga mengalami hal yang sama. Sesekali saya naik layanan KRL yang melintasi kawasan rumah saya tinggal menuju Jakarta, namun lebih banyak saya naik kendaraan pribadi.
Beberapa persoalan saya coba petakan, kenapa Jakarta atau perjalanan menuju ke dan/atau dari Jakarta begitu macet. Persoalan mendasarnya adalah tidak adanya transportasi umum yang nyaman dan memadai. Saya sendiri nggak tahu, kenapa di setiap moda transportasi selalu ada 2 kelas, padahal pembedaan kelas ini justru membuat ketidaknyamanan dan juga pastinya memiliki standar layanan yang berbeda. Lihat saja bus atau KRL, pasti mereka punya minimal dua layanan yaitu layanan ekonomi dan layanan AC.
Di Jakarta ini cuma ada dua moda transportasi yang cukup nyaman namun belum tentu memadai yaitu TransJakarta dan juga KRL. Namun, menurut saya itu tak cukup, karena orang masih sulit berpindah antar moda, meski ada beberapa stasiun dan halte yang berdekatan, menurut saya seharusnya bukan berdekatan tapi stasiun juga merangkap halte. Problem ini menurut saya terjadi karena Pemerintah memilih TransJakarta sebagai tulang punggung transportasi Jakarta, padahal sebenarnya lebih baik Pemerintah fokus pada KRL sebagai tulang punggung transportasi umum di Jakarta dan sekitarnya. KRL melayani penduduk luar Jakarta untuk bepergian ke atau dari Jakarta sehingga penambahan layanan lain seharusnya mengikuti struktur transportasi KRL juga. Dari sini, tentu akan ada kemudahan bagi Pengguna KRL untuk berpindah ke moda transportasi lainnya.
Rumitnya Menggunakan Layanan KRL
KRL ini memiliki tiga jenis layanan yaitu KRL Eksekutif, KRL Ekonomi AC, dan KRL Ekonomi yang beroperasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Perbedaannya dari ketiga jenis itu tentu dari sisi kenyamanan dan kecepatan. Dan ketiganya punya stasiun yang berbeda – beda untuk tempat pemberhentiannya.
Menurut saya harusnya cuma ada satu jenis layanan, yaitu KRL Ekonomi AC yang berhenti di tiap stasiun dan punya jadwal teratur serta bekerja sejak pukul 4 pagi – pukul 11 malam. Mungkin bisa diatur jadwal keberangkatannya tiap 15 – 20 menit setiap harinya, sehingga diharapkan tidak ada penumpukan penumpang di tiap stasiun.
Selain itu harga juga tidak bisa diseragamkan seperti sekarang, bayangkan harga tiket KRL sama antara orang yang pergi dari Bogor menuju Jakarta dengan dari Bogor menuju Depok, menurut saya mungkin harganya perlu dipertimbangkan dengan mekanisme zonasi, yaitu misalnya ketiga melewati lebih dari 2 kota maka akan ada perbedaan harga.
Persoalan rute, menurut saya juga perlu dibenahi, saya nggak kebayang ada KRL dari Bekasi punya rute hingga ke Tanah Abang, atau KRL dari Serpong punya rute hingga ke Depok Baru atau bahkan hingga ke Bogor. Dari sisi efisiensi tentu baik, tapi tidak baik dari sisi efektifitas dan jadwal, karena saya yakin pengaturan jadwal antar KRL di tiap stasiun tentu menjadi rumit, belum lagi jika ada keterlambatan salah satu KRL tentu akan membawa dampak yang cukup panjang di beberapa stasiun
Sila lihat peta berikut ini:
Nah, dari gambar ini, sebenarnya bisa dilihat stasiun yang menjadi hub dari seluruh rute KRL, yaitu stasiun Manggarai. Stasiun ini strategis karena melayani jalur Bogor Jakarta, jalur Bekasi Jakarta dan juga jalur lingkar dalam Jakarta. Saya sih berharap, stasiun Manggarai benar – benar menjadi hub dari dari rute – rute KRL lain.
Jika Stasiun Manggarai menjadi hub dari rute lain, Jalur Serpong – Jakarta cukup berhenti di stasiun Tanah Abang dan jika hendak ke rute lain, bisa bertukar kereta api di Tanah Abang dengan menggunakan KRL Lingkar Dalam Jakarta. Begitu juga Jalur Tangerang – Jakarta, kita bisa berhenti di Stasiun duri dan jika hendak ke tempat lain bisa gunakan KRL Lingkar Dalam Jakarta. Sehingga diharapkan dengan pengaturan seperti itu, maka tak ada lagi jadwal keberangkatan KRL yang molor
Jadi usulan saya misalnya:
Jalur Tangerang cukup hanya melayani Stasiun Tangerang – Stasiun Duri dan sebaliknya
Jalur Serpong cukup melayani Stasiun Serpong – Stasiun Tanah Abang dan sebaliknya
Jalur Bogor cukup melayani Stasiun Bogor – Stasiun Manggarai dan sebaliknya
Jalur Bekasi cukup melayani Stasiun Bekasi – Stasiun Jatinegara dan sebaliknya
Untuk lingkar dalam kota menurut saya ada dua jalur yang bisa digunakan yaitu
Jalur Stasiun Manggarai – Stasiun Kota melewati Stasiun Dukuh Atas, Stasiun Duri, Stasiun Kampung Brandan, Stasiun Tanjung Priok, kembali ke Stasiun Kampung Brandan, Stasiun Rajawali, Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Duri, Stasiun Dukuh Atas dan kembali ke Stasiun Manggarai
Jalung Stasiun Manggarai – Stasiun Senen melewati Stasiun Cikini, Stasiun Gambir, Stasiun Mangga Besar, Stasiun Jakarta Kota, Stasiun Rajawali, Stasiun Senen, Stasiun Jatinegara, dan kembali Stasiun Manggarai
Jadi intinya tidak ada satupun KRL yang berjalan sangat jauh, tapi kereta – kereta non KRL juga harus diatur kembali, misalnya yang dari Merak ya dia harus berhenti di Stasiun Serpong. Kereta – kereta dari arah Bandung atau Semarang ya harus berhenti di Stasiun Bekasi. Oleh karena itu pengaturan KRL ini penting sebagai tulang punggung transportasi Jabodetabek.
Menunggu Antrian di TransJakarta
TransJakarta diluncurkan pada masa Pemerintahan Gubernur Sutiyoso yang diarahkan sebagai solusi mengatasi kemacetan Jakarta. Jalur TransJakarta yang dibangun pertama kali adalah koridor Blok M – Kota. Untuk lebih jelas sila lihat Peta Layanan TransJakarta
Meski kehadiran TransJakarta ini diharapkan mampu memecah kemacetan di Jakarta, namun nampaknya harapan tersebut belum dapat terjawab. Pada pertama kali dibangun, TransJakarta dilengkapi dengan sistem semacam bus feeder, dimana penumpang dapat membayar cukup 1 kali dan kemudian ia dapat berpindah dari bus TransJakarta ke bus feeder, namun entah kenapa layanan bersambung ke bus feeder ini malah tidak berjalan sama sekali. Hingga saat ini tidak ada penjelasan yang cukup memuaskan kenapa layanan bus feeder ini berhenti.
Sampai saat ini telah dibangun beberapa koridor untuk melayani penduduk Jakarta, namun pembangunan koridor baru dan penambahan bus – bus TransJakarta masih belum cukup memuaskan. Di jam – jam sibuk, penumpang TransJakarta masih menanti lebih dari 1 jam untuk dapat naik ke dalam bus, terutama pada halte – halte transfer terjadi penumpukan penumpang yang luar biasa.
Sayang sekali, bus – bus lainnya dalam sistem TransJakarta masih tidak cukup memiliki jadwal teratur, sehingga menjadikan penumpang berada dalam ketidakpastian tentang jadwal keberangkatan setiap bus. Saya pikir, hal ini perlu dikelola lebih baik lagi oleh pengelola BLU TransJakarta, tanpa penambahan bus yang cukup signifikan dan tanpa manajemen pengaturan waktu dari pelayanan bus TransJakarta tetap tidak akan menjawab pada peningkatan layanan dari BLU TransJakarta.
Waterway: No Way
Di masa – masa akhir Pemerintahan Gubernur Sutiyoso, Pemerintah Jakarta sempat meluncurkan layanan yang dikenal dengan Waterway. Waterway ini diluncurkan untuk adanya transportasi air yang menyusuri sungai – sungai di Jakarta yang akan terkoneksi atau minimal berdekatan dengan Halte – Halte TransJakarta. Saya sendiri, tentu akan berpikir ulang untuk menggunakan layanan Waterway ini, karena aduuh saya nggak akan bertahan dengan melihat kondisi sungai – sungai di Jakarta yang tidak begitu nyaman untuk dilihat
Namun sayangnya setelah pemerintahan Jakarta berganti, maka layanan inipun sepertinya berhenti. Hmm, saya heran kenapa layanan ini tak lagi berjalan ya? Ada yang tahu alasannya? Kalau ada yang tahu, kasih tahu saya ya hihihihihi
Integrasi Layanan dan Moda Transportasi
Pernah terbayangkah anda bahwa suatu saat akan ada jaringan raksasa dari transportasi umum di Jakarta? Pernahkah anda terbayang, bahwa ketika anda bepergian di Jakarta akan mudah berpindah dari satu moda ke moda lainnya? Saya sendiri sering bermimpi bahwa suatu hari Jakarta akan punya satu jaringan raksasa yang setidaknya akan menghubungkan setiap moda utama yang ada seperti KRL, Bus TransJakarta, dan Waterway (ini mengandaikan suatu saat waterway kembali diaktifkan). Jaringan ini tentu harus didukung dengan kemudahan orang untuk dapat berpindah – pindah moda dengan satu kali pembayaran dan tak perlu berkali – kali pembayaran karena pengguna berpindah moda. Setidaknya jaringan pembayaran yang terintegrasi antar moda, karena sedari awal kepindahan antar moda tidak mudah karena tidak terpikirkannya integrasi antara Stasiun, Halte Bus, dan Halte Waterway. Tentu tarif perjalanan tidak bisa hanya satu tarif seperti sekarang, tapi mesti dikenakan tarif antar zona. Tarif antar zona ini bisa meliputi perubahan tarif setiap melewati 3 atau 5 halte/stasiun, sehingga ada keadilan untuk tiap pengguna. Inipun dengan syarat tidak adanya perbedaan layanan pada KRL seperti saat ini dan juga diaturnya manajemen waktu dari layanan bus TransJakarta dan juga Waterway.
Menariknya pemerintah Jakarta sepertinya sudah punya model bagaimana jaringan raksasa ini akan dibentuk, silahkan lihat peta transportasi makro Jakarta pada 2015 ini
Menarik ya, bayangkan anda akan mudah menjelajahi Jakarta dengan terciptanya jaringan raksasa transportasi utama ini. Menurut peta ini maka Jakarta akan, setidaknya akan mempunyai 5 moda transportasi umum utama yaitu Bus TransJakarta, MRT yang beroperasi di Monorel, Kapal yang beroperasi di Waterway, KRL, dan juga adanya MRT yang beroperasi di Subway.
Untuk meraih simpati dari para pengguna kendaraan pribadi (mobil ataupun motor), tentunya pemerintah harus memikirkan bahwa pengeluaran pribadi untuk penggunaan transportasi umum tidak boleh melewati 15% dari pendapatan upah minimum dari seorang buruh di Jakarta dan sekitarnya (ini pendapat pribadi saya loh).
Hal ini berarti pengelola layanan transportasi umum harus mencari sumber pendapatan lainnya selain penjualan tiket, baik melalui iklan komersial yang dapat ditempatkan Stasiun ataupun Halte atau ditempatkan KRL/Bus/Kapal Waterway/MRT.
Catatan Tambahan
Maaf, saya lupa dimana saya mengunduh gambar-gambar diatas, kalau ada yang tahu sila kontak saya untuk saya beri kredit
keren! analisis yg menarik dan cukup komprehensif. memang untuk mengatasi kemacetan, perlu sistem transportasi umum yang terintegrasi. kalo mencontek kota-kota besar di luar seperto Hong Kong, Singapura, dan New York City, mereka punya sistem transportasi terintegrasi yang baik. Jadi beberapa stasiun/terminal berfungsi menjadi stasiun transit dari MRT, bus, bahkan kereta api khusus dari dan menuju bandara internasional yang biasanya letaknya jauh dari kota. Perawatan juga berperan cukup penting, karena orang kan malas naik public transport kalau fasilitas/stasiunnya kotor, kumuh, banyak sampah, gelap… nah ini nih yang masih jd problem di Indonesia. biasanya pemerintah cuma fokus pada pengadaan tapi maintenance-nya tidak dipikirkan. Misalnya beberapa halte TransJakarta sekarang gelap karena lampunya mati atau bahkan dicuri. Mesin validasi kartu (yang ada penghalangnya itu) juga sudah hampir semua (atau mungkin semua?) rusak. Sayang sekali kan? Blogwalking ya! Mampir balik dong. 🙂
Saya pernah baca artikel yang membeberkan bahwa Waterway dihentikan karena sungai yang dilalui sering surut terlalu jauh sampai kapalnya tidak bisa beroperasi, he he 🙂
Sebetulnya bisa diakali dengan manajemen debit air yang baik, seperti di kanal-kanal di Birmingham, tapi yah di Jakarta ini apa sih yang di manage dengan baik 😉
TransJakarta – menyiksa penumpang, bahkan mereka tidak peduli untuk menyediakan trik-trik sederhana seperti menyediakan TV di halte. Padahal, TV yang harganya murah itu bisa membantu membuat proses menunggu jadi terasa singkat.
Sekarang? Antri 5 menit saja pun jadi terasa SANGAT lama, karena (1) berdesak2an (2) panas (3) tambah panas ketika melihat yang menyerobot & egois (4) jadwal bus yang tidak stabil (5) dst.
Seingat saya Kapolri pun pernah komplain bahwa TransJakarta bukan solusi.
Melihat kapasitas nya yang hanya 60 ribu / jam – versus MRT yang 500.000 per jam per jalur DAN tidak menambah kemacetan di jalan; saya setuju dengan pendapat beliau tsb
Pingback: Mimpi Memecah Kemacetan Jakarta « martua benhart sirait