Tangkap dan Sadap


Dua kata ini belakang popular di tengah media dan di kalangan ornop HAM. Penyebabnya tentu mudah anda temukan, yak betul ini soal RUU Intelejen. Saya tak akan membahas RUU Intelejen, karena saya sendiri tak ada bahannya, tapi saya coba menggali beberapa ingatan yang saya peroleh dari pemberitaan di media

Kalangan Ornop gusar dengan adanya wewenang penangkapan oleh intelejen terhadap orang – orang yang diduga dapat mengganggu keamanan negara. Tak hanya soal wewenang penangkapan akan tetapi kalangan ornop kuatir juga rupanya dengan wewenang penyadapan. Sementara pemerintah, berkata bukan soal penangkapan tapi pemeriksaan intensif sementara soal penyadapan pemerintah dan ornop HAM tampaknya bersepakat bahwa intelejen perlu punya wewenang penyadapan meski tak bersepakat soal dimana diaturnya.

Masalah di negeri ini menurut saya masalah koordinasi yang diperparah dengan ketidakmampuan melakukan identifikasi dimana pokok masalah sebenarnya. Intelejen pada dasarnya bertugas untuk mengumpulkan informasi baik dari kawat – kawat diplomatik, dari pemberitaan media (resmi atau tidak), ataupun dari sumber – sumber informasi lainya, misalnya sumber dari penelitian resma yang dilakukan oleh Universitas. Oleh karena itu tugas intelejen itu menurut saya berat banget.

Nah, balik lagi soal penangkapan, berdasarkan ketentuan yang berlaku maka penangkapan adalah  “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.

Perintah penangkapan berdasarkan KUHAP baru dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Lalu apa yang disebut dengan “bukti permulaan yang cukup”, berdasarkan ketentuan yang berlaku itu adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan kejahatan yang terjadi

Jadi Penangkapan tidak boleh dilakukan untuk mencari bukti, tapi penangkapan hanya bisa dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan yang cukup. Ini yang kadang – kadang dilupakan baik oleh pemerintah maupun para pegiat Ornop dalam perdebatan soal RUU Intelejen. Nah, dari sini tentu bisa dielaborasi, apakah alasan pemerintah bahwa pemerintah kesulitan mencari bukti bisa dijadikan acuan untuk memberikan wewenang penangkapan kepada intelejen? Kalau soal informasi sih menurut saya, yang bisa dilakukan ya minta saja BAPnya kepada penyidik dari BAP ini yang kemudian bisa diolah oleh intelejen untuk dibuat informasi intelejen dan diserahkan kepada pengguna informasi intelejen. Kehadiran intelejen menurut saya tak perlu kehadiran fisik bersama – sama polisi.

Intinya adalah penangkapan tak boleh dilakukan apabila minim atau bahkan tidak ada bukti permulaan yang cukup tentang adanya tindak pidana tertentu dan penangkapan tentu hanya bisa dilakukan dalam kerangka penegakkan hukum, di luar itu ya ndak boleh. Saya kuatir, alasan bahwa perlu cari informasi yang banyak inilah yang mendasari dibolehkannya penangkapan lebih dari 1 hari seperti terdapat dalam UU anti terorisme dan revisi UU anti terorisme ini.

Problemnya apakah intelejen berfungsi sebagai salah satu penegak hukum? Silahkan anda jawab sendiri.

Nah soal penyadapan lain lagi ceritanya, ini adalah soal yang tak bisa ditawar – tawar. Penyadapan secara prinsip melanggar privasi dan pelanggaran hak yang resmi tentu hanya bisa dilakukan dalam konteks penegakkan hukum. Argumen pemerintah kira – kira yang bisa saya rumuskan adalah sebisa mungkin penyadapan tidak melanggar privasi orang yang disadap. Menurut saya ini jelas salah kaprah, karena komunikasi orang disadapkan dengan banyak orang, nah gimana dengan status orang – orang yang tidak sengaja tersadap hanya karena berkomunikasi dengan orang – orang yang jadi target operasi?

Dari titik pijak ini saya selalu berpendapat bahwa setiap perampasan kemerdekaan hanya bisa dilakukan oleh penegak hukum dan tidak boleh dilakukan oleh selain penegak hukum. Selain itu perampasan kemerdekaan harus punya tujuan yang jelas. Dalam konteks penyadapan, yang boleh menyadap tentu hanya penegak hukum dan mereka tentu harus disertai oleh bukti yang cukup untuk melakukan penyadapan dalam hal penegakkan hukum. Jadi menurut saya penyadapan hanya bisa dalam kondisi yang sangat khusus dan oleh karena itu tak boleh sembarang menyadap. Karena tak boleh sembarangan itulah tak semua institusi bisa punya kewenangan melakukan penyadapan dan untuk itu maka kita butuh RUU Penyadapan yang mengatur beberapa hal termasuk institusi mana saja yang diberikan kewenangan menyadap. Satu hal yang pasti, menurut saya boleh saja intelejen nyadap asal nggak ketahuan, kalau ketahuan ya mereka harus menghadapi tuntutan hukum hehehehe

Btw, ini hanya pendapat saya, tentu anda boleh setuju dan boleh juga tak setuju dengan pendapat saya

Advertisement
3 comments
  1. Setuju…, saya menilai intelijen ini sudah kehilangan cara. Kalo boleh saya asumsikan jika Ruu itu tetap ngotot untuk disahkan adalah tidak sama dengan permasalahan Seorang mata-mata yang minta ijin kepada komunitas yang akan dimata-matai. Waduh, padahal target hanya 1 atau 2 biji itupun kalo ada.
    Persis!, persis dengan cara nelayan yang mencari ikan dengan potasium.
    Kesimpulanya kalo ketangkep ya harus “di hukum hehehehe” jangan malah dilegalkan.

  2. wah.. kalau mau mengesahkan ketidak terbatasan. aneh emang. sangat rawan untuk di manfaatkan untuk kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan keamanan negara dan akan mengungtungkan kelompok tertentu dong …. waspadalah !

  3. dengan permasalahan Seorang mata-mata yang minta ijin kepada komunitas yang akan dimata-matai. Waduh, padahal target hanya 1 atau 2 biji itupun kalo ada.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: