Hak Jawab + Hak Tolak + Hak Koreksi + Kewajiban Koreksi – Kriminalisasi = Kemerdekaan Pers (Tiga Hak, 1 Kewajiban, dan Minus Kriminalisasi Untuk Kemerdekaan Pers)


A.Pendahuluan

Tak bisa dipungkiri era reformasi membawa berkah, diantaranya bagi komunitas pers. Batas-batas wilayah pemberitaan yang pada masa orde baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini dengan mudah diberitakan media. Tuntutan mundur pejabat berkuasa, termasuk mengritisi kinerja pemerintahan, sekarang dengan mudah diberitakan tanpa rasa takut. Ini suatu kondisi yang tak terbayangkan bisa terjadi pada masa orde baru yang serba tunggal dan serba dibatasi.
Kebebasan pers dan hak publik untuk mengolah informasi kini bahkan dijamin oleh UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Konstitusi. Sekarang, media tidak lagi membutuhkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang pada zaman orde baru digunakan untuk mengontrol media. UU Pers juga secara tegas melarang sensor dan bredel. Tak hanya itu, pihak-pihak yang dinilai menghambat tugas wartawan dan kemerdekaan pers bisa dikenai hukuman penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta.
Pers kini mulai bebas menjalankan fungsinya sebagai anjing penjaga (watchdog) dan juga menjadi forum dialog dalam pertukaran ide. Sehingga pers dapat menjadi cermin dari suara hati bangsa dan peran ini tentunya harus didukung oleh penyelenggara negara, dunia usaha, dan juga masyarakat. Pers saat ini dengan dilindungi oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjalankan fungsinya menurut UU Pers yaitu menyampaikan informasi, memberi pencerdasan, memberikan hiburan yang bermakna, dan melakukan kontrol sosial dalam bentuk pengawasan, kritik, dan saran untuk kepentingan umum. Praktis setelah tahun 1998 pers berani untuk mengungkap berbagai kasus korupsi, bandar judi, dan praktek-praktek penyelenggaran pemerintahan yang buruk. Pers juga bertugas untuk “memelototi” kinerja pemerintah, parlemen, dan lembaga yudikatif serta mengartikulasikan kepentingan publik yang lebih luas.
Namun, reformasi dalam bidang media itu ternyata tidak diimbangi dengan perlakuan yang diterima komunitas pers. Justru ketika pers mulai terlibat dalam demokratisasi dan pencerdasan bangsa, ancaman terhadap jurnalis dan kebebasan pers makin terasa. Berbagai tindakan dilakukan mulai dari pers diadukan, diancam denda, dituntut penjara, dipukuli, kantornya diduduki, peralatannya dirusak, dll. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat negara menjadi pelaku kekerasan, dewasa ini ancaman terhadap kebebasan pers datang melalui aksi premanisme.
Situasi kebebasan yang dinikmati oleh pers saat ini telah dikuatkan oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebebasan pers. Beberapa peraturan yang menjamin kebebasan pers adalah:

1.Pasal 28 F UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II
2.Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM
3.Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM
4.UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers
5.UU No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights

Semua jaminan konstitusionil ini secara teoritik telah secara sempurna mengakui serta melindungi kemerdekaan pers dari ancaman baik ancaman yang dikenakan secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemerdekaan pers

B.UU Pers: Pengawal Kemerdekaan Pers

Dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya disebut juga UU Pers), sangat terlihat keinginan komunitas pers untuk mengatur dirinya sendiri, hal ini dibuktikan dengan terbentuknya Dewan Pers sebagai lembaga independen yang anggotanya dipilih dari dan oleh komunitas pers sendiri dan juga mempunyai fungsi dan kewenangan legislasi dan sedikit kewenangan yudisial dalam sengketa pers sebagaimana terlihat dalam Pasal 15. Selain itu UU Pers ini juga menegaskan jaminan kemerdekaan pers sebagaimana yang dinyatakan Pasal 2 dan Pasal 4.
UU Pers sendiri memuat mekanisme yang mengatur tentang hak masyarakat untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Hak ini secara khusus diatur dalam Pasal 17 , Pasal 1 angka 11, 12, dan 13, dan Pasal 15 ayat (2) huruf (d ). Pengaturan ini tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers menjadi kekhasan dalam UU ini.
Beberapa mekanisme penyelesaian sengketa pers yang diatur dalam UU Pers adalah:

1.Penggunaan Hak Jawab
Adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya
2.Penggunaan Hak Koreksi
Adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain
3.Penggunaan Kewajiban Koreksi
Adalah keharusn melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan

Meskipun UU Pers tidak mengatur secara kaku tentang bagaimana penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa pers, tetapi kiranya Dewan Pers telah mengambil sikap sebagai forum konsiliasi dimana Dewan Pers bertindak sebagai konsiliator.
UU Pers juga menerapkan asas imunitas bagi penyingkapan sumber informasi dalam pemberitaan pers yang dikenal dengan hak tolak yaitu hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya. Hak tolak ini dipergunakan untuk mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum jika keterangan tersebut diminta oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Namun hak tolak ini dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan atas dasar kepentingan atau keselamatan negara atau ketertiban umum.

(to be continued…)

10 comments
  1. alfarabi said:

    saya sangat tertarik pada hak jawab dan hubungannya dengan perlindungan hak pribadi.
    apakah kebebasan pers sama dengan membatasi hak individu sebagai pribadi. kebebasan pers bukan suatu kebebasan mutlak, ruang-ruang apa saja yang tidak boleh di masuki oleh pers.

    maka dari itu bentuk perlindungan hak pribadi haruslah menjadi jaminan masyarakat dari metamorfosis pers yang telah tersentral pada pemilik modal.

  2. TIJE said:

    OKE…
    reformasi emang membawa berkah bagi kaum pers indonesia….pers sekarang sdh lebih bebas…dan menurut pandangan saya, malah TERLALU BEBAS…

    betul apa yg dikatakan Alfarabi….
    pers boleh bebas mencari berita…TAPI qta sebagai obyek berita JUGA HARUS DILINDUNGI DONG!!!!Qta juga punya privasi yang TIDAK BISA dijadikan makanan publik.

  3. anggara said:

    @tije
    terima kasih atas komentarnya

  4. Fuad said:

    Lanjutannya mana??

  5. Vonny LS Toric Makaley said:

    setuju banget.. adanya berita yang dimana kita bisa berbagi dan ada juga yang tidak ( privacy ) dan jangan sampai privacy obyek itu sendiru di jadikan makanan publik alias acak-acak. Dan soal hak perlindugan pribadi sangat penting banget ya.. karena dengan adanya hak adanya hak perlindungan pribadi itu menjadi tolak ukur pers untuk masuk ke ruang yang mana pers boleh masuk atau tidak.

  6. Cokkies said:

    Dalam pasal 5 ayat 2 dari UU No. 40 tahun 1999 tentang pers disebutkan ” Pers Wajib melayani Hak Jawab “. Namun yang menjadi pertanyaan, apa bentuk nyata / perwujudan dari kata ” melayani ” tersebut ? Kata ” melayani ” dalam pasal tersebut tidak menyatakan secara jelas apa yang harus dilakukan oleh pihak pers dalam hal melayani hak jawab.
    Saya berpendapat ini perlu dikaji lebih rinci untuk mendapatkan kepastian hukum. Karena bisa menimbulkan kerugian bagi pihak yang diberitakan.

    • anggara said:

      @cokkies
      melayani tersebut, maksudnya jika anda melayangkan hak jawab, maka pers sebisa mungkin segera memuat hak jawab tersebut dan jika tidak anda dapat mempersoalkannya ke Dewan Pers

  7. anna said:

    makasih :)))

  8. helga simanjuntak said:

    contoh hak wajib seperti apa min 🙂

  9. siti said:

    lah pengertian hak tolak? dan contohnya apa?

Leave a comment