Peti Mati dan 335
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca artikel dari mas Yusro tentang kehebohan Peti Mati yang dikirim oleh @sumarketer. Konon menurut mas Yusro Pemilik akun @sumarketer ini, semula hanya ingin membuat kejutan yang tidak biasa dalam rangka peluncuran bukunya berjudul: Rest in Peace Advertising Killed by Word Mouth Agency, serta peluncuran perusahaan Buzz & Co miliknya.
Lebih lanjut mas Yusro menjelaskan bahwa Peti mati ukuran kecil seharga Rp 500 ribu itu ia kirimkan pada 100 orang dan lembaga, seperti: para tokoh media sosial, pempinan media, brand owner serta biro iklan. Ternyata bukan cuma kejutan yang diterima oleh penerima, umpatan dan amarahpun tak terhindari. Kompas dan Orang tua misalnya, sampai lapor polisi.
Namun, dalam tulisan ini, mas yusro menyatakan bahwa “Sumardy ingin membuat kejutan, tapi akhirnya dia terkejut sendiri, setelah ditetapkan jadi tersangka. Perkaranya sebenarnya sederhana. Dia tidak bisa mebedakan perbuatan kreatif dengan perbuatan kriminal.”
Menurut saya, ada banyak hal yang keliru jika perbuatan yang dilakukan oleh @sumarketer ini adalah perbuatan kriminal apalagi ia juga dijadikan tersangka karena melanggar Pasal 335 KUHP. Menurut pemahaman saya, apa yang dilakukan oleh @sumarketer bukanlah perbuatan yang patut tapi di saat yang sama juga bukan perbuatan kriminal apalagi jika dikaitkan dengan keberadaan Pasal 335 KUHP.
Pasal 335 KUHP berbunyi:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satau tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
Ke-1: barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain. Ke-2: barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. |
Merujuk pendapat teman saya, mas Supi, maka ia berpendapat bahwa:
pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP mensyaratkan adanya pemenuhan atas dua unsur yakni “memakai kekerasan” atau “ancaman kekerasan”. Pembuktian delik ini cukup dengan terpenuhinya salah satu dari dua unsur tersebut.
Dalam prakteknya, penerapan pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung R.I. (MA) akan menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis. Dalam putusan No.: 675 K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende No.: 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985, MA telah memberi kualifikasi perbuatan pidana yang tidak menyenangkan yaitu: “Dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu.” Artinya, ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban) tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut. Sedangkan maksud dari pasal 335 ayat (2) KUHP adalah perbuatan tidak menyenangkan tersebut dapat juga terjadi jika seseorang memaksa orang lain agar melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu tetapi dengan menggunakan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. Artinya, ancaman tersebut dilakukan dengan cara akan mencemarkan baik secara lisan maupun tertulis. Misalnya A memaksa B agar melakukan sesuatu hal dengan mengancam bahwa jika B tidak melaksanakan sesuatu hal yang diinginkan oleh A, maka A akan mencemarkan nama baik si B baik secara lisan atau tulisan. Namun, tindak pidana ini baru dapat diproses jika si korban melakukan pengaduan ke Polisi terlebih dahulu. |
Secara umum, Pasal 335 ini sangat terkait dengan paksaan terhadap kemerdekaan seseorang, jadi kalau dalam kasus peti mati ini tak satupun dari unsur Pasal 335 ini bisa terpenuhi. Lalu kenapa jadi heboh ya?
Namanya juga “Mouth to Mouth” marketing, pak!
Banyak buzzernya berseliweran di twitter, biar heboh…..
Hihihiiiii 🙂
bisa jadi 😀
setidaknya setelah masuk TV, kemudian diperiksa di kepolisan, kemudian tahanan kota,..beritanya meledak di masyarakat,..MISSION ACCOMPLISHED,….sangat meledak,….
Kemungkinan Sumardi sudah memperhitungkan secara matang bagaimana akibat dari perbuatannya..
kenapa kok harus pake peti mati…
orang lagi sakit2an, orang yg baru habis berduka karena ada keluarganya yg meninggal pasti bakalan sangat kesal kalo dikirimin peti mati…
salah satu unsur pokok dari 335 adalah memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu. unsur ini merupakan unsur kesengajaan dari pasal ini. sementara unsur ‘dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau perbuatan lain atau perlakuan lain yang tidak menyenangkan’ adalah unsur perbuatannya. dalam banyak kasus memang aparat penegak hukum dan bahkan pengadilan seakan mengabaikan unsur kesengajaan tersebut, sehingga seakan semua perbuatan yang menurut korban tidak menyenangkan memenuhi pasal ini.
Perbuatan Tidak Menyenangkan sendiri sebenarnya bukan lah nama delik, karena pasal 335 tidak memberikan nama apapun untuk pasal ini. berbeda misalnya dengan pasal 328 yang memberikan nama pasal tersebut dengan nama “Penculikan”. sayangnya banyak putusan pengadilan yang kadang salah memahami hal ini, sehingga tak jarang saya temukan ada putusan pengadilan yang menyatakan “terdakwa tersebutki melakukan Perbuatan Tidak Menyenangkan”.
wah baru tau saya kalo itu cuma bentuk dari promosi … kreatif yang jadi salah paham yo mas 😛 .
kreatif juga ya idenya
mungkin karena menarik X……:)
. kreatif jga infonya .
semua ada jalurnya, kalau memang di anggap pidana tunggu sampai incracht (hukum kita sering tidak pasti karena banyak laporan yang hanya untuk menakut-nakuti atau untuk bergening, yang akhirnya tidak pernah ada kepastian hukum), kalau di anggap laporan palsu, laporkan saja kembali dan biarkan hukum yang bicara (asal hukum kita benar2 murni), saya berpendapat kekerasan atau ancaman kekerasan adalah alternatif unsur dari perbuatan lain maupun perbuatan tak menyenangkan, jadi tidak perlu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan cukup dengan perbuatan lain, yang terpenting orang lain ada keterpaksaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, nah maslah terpaska inilah yang menjadi kendala karena menjadi unsur yang subyektif dari korban dan saya belum menemukan dasar hukum dari terpaksa batasannya sampai bagaimana.