Pasal 134 dan 136bis KUHP, Senjata Ampuh Penguasa Membungkam Sikap Kritis


Pasal 134 dan 136bis KUHP, Senjata Ampuh Penguasa Membungkam Sikap Kritis
[8/8/06] berita diambil dari situs http://www.hukumonline.com

“Semoga pasal 134 KUHP dibatalkan karena banyak aktivis yang kena. Kekuasaan benar-benar menggunakan pasal ini”.

Eggi Sudjana kini penuh harap agar pasal-pasal Haatzai Artikelen di dalam KUHP, khususnya pasal 134 dan 136 bis, ‘dibatalkan’ Mahkamah Konstitusi. Apalagi pasal itu telah menjerat banyak aktivis ke dalam penjara hanya karena dituduh menghina kepala negara. Harapan itu disampaikan Eggi dalam sidang perdana permohonan judicial reviewnya atas pasal 134 dan 136 bis KUHP di Mahkamah Konstitusi, Selasa (08/8).

Eggi memohon agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan pasal 134 dan 136 bis KUHP bertentangan dengan pasal 28 F dan 28 I UUD 1945 (bukan pasal 27 dan 28 sebagaimana berita sebelumnya, red) dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Menurut pemohon pasal-pasal KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden RI baik secara pribadi maupun kelembagaan saat ini tidak relevan dan cenderung dijadikan pisau yang sangat tajam oleh penguasa untuk mengebiri aspirasi rakyat yang peduli akan nasib bangsa. “Demokratisasi yang sesungguhnya dijamin UUD, dikebiri dengan pasal 134 KUHP,” tegas Eggi dalam persidangan.

Terhadap permohonan tersebut, Ketua Majelis Panel Prof. HM Laica Marzuki memberi nasehat bahwa pasal 50 UU No 24 tahun 2003 yang menurut pemohon menjadi dasar bagi MK untuk memeriksa dan memutus perkara, telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sebaiknya tidak dicantumkan. “Atau kalau mau dicantumkan maka dengan menyatakan bahwa sebagaimana yang dinyatakan tidak mengikat oleh MK,” jelas Laica.

Laica juga menjelaskan bahwa MK tidak berwenang membatalkan SK Jaksa Agung sebagaimana permohonan pemohon mengingat kedudukan SK tersebut di bawah UU dan bukan menjadi kewenangan MK untuk mengujinya.

Sementara itu, hakim anggota Maruarar Siahaan mengaku agak sulit memahami argumen kerugian konstitusional yang dinyatakan oleh pemohon terkait pasal yang dmohonkan pengujian. “Apa kerugian konstitusional yang dilanggar?. Apakah ada argumen yang konkret sebagai dasar legal standing?” tanyanya.

Pertanyaan serupa juga diajukan oleh hakim anggota HAS Natabaya. “Menurut pemohon, pemohon tidak melakukan penghinaan, kok menjadi korban. Jadi tidak ada hubungan yang berkaitan dengan berlakunya norma,” ujarnya.

Lebih lanjut, Natabaya juga menganggap tidak ada kejelasan permohonan terhadap ketentuan UUD yang menjadi dasar permohonan. “Pasal 28 F. Apakah benar hak saudara hilang? Pasal 28 I, ayat yang mana tepatnya? Ada ayat 1, 2, 3, dan seterusnya.”

Menurut Natabaya, penangkapan aktivis pada zaman dahulu sebagaimana diungkap oleh Eggi sebenarnya tidak berkaitan dengan Pasal 134 KUHP, tetapi dengan Hatzaai Artikelen (pernyataan permusuhan, red).

Mendengar kerugian konstitusionalitasnya yang berkali-kali dipertanyakan majelis hakim, Eggi sempat terpancing emosi dan mengharapkan agar Majelis mempersilakan mantan aktivis Hariman Siregar yang saat itu duduk di belakangnya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. Namun demikian, hal itu tidak dikabulkan oleh majelis karena saat itu masih tahap pemeriksaan pendahuluan dan belum ke pokok perkara.

Maruarar juga mempertanyakan apakah dengan dibatalkannya pasal-pasal tersebut otomatis kerugian konstitusional pemohon akan hilang. Menurut Maruarar pasal yang disebutkan sebenarnya sebagai pengakuan presiden sebagai manusia biasa yang juga seperti manusia Indonesia lainnya yang tidak boleh dihina.

Lebih lanjut, pengujian yang dimohonkan oleh pemohon dikhawatirkan Maruarar hanya merupakan interpretasi fakta terhadap suatu norma dan tidak berkaitan langsung dengan konstitusionalitas norma. “Saya khawatir ini masalah penerapan hukum,” lanjutnya.

Dalam penjelasannya, Eggi menyesalkan bahwa tindakannya mengklarifikasi isu pemberian mobil terhadap Presiden dan stafnya ke KPK dinilai sebagai penghnaan terhadap presiden. “Kalau klarifikasi kan tidak berarti menuduh, tidak melaporkan, apalagi menghina. Semoga pasal 134 dibatalkan karena banyak aktifis yang kena, karena benar-benar kekuasaan pakai pasal ini,” tandas Eggi usai sidang.

Eggi juga menyesalkan aparat penegak hukum selama ini tidak memperhatikan apakah presiden benar-benar tersinggung dengan ucapannya. Hal itu menurut Eggi malah dianggap sumir oleh penegak hukum. “Saya sudah tanya langsung kepada Presiden melalui stafnya, dia bilang sudah tidak ada masalah. Tapi kok masih dipermasalahkan. Saya ingin tahu siapa yang main dibelakang ini?” tanya Eggi penasaran.

Sementara itu, Firman Wijaya, salah satu kuasa hukum Eggi menilai bahwa seharusnya yang dilihat adalah motivasi Eggi saat melakukan klarifikasi. “Ini tentu adalah motivasi altruistis yang harus dihormati. Perlu dibedakan antara sesorang itu menghina atau perbuatannya bersifat kritik. Ini yang secara kontekstual tidak pernah ada dalam pasal 134 dan 136. Bahkan di era reformasi ini sudah timbul korban, bukan hanya Eggi, “ jelas Firman usai sidang.

Firman juga menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara pasal 134 dan 136 bis KUHP dengan Hatzaai Artikelen. “Bisa dikatakan ini saudara kembar dari Hatzaai Artikelen karena pasal tersebut lebih kepada peluang represif dari pada peluang demokratisnya karena ruang partisipasinya tidak ada,” ujarnya. Majelis memberi waktu kepada pemohon empat belas hari untuk memperbaiki permohonannya.

(M-1)

Advertisement
2 comments
  1. Wiria Indraswari said:

    Mungkin ini komentar yang sudah umum tapi memang kita harus kritis (thorough the matter) terhadap suatu masalah yang terjadi. Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Effendi Gasali di kompas tanggal 14/09/06 “Seharusnya, kalau mau dilanjutkan, dicari sumber pertamanya dari mana”.

  2. adis said:

    Sebagaimana kita ketahui bersama, Presiden, di Indonesia, bertindak sebagai Kepala Negara, dan Kepala Pemerintahan (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UUD 1945).

    Pencantuman Pasal 134 KUHP ditujukan untuk perlindungan presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, dimana tidak seorangpun dapat menghina Presiden, karena harkat dan martabat bangsa, pada umumnya, diwakilkan oleh Presiden (dalam konteks sebuah negara yang berhubungan secara internasional).

    Sedangkan kebebasan berpendapat, meskipun dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945, ditetapkan oleh Undang-undang. Itu pun, “kebebasan berpendapat” harus dapat diklasifikasikan ke dalam suatu badan, contohnya Pers, yang dilindungi oleh UU Pers. Tidak ada kebebasan berpendapat yang diatur secara general, karena memang berpendapat itu wajib dapat dipertanggung jawabkan. Bayangkan kalau setiap orang di Indonesia ingin di dengarkan masing-masing kepentingan dan aspirasi individunya. Chaos!

    Jadi saya bisa berkesimpulan, menghapus Pasal 134 KUHP sama dengan menghapuskan harkat dan martabat presiden, yang nota bene, menghapuskan harkat dan martabat salah satu representasi dari rakyat Indonesia.

    Coba tanyakan kepada Eggi Sudjana, apa kepentingan dia, sehingga mau mengorbankan harkat dan martabat rakyat Indonesia. Atau, apakah dia bukan salah satu dari kita?

    Harus dibedakan, kepentingan sekelompok orang, dengan kepentingan bersama rakyat Indonesia. Atau, anda lupa bahwa dasar negara kita adalah Pancasila?

    Apa anda merasa dasar negara anda “The Ten Amendement”???

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: