Quo Vadis Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang
Munculnya Peraturan Daerah yang melarang tentang kegiatan pelacuran menjadi tren di berbagai daerah. Dengan Tangerang, melalui Perda No 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran (untuk mudahnya akan disebut dengan Perda Anti Pelacuran), telah menjadi trend setter yang kemudian secara terburu-buru hendak diikuti oleh berbagai daerah lainnya seperti Bekasi, Depok dan Jakarta. Beragam pendapat telah muncul tentang Perda Anti Pelacuran tersebut, banyak yang mendukung namun tak sedikit orang dan kelompok yang menentang munculnya Perda Anti Pelacuran tersebut.
Berbagai argumentasi baik dari kelompok pendukung ataupun penentangpun sangat beragam. Malah ada beberapa pihak yang menganggap bahwa munculnya Perda dan Raperda Anti Pelacuran ini merupakan prakondisi untuk kehadiran RUU APP. Namun, hal yang menarik adalah adanya benang merah bahwa kedua kelompok baik pro ataupun penentang tersebut sama-sama menentang praktek pelacuran.
Harus diakui, bahwa dengan munculnya Perda Anti Pelacuran di Tangerang, telah membuat berbagai daerah berinisatif untuk membuat ketentuan serupa. Pada saat yang sama Perda Anti Pelacuran di Tangerang telah membawa korban tidak sedikit. Tak sedikit kelompok masyarakat yang trauma atau takut untuk melakukan aktifitas di malam hari terutama bagi kelompok perempuan yang menjadi buruh di sekitar kota Tangerang. Di Tangerang, orang-orang dan kelompok masyarakat rentan seperti Linda, Lia, Sri, Lina,dan Triana telah menjadi korban dari penerapan Perda Anti Pelacuran. Boleh jadi kaum perempuan di Kota Tangerang dan sekitarnya menjadi takut dan trauma apabila mereka harus menjadi korban dari penerapan Perda Anti Pelacuran. Ketakutan tersebut tak dapat dihindari, karena pada saat ini, cukup banyak perempuan yang bekerja di sektor industri dan jasa. Kaum perempuan di Tangerang justru telah menjadi tulang punggung dari detak nadi industrialisasi di Kota Tangerang terutama di sektor manufaktur.
Setiap kelompok masyarakat terutama di Tangerang yang telah terkena atau berpotensi terkena dampak dari kehadiran Perda Anti Pelacuran ini sebaiknya mencermati beragam isu dan masalah yang mungkin muncul dalam diskursus hukum pidana di Indonesia.
Perda Anti Pelacuran yang diterapkan di Kota Tangerang ini setidaknya membawa berbagai persoalan dan implikasi hukum dalam penerapannya, Pemerintah dan DPRD Kota Tangerang menjadi sangat tidak bijak apabila dengan yakin menyatakan bahwa dukungan terhadap Perda Anti Pelacuran sangat besar dan ketentuan tersebut telah melewati berbagai uji publik. Setidaknya ada tiga persoalan dalam mengidentifikasi Perda Anti Pelacuran di Tangerang ini yaitu; persoalan akses terhadap keadilan, penyimpangan KUHP & KUHAP, dan apakah pelacuran merupakan tindak pidana ringan atau delik pidana biasa
Akses Terhadap Keadilan
Dalam penerapan Perda Anti Pelacuran ini, nampak dengan jelas bahwa akses terhadap keadilan (access to justice) telah diabaikan. KUHAP menyebutkan dengan jelas berbagai hak tersangka dan terdakwa selama dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Perda Anti Pelacuran secara tersirat menegaskan bahwa dalam pelaksanaannya Penyidik berpegangan pada ketentuan UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hak-hak tersebut tidak bisa ditanggali, bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun, hak-hak tersangka dan/atau terdakwa harus tetap dihormati dan dipenuhi
Ada beberapa ketentuan yang dilanggar baik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan proses persidangan terhadap para tersangka dan/atau terdakwa yang dijerat dengan Perda Anti Pelacuran tersebut.
Beberapa hak dalam KUHAP yang kemudian ditanggali dalam pemeriksaan tersangka/terdakwa dalam konteks Perda Anti Pelacuran Tangerang. Dalam KUHAP tersangka/terdakwa berhak untuk
1. dianggap tidak bersalah pada setiap tingkat pemeriksaan sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
2. segera mendapatkan pemeriksaan dari penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum
3. segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan
4. memberikan keterangan secara bebas pada setiap tingkat pemeriksaan
5. mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih kuasa hukum pada setiap tingkat pemeriksaan
6. mendapatkan BAP yang berkaitan dengan diri tersangka/terdakwa (
7. diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengannya atas penahanan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, serta untuk menghubungi penasihat hukum untuk mendapatkan penangguhan penahanan
8. mengajukan saksi dan atau seorang yang mempunyai keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya
9. tidak dibebani kewajiban pembuktian
10. menolak keterangan saksi-saksi yang tidak sesuai dan menyatakan fakta yang benar kepada Hakim
11. mengajukan dan membacakan Nota Pembelaan
12. diadili dengan persidangan yang tertutup untuk umum dalam kasus-kasus kesusilaan
Penyimpangan KUHP & KUHAP
Tidak bisa dipungkiri, bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia merupakan warisan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Namun demikian, berdasarkan Aturan Peralihan UUD RI Tahun 1945 dan UU No 1 Tahun 1946 ketentuan ini dinyatakan masih berlaku bagi setiap orang yang berada di Indonesia. Ada dua jenis tindak pidana yang diatur dalam KUHP yaitu: kejahatan dan pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh Tindak Pidana yang dinyatakan dalan Perda Anti Pelacuran ini masuk kedalam Tindak Pidana Pelanggaran.sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Perda Anti Pelacuran.
Dalam lapangan hukum pidana, dalam tindak pidana pelanggaran, pelaku harus terlebih dahulu melakukan tindak pidana tersebut sehingga dapat dijatuhi pidana berupa kurungan ataupun denda. Terhadap masalah ini, KUHP telah menyatakan dengan tegas, bahwa Percobaan Pelanggaran tidak dapat dipidana. Dalam konteks ini, niat dan usaha untuk melakukan pelanggaran saja tidak bisa menjadi unsur dari suatu delik pidana, perlu dilakukan suatu tindakan pelanggaran yang nyata sehingga seseorang dapat memenuhi unsur delik. Menjadi suatu kekeliruan yang sangat nyata dalam Pasal 4 ayat (1), yang menjadi kontroversi dalam Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang ini, bunyinya adalah sebagai berikut:
“setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umu, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung atau tempat tontonan, di sudut-sudut jalan, atau di lorong-lorong jalan, atau di tempat-tempat lain di Daerah” .
Jika ditelaah lebih jauh dengan menggunakan ketentuan dalam KUHP tentang Percobaan Pelanggaran, maka dapat terlihat bahwa sebenarnya ketentuan ini sudah melampaui kewenangannya, Seluruh uraian dalam Pasal 4 ayat (1) Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang pada dasarnya tidak melakukan atau belum melakukan tindak pidana pelanggaran pelacuran sebagaimana yang maksud dalam Pasal 2 ayat (1) Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam tubuh Perda Anti Pelacuran sendiri mengandung kontradiksi. Adalah sangat bersesuaian ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Perda Anti Pelacuran dengan Pasal (xx) KUHP
Tindak Pidana Ringan atau Delik Pidana Biasa
Mengingat ada perbedaan prinsipil dalam tindak pidana ringan dan delik pidana biasa, maka akan sulit secara ilmiah untuk melakukan klasifikasi dari delik pidana yang terdapat dalam Perda Anti Pelacuran ini.
Kesulitan ini diakibatkan bahwa dalam Perda Anti Pelacuran ini, delik pidana dalam Perda ini diklasifikasikan sebagai tindak pidana ringan yang dilihat lagi maka secara esensi merupakan delik pidana biasa. Dalam konteks hukum pidana, delik pidana biasa tidak dapat diatur dalam sebuah Peraturan Daerah, tetapi harus dirumuskan dalam suatu peraturan di tingkat nasional.
Dari sini, nampak bahwa legislator pada DPRD Kota Tangerang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum dan khususnya hukum pidana. Legislator pada DPRD Kota Tangerang hanya memahami bahwa produk yang dihasilkan melalui peraturan daerah yang dapat menjangkau tindak pidana dalam bentuk pelanggaran tetapi gagal dalam memahami esensi dari suatu delik pidana. Sehingga produk yang dihasilkannya pun mengalami sesat pikir ilmiah dalam hukum pidana
Kesulitan ini juga diperoleh dari respon Majelis Hakim yang menyidangkan perkara berdasarkan Perda Anti Pelacuran ini. Majelis Hakim nampaknya telah mengabaikan bagaimana pengaturan suatu delik dalam hukum pidana dan bagaimana penempatan delik pelanggaran dalam tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Majelis Hakim juga telah mengabaikan fakta dengan begitu banyaknya pelanggaran atas KUHAP yang telah secara tegas mengatur dan melindungi hak-hak tersangka dan terdakwa. Dari sini sebenarnya telah terlihat dengan jelas bagaimana kekuasan pengadilan berselingkuh dengan kekuasan eksekutif dan legislatif dalam melakukan kriminalisasi terhadap perempuan.
hehe.. bahasan ga menarik, tapi lumayan buat isi blog.
@white collar advocate
terima kasih 🙂
Mas Anggara,
boleh quote tulisan Anda dengan tetap mencantumkan sumbernya gak? Saya lagi butuh pendapat dan analisa ahli hukum mengenai perda ini, terutama pasal 4 ayat 1.
thank you,
Izzah
@izzah
silahkan bu
emang para pejabat Pemda kita, benar2 manusia suci. suci hatinya, suci badannya, suci perilakunya,,,, ( walaupun juga sering keluar malam)
@kane
hihihihihi, no comment deh
saya sedang melakukan penelitian tugas akhir skripsi. saya ingin mencari wanita yang menjadi korban pekerja malam di tangerang . dengan kriteria sebagai berikut:
1. janda
2.pramusaji
kalau ada tolong balas ke email saya ya….di natalria_88@yahoo.com. terima kasih. saya sangat membutuhkan sekali infonya…
Pingback: Legalisasi Prostitusi? « Dunia Anggara