Problem Hukum Pengujian Perda
Berita diambil dari situs http://www.hukumonline.com
Berangkat dari Pembatalan Perda Privatisasi Rumah Sakit
[22/6/06]
Ketentuan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya Perda, di era otonomi daerah ternyata tidak konsisten antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain.
Era otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk membuat Peraturan Daerah (Perda). Namun, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 05/HUM/2005 timbul permasalahan hukum mengenai lembaga mana sebenarnya yang berwenang menguji.
Majelis hakim agung yang diketuai Prof. Muchsan pada 21 Februari 2006 memutuskan pembatalan tiga Perda DKI Jakarta (No. 13, 14 dan 14 Tahun 2004). Dalam amarnya, majelis juga memerintahkan kepada Gubernur dan DPRD DKI untuk mencabut ketiga Perda tersebut. Jika dalam waktu 90 hari tidak dilaksanakan, maka ketiga Perda tentang privatisasi rumah sakit daerah itu demi hukum dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan itu sendiri berawal dari permohonan judicial review yang sejumlah elemen pemerhati hak-hak konsumen, termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung memberi wewenang kepada MA untuk “menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang”. Dengan merujuk pasal 7 UU No 10 Tahun 2004 berarti peraturan perundang-undangan yang dapat diuji oleh MA adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.
Pembatalan
Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya.
Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di era otoda ini mengingat Perda adalah produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.
Menurut Maria Farida, pengujian terhadap Perda tidak dilakukan oleh MA. Menurut pakar ilmu perundang-undangan tersebut, hal itu terkait ketentuan Pasal 145 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004 di mana kewenangan pembatalan (berarti termasuk juga pengujiannya) Perda hanya ada pada Presiden apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. “Kalau sekarang, yang berwenang membatalkan Perda berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 itu Presiden/Pemerintah. Pemerintah dengan Peraturan Presiden, tapi kalau Pemerintah Daerah itu tidak puas, ia bisa mengajukan ke MA,” ujar Maria.
Berdasarkan penelusuran hukumonline, tindak lanjut dari pembatalan Perda tersebut menurut UU No 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda oleh Pemerintah dari Daerah. Kemudian, paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan karena alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan,maka kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung
Dengan demikian, wewenang MA terkait pembatalan Perda berdasarkan Pasal 145 ayat (6) UU Nomor 32 Tahun 2004 terbatas hanya menerima keberatan terhadap daerah yang tidak terima pembatalan Perda oleh Pemerintah, dan tidak berwenang menguji, apalagi membatalkannya. “Jadi dia (MA) tidak membatalkan. Tapi kalau Perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, maka asasnya ia tidak bisa diberlakukan, (karena) tidak punya kekuatan hukum (lagi),” urai Maria.
Secara tersirat, Maria Farida menyatakan bahwa kondisi demikian berarti sebagai pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan UU Nomor 5 Tahun 2004 dimana seharusnya MA berwenang melakukan uji materiil terhadap segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. “Sebetulnya menurut Pasal 24A (UUD 1945), semua peraturan di bawah UU diujinya oleh MA, tapi UU Nomor 32 (Tahun 2004) menyatakan kalau Perda bertentangan dengan yang lebih tinggi, dibatalkan oleh Presiden,” jelas Maria lebih lanjut.
Dengan demikian, menurut staf pengajar Fakultas Hukum UI ini, MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya, tapi tidak termasuk Perda.
Namun demikian, menurut Kepala Pusat Kajian Otonomi Daerah Universitas Brawijaya Malang, Ibnu Tri Cahyo, pengaturan mengenai kebolehan Pemerintah menguji Perda tidak berarti sebagai pengecualian dari wewenang MA dalam menguji peraturan peraundang-undangan. Menurut Ibnu, MA tetap berwenang menguji Perda.
Pengujian Perda oleh Pemerintah justru karena Pemda merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif). “Karena Pemda ada di bawah Pemerintah, dan dia ada di struktur Pemerintah. Jadi Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah,” jelasnya lebih lanjut.
Meskipun Pemerintah mempunyai kewenangan menguji Perda, kewenangan tersebut menurut Ibnu harus dilakukan dalam konteks supremasi hukum. “Jadi supaya sentaralistik tidak dominan. Meskipun itu bisa dibatalkan oleh pemerintah, Daerah yang keberatan masih diberikan kesempatan mengajukan keberatan ke MA,” ujarnya.
(M-1)
Dibatalkan Lewat Perpres atau Kepmendagri?
[23/6/06]
Siapa sebenarnya yang berwenang melakukan executive review terhadap Perda? Apakah harus diputuskan lewat Perpres atau cukup dengan Kepmendagri.
Dengan alasan mempunyai kewenangan menguji Perda, Direktur Bina Administrasi Keuangan Depdagri Daeng Mochammad Nazier pernah mengakui sudah ada 393 Perda yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang sudah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Tindakan pembatalan Perda melalui Kepmendagri demikian dibenarkan Ibnu dengan alasan kewenangan pembatalan Perda oleh Presiden sudah dilimpahkan ke Mendagri. “Dilimpahkan ke Mendagri, bentuknya Kepmendagri,” tuturnya.
Pendapat demikian diamini oleh Direktur Urusan Pemerintahan Daerah, Dirjen Otonomi Daerah, I Made Suwandi. Menurut Made, pencabutan Perda dalam bentuk Kepmendagri karena Pemerintah telah melimpahkan itu kepada Mendagri. “Bentuknya Keputusan Menteri Dalam Negeri, karena Pemerintah telah melimpahkan itu kepada Mendagri,” ujarnya kepada hukumonline.
Lebih lanjut, Made membedakan pengujian Perda secara preventif dan represif. “Ada empat Perda yang diuji secara preventif : Perda Pajak, Retribusi, Tata ruang dan APBD. Kalau tidak ada masalah, dia diberlakukan. Yang lainnya represif, jadi berlaku dulu, kalau bertentangan, baru dicabut,” jelas Made lebih lanjut.
Ditambahkan oleh Made, dengan adanya UU No 32 Tahun 2004 maka Pemerintahlah yang menguji Perda sedangkan MA berhak menguji Perda yang telah diuji Pemerintah, tetapi daerah masih merasa benar. “Kalau daerah masih merasa benar, dia bisa mengajukan (keberatan, red) ke MA.”
Menurut Made, pengujian Perda oleh Pemerintah merupakan sarana kontrol agar tidak terjadi masalah di masyarakat nantinya. Namun Made menyesalkan banyak daerah yang tidak melaporkan Perda yang akan diberlakukan sehingga pengujian Perda oleh Pemerintah masih bersifat Pasif.
Sebaliknya, menurut Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti, pembatalan Perda oleh Mendagri tidak tepat. Meskipun demikian, diakui Bivitri bahwa kenyataan di lapangan sampai sekarang masih terjadi pembatalan Perda oleh Mendagri melalui Kepmendagri.
“Excecutive review (terhadap Perda) oleh Depdagri, tapi pembatalannya harus lewat Perpres karena Depdagri berdasarkan UU No 10 Tahun 2004 sudah tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tidak bisa sebuah Perda dibatalkan oleh Kepmendagri. Itu tidak boleh lagi,” tambah Bivitri.
Dengan demikian, Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda, oleh Bivitri dinilai cacat hukum. ”Implikasi hukumnya, daerah atau kabupaten bisa saja tidak menuruti itu (pembatalan). Yang kedua, bisa saja (pembatalan itu) di-challenge.”
Pakar hukum tata negara Prof. Sri Somentri menjelaskan ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. “Hak uji dilakukan bukan hanya oleh MA, tapi juga oleh pemerintah. Ada yang oleh presiden, ada yang oleh Menteri Dalam Negeri”.
Lebih lanjut, Guru Besar emeritus Universitas Padjajaran tersebut menilai MA memang punya wewenang untuk membatalkan Perda. “Peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan lebih tinggi, kecuali UU, dapat diajukan ke MA. MA punya kewenangan untuk itu,” ujarnya.
Senada dengan Prof. Sri Soemantri, Bivitri menilai, terhadap Perda dapat dilakukan excecutive review dan judicial review. “Sebenarnya ada dua lembaga (yang berwenang mereview). Pertama, (berdasarkan) Pasal 145 UU No 32 Tahun 2004 ada kewajiban mengirimkan semua Perda yang sudah ditandatangani ke Depdagri. Dalam dua bulan, ia (Depdagri) seharusnya me-review. Kalau misalnya (Perda) tidak sesuai peraturan perundang-undangan terkait, bisa dibatalkan. Kalau kemudian Pemda dan DPRD tidak puas, bisa challenge ke MA. Kemudian yang kedua (oleh) MA, melalui mekanisme judicial review,” tambah Bivitri.
Berdasarkan analisis Bivitri, ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mereview Perda, tidak berarti menutup peluang MA untuk mereview Perda. “UU No 32 Tahun 2004 hanya memberikan kriteria untuk excecutive review, bukan berarti judicial review jadi ditutup. Karena kita untuk mereview Perda bisa mengaju pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan MA”
(M-1)
Mengembalikan ke Proses Yudisial
[26/6/06]
Bagaimana perbandingannya dengan pengujian suatu undang-undang?
Berbeda dengan yang lain, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang” terbitan Sekretariat Jenderal MK tahun 2006 (halaman 37-39), menyatakan bahwa Perda sebagai hasil kerja Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja.
Lebih lanjut, pakar hukum tata negara yang juga merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi itu berpendapat bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut Perda sebagaimana diatur oleh UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32 Tahun 2004), tetapi yang berwenang menguji Perda adalah MA sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.
Pendapat Prof. Jimly ternyata diamini oleh Marwan Batubara. Dalam wawancara via telepon dengan hukumonline, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta tersebut tidak sepakat dengan adanya excecutive review terhadap Perda. Lebih lanjut, Marwan menilai ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive review merupakan bentuk ketidakkonsistenan peraturan perundang-undangan.
“Itu tidak konsisten. Saya kira ini (kewenangan adanya excecutif review) perlu direview, dan kalau memang perlu, kita ajukan judicial review. Itu merupakan langkah yang harus kita ambil. Menurut UUD, UU atau aturan yang levelnya lebih rendah terhadap UU, itu MA (yang menguji). Kalau UU terhadap UUD itu oleh MK,” tandas Marwan.
Bila hasil judicial review MA membatalkan Perda, maka Menurut Marwan, pembuat Perda (eksekutif daerah dan DPRD) harus mencabut Perda yang bersangkutan. “Kalau sudah diuji, lalu ada kesimpulan (tidak sah), otomatis harus dibatalkan. Pembuatnya otomatis (harus) mencabut. Excecutive harusnya menaati itu. Itu masalah ketaatan”
Dari hasil penelusuran hukumonline tidak ditemukan bagaimana cara eksekusi suatu putusan judicial review dari MA. Berdasarkan pemaparan Ibnu, disitulah letak kelemahan hukum kita di mana MA hanya menguji dan keputusan pembatalan atau pencabutan, diserahkan kembali kepada lembaga pembuatnya. ”Itu kelemahannya. MA hanya menguji, menyatakan Perda bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tapi untuk Perda itu bisa tidak berlaku, harus dicabut oleh si pembuatnya. Di MA hanya (bisa) dinyatakan bertentangan, tapi tidak punya daya eksekutorial selama si pembuatnya tidak mengubah atau mencabutnya sendiri,” ujar Ibnu.
Lebih lanjut, Ibnu menyarankan agar hasil pengujian di MA dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana hasil pengujian oleh MK. Bahkan Ibnu menyarankan agar pengujian peraturan perundang-undangan dilakukan oleh satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi, tidak seperti sekarang yang dilakukan oleh dua lembaga yaitu MA dan MK.
Namun menurut Made, pembuat Perda terikat dengan hasil putusan judicial review MA dan harus mencabut Perda dalam waktu yang telah ditentukan apabila Perda itu dinyatakan tidak sah oleh MA.
Pengujian Undang-Undang
Pasca amandemen UUD 1945, uji materiil menjadi tidak sebatas pada peraturan perundang-undang di bawah undang-undang , tetapi juga terhadap undang-undang. Pengujian tersebut dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945 ayat (1) di mana antara lain disebutkan bahwa wewenang MK salah satunya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UUD.
Apabila amar putusan MK menyatakan bahwa materi muatan undang-undang bertentangan dengan undang-undang, maka materi muatan undang-undang tersebut berdasarkan Pasal 57 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK itu sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi akan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diucapkan.
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang” halam 318-319, menyatakan bahwa putusan MK berlaku prospektif ke depan, tidak retrospektif ke belakang. Karena itu, segala perbuatan hukum dan subyek hukum yang sah menurut rezim hukum lama sebelum putusan MK, tetap harus dianggap sah adanya.
(M-1)
request for referent
sebenarnya pengaturan pembatalan perda itu berdasarkan UU 32 th 2004 yang benar bagaimana dan juga prosedur yang sah terhasap pembatalan perda…????
knp msh membingungkan……
@dhika
model pembatalan perda ada dua melalui pengadilan atau melalui pemerintah dan keduanya mempunyai prosedur yang berbeda, silahkan dibaca kembali peraturannya
dari tulisan di atas pemabatalan terhadap perda berdasarkan UU 32/2004 dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Presiden yang kemudian dilimpahkan kepada Mendagri, nah dalam hal dikeluarkannya perda oleh pemda tanpa dilakukan executive review oleh Mendagri dan ternyata dalam pelaksanaannya perda tersebut oleh masyarakat dianggap bertentangan dengan kepentingan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. pertanyaan saya apakah perda terbut dapat dibatalkan? kemudian apakah masyarakat dalam hal ini orang pribadi atau badan dapat meminta pembatalan ke mendagri langsung?
good