MENGAYUH DIANTARA DUA KARANG


PERNYATAAN KEPRIHATINAN !
Mengayuh diantara dua karang! Judul ini sengaja ditulis oleh penulis yang menginginkan agar bisa menjadi bahan renungan buat kawan-kawan semua. Tulisan ini juga berangkat dari keprihatinan penulis terhadap dunia hukum Indonesia yang cukup amburadul (ingatlah bahwa para elite politik kita begitu gampang membalikkan logika hukum as example: kasus Akbar Tandjung compare-kan dengan kasus Gus Dur, pseudo Pengadilan Ad Hoc HAM Timor-Timur, dll). Ini baru di tingkatan suprastruktur negara kita belum di tingkat yang lebih kecil.
Penulis juga mengamati beberapa perkembangan menarik dimana pemerintahan rejim “reformasi” ini benar-benar melakukan reformasi hukum yang jauh lebih dahsyat tingkat ke-smooth- annnya dari rejim orde baru dengan melakukan penundukkan secara diam-diam supremasi hukum ke dalam supremasi politik (lihat pengeluaran R & D dan pengesahan RUU Ketenagakerjaan, kasus trisakti dan semanggi).
Berangkat dari asumsi dasar inilah penulis mencoba menuliskan perspektif dan kegelisahannya ketika bergerak sebagai pekerja bantuan hukum/pengacara publik di ranah advokasi hukum dan hak asasi manusia di Jawa Barat. Pengalaman berinteraksi selama lebih kurang dua tahun (walaupun tidak terlalu intens) dengan masyarakat yang tertindas secara politik, ekonomi, dan hukum sedikitnya telah membukakan mata penulis bagaimana kemudian hukum itu diterjemahkan oleh berbagai kelompok/kelas yang berkepentingan.
Penulis paham sekali dengan filsafat positivisme yang selama ini diajarkan oleh fakultas hukum kita yang tercinta kepada kita semua. Dimana kita diajarkan memandang hukum sebagai sesuatu yang “statis” dan “kaku” serta mengidealkan bagaimana hukum di-down to earth-kan di tingkatan yang sangat praksis. Tetapi ada satu hal yang tidak diajarkan secara mendalam kepada kita bagaimana filsafat hukum positivisme itu lahir dan berkembang di seluruh dunia. Menurut hemat penulis (koreksi kalau saya salah) filsafat ini lahir di tengah-tengah pergolakkan antara kaum ningrat dengan kaum demokrat liberal di daratan eropa. Kaum demokrat liberal ini berupaya untuk menjatuhkan dominasi kaum ningrat yang dilambangkan dengan filsafat kedaulatan Tuhan. Tentunya dalam menarik perhatian banyak orang, suatu senjata filsafat yang baru diperlukan untuk menyerang filsafat lama. Sebagaimana filsafat positivisme menyerang filsafat kedaulatan Tuhan, seperti itulah pertarungan besar dari kedua kelompok kepentingan tersebut. Nyata terbukti bahwa filsafat kedaulatan tuhan saat ini tidak mempunyai tempat (kecuali dalam sejarah filsafat hukum) di lapangan hukum.
Celakanya, filsafat positivisme hukum justru beraksi secara reaksioner terhadap kalangan rakyat (yang penulis maksud dengan rakyat adalah kelompok orang yang sedikit/tidak punya akses terhadap sistem politik, ekonomi, dan hukum). Lihat bagaimana undang-undang dibakukan dengan mengabaikan realitas sejarah dan sosial dari masyarakat yang ada dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan bahkan para pembuat undang-undang melakukan legalized corruption untuk kepentingan pribadi mereka (contoh kasus dana kavling DPRD Jawa Barat). Petani-petani penggarap diusir dari tanah adatnya sendiri karena tidak memiliki sertifikat hak milik, kaum buruh dipaksa untuk taat pada aturan UMK (yang menurut keterangan resmi Menakertrans saja hanya mencukupi 80 % kehidupan buruh lajang) dan RUU TNI yang kontroversial (lihat pasal (kudeta) 19) serta permintaan BIN untuk mengambil alih sebagian (atau justru seluruhnya?) kewenangan polisi yang telah diatur dalam KUHAP. Contoh-contoh diatas yang coba di buat thesis oleh penulis menganalisa berbagai permasalahan hukum yang ada di negeri terconta ini.

KEPASTIAN HUKUM Vs. KEADILAN.
Pertanyaan ini masih terngiang di benak penulis ketika menghadapi ujian sidang filsafat (atau pilsyahwat?) hukum. Mungkin juga penulis hipokrit dalam menjawab pertanyaan ini tetapi mungkin juga tidak. Karena Bapak Ahmad M. Ramli menanyakan pertanyaan ini dihubungkan dengan kondisi Indonesia sekarang, ketika itu penulis menjawab dengan mantap dan haqqul yakiin KEPASTIAN HUKUM. Betapa pertanyaan ini sungguh sulit dijawab oleh penulis ketika itu. Tetapi penulis punya keyakinan setelah menganalisa berbagai soal (termasuk kemungkinan tidak lulus bila di jawab keadilan, karena saya yakin betul bahwa para guru besar filsafat hukum Unpad adalah penikmat filsafat positivisme hukum). Tetapi keadilan pada saat itu bagi penulis sangat abstrak sehingga bisa menimbulkan multi tafsir dan sangat mungkin ber-dwifungsi (memangnya hanya ABRI (TNI/POLRI) bisa ber-dwifungsi). Karena parameter atau alat ukur atau indikator atau apapun itu namanya sungguh-sungguh abstrak. Ini yang kemudian menjadi dasar bagi penulis untuk menjawab dengan tegas kepastian hukum.
Dalam suatu ketidakteraturan dan kegoncangan yang luar biasa memang dibutuhkan adanya kepastian hukum. Tetapi bagi penulis, hal ini sungguh teramat mudah tergelincir dalam jurang ketidakpastian yang sangat besar bagi rakyat (ingat definisi rakyat menurut penulis). Kepastian hukum amat mudah diselingkuhi dengan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan bukankah sejarah Indonesia sudah mengajarkan bagaimana kepastian hukum dipraktikkan di masa rejim kolonial dan rejim orde baru. Kepastian hukum bagi penulis sangat mudah untuk dijadikan “pelayan” bagi kepentingan kekuasaan dan kapital semata-mata (ingatlah bahwa UUD 1945 yang cacat itu justru memberikan kepastian hukum yang 1000% pasti menjamin kehendak para diktator yang ingin berkuasa).
Di saat sendi-sendi kekuasaan mulai goyah, kepastian hukum sangat diperlukan untuk menjamin privilege dari kelas borjuasi (mohon punten dengan mengutip istilah Marx karena sulit menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia). Kenapa? Justru dengan adanya jaminan kepastian hukum kepentingan kekuasaan dan kapital dengan mudah terjaga baik dari gugatan rakyat yang tertindas dan pada saat yang sama kepastian hukum juga menjamin hilangnya hak-hak rakyat secara kolektif.

KEPASTIAN HUKUM Vs KEADILAN SOSIAL
Jika dan hanya jika pertanyaan ini yang diajukan dalam sidang filsafat hukum tentunya dengan teramat sangat pasti dan dengan gegap gempita penulis akan menjawab KEADILAN SOSIAL, sayangnya pertanyaan seperti ini hanya muncul dalam impian penulis saat menjelang mata terlelap. Bagi penulis pertanyaan ini akan menjawab dalam kubu mana hukum akan di re-inventing-kan kembali guna menjamin pemenuhan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Keadilan dan keadilan sosial adalah dua hal yang berbeda bagi penulis, karena keadilan sangat abstrak dan bernuansa pro status quo dibandingkan keadilan sosial yang alat ukurnya sangat pasti dan mutlak dan bernuansa memberikan perlindungan yang efektif bagi kalangan yang miskin, hina, serta terpinggirkan dalam sistem politik, ekonomi, dan hukum saat ini. Berangkat dari asumsi bahwa tujuan hukum tertinggi adalah tercapainya pemenuhan keadilan sosial secara kaffah maka hukum itu dengan sendirinya akan dihormati dan dihargai sebagai sarana perlindungan bagi kemaslahatan umum. Premis ini tentunya perlu di uji-cobakan serta di fit and proper test-kan di kalangan ahli hukum dan di uji-tandingkan dengan mahdzab kepastian hukum. Penulis yakin bahwa yang akan melakukan penentangan terhadap premis ini adalah kaum the established beserta para pendukung filsafat positivisme hukum.
Keadilan sosial juga meliputi dan tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan tertinggi sebagaimana yang diajarkan oleh agama-agama manusia. Pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan sosial ini juga yang melahirkan filsafat hukum kritis yang diolah secara jitu oleh mahdzab frankfurt. Filsafat hukum kritis justru menyandarkan diri secara mutlak kepada nilai-nilai keadilan sosial dan of course mengabdikan dirinya pada nilai-nilai kemanusiaan. Siapakah yang di dunia ini yang masih waras otak dan budi pekertinya akan mengatakan tidak setuju bahwa harus ada pelarangan penumpukan kapital di tangan satu atau beberapa kelompok orang apalagi jika penumpukan kapital itu dilakukan secara onrechtmatige? Siapakah yang akan menyatakan oposisinya bahwa manusia dan martabat kemanusiaan harus dikembalikan dalam posisi mulianya? Siapakah yang akan tidak mengangguk bahwa kekuasaan itu harus dibatasi dan hanya boleh dipersembahkan untuk sebesar-besar kemakmuran serta kesejahteraan rakyat? Siapakah yang tidak akan bertepuk tangan bahwa koruptor kelas berat macam akbar tandjung, fuad bawasier, ginandjar kartasasmita dipidana dengan seumur hidup dan dirampas kekayaannya untuk kepentingan seluruh masyarakat? Ibu dan perempuan manakah yang tidak akan menangis karena haru ketika hakim memutuskan pelaku kekerasan terhadap perempuan dipidana dengan keras apalagi terhadap tentara Indonesia yang melakukan perkosaan terhadap perempuan bangsa Aceh, bangsa Papua Barat, dan bangsa Timor Leste? Petani manakah yang tidak akan sujud syukur dengan diakuinya tanah garapan mereka yang telah berbilang generasi dikembalikan pada mereka? Buruh manakah yang tidak akan bersorak ketika diakuinya bahwa mereka pun tidak boleh diperlakukan sebagaimana mesin dan sekrup?

SAATNYA MERENUNG!
Penulis sangat memahami bahwa tulisan ini akan menimbulkan kritik dari kawan-kawan semua, tetapi penulis juga yakin bahwa perbedaan itu adalah rahmat bagi alam semesta. Oleh karena itu penulis mencoba merenung dan merenung kembali di tengah-tengah gemerlapnya dunia hukum Indonesia dan mencoba menempatkan diri ke karang mana penulis akan berdiri. Bahwa kemudian ada fakta bahwa pengadilan adalah sarang tikus dan universitas justru menyuburkan tikus-tikus baru di pengadilan adalah tidak mungkin dibantah. Tetapi bahwa kemudian penulis mencoba menyadarkan bagaimana masyarakat beserta kawan-kawan semua ikut serta mengontrol kinerja pengadilan dan mengawasi para hakim, jaksa, polisi, pengacara (termasuk penulis sendiri) agar tidak berbuat curang adalah suatu kepastian. Penulis juga tidak berharap suatu mu’jizat atau miracle atau keajaiban seperti di film aladdin dapat tercipta dan dunia hukum akan beres dengan sendirinya dalam hitungan kejapan mata. Dan penulis yakin bahwa dengan bersoal-jawab seperti ini kita mampu mengarahkan kemana akan dibawa sistem hukum di negeri tercinta ini akan dibawa. Bahwa ada perbedaan keyakinan di antara kita itu adalah kepastian tetapi adalah kepastian juga bahwa kita semua mempunyai satu tujuan yang sama dengan mencoba sekuat tenaga kita untuk menempatkan hukum pada posisinya yang terhormat dan tidak lagi dilecehkan oleh masyarakat kita sendiri.

Fiat Justiti Ruat Coellum !!!

Advertisement
1 comment
  1. soank said:

    Menyuluh bangsa dengan pena. Seperti Tirto Adhi Soerjo saja ya….
    Tulisan ini memiliki faham bahwa seseorang mesti dipidana untuk memenuhi kepuasan masyarakat.

    Cotohnya:
    “Siapakah yang tidak akan bertepuk tangan bahwa koruptor kelas berat macam akbar tandjung, fuad bawasier, ginandjar kartasasmita dipidana dengan seumur hidup dan dirampas kekayaannya untuk kepentingan seluruh masyarakat?”

    Jelas banyak yang bakal alpa bertepuk tangan. Karena koruptor di negeri ini tidak cuma tiga orang yang disebut di situ. Logikanya begini, jika ketiga orang itu dipidana berat, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi koruptor lain. mereka akan ketakutan dikenai hukuman yang sama. Jadi, karena saking banyaknya koruptor di negeri ini, maka akan banyak yang tidak bertepuk tangan pula saat ketiga orang itu dihukum.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: