Perbedaan Itsbat Waktu Idul Fitri Bisa Dibawa ke Pengadilan Agama
Perbedaan Itsbat Waktu Idul Fitri Bisa Dibawa ke Pengadilan Agama
[19/10/06] berita diambil dari situs http://www.hukumonline.com
Perbedaan waktu mulainya lebaran 1 Syawal 1427 kembali terjadi. Pengurus Pusat Muhammadiyah memutuskan bahwa Idul Fitri jatuh pada Senin 23 Oktober, sementara pendapat lain menyatakan lebaran baru jatuh pada 24 Oktober.
Perbedaan waktu lebaran sebenarnya bukan kali ini saja terjadi, bahkan hampir terjadi setiap tahun. Menteri Agama Maftuh Basuni mengatakan bahwa perbedaan itu adalah sesuatu yang wajar dan tak perlu dianggap sebagai sengketa atau perselisihan. “Perbedaan itu jangan dianggap sebagai percekcokan,” kata Menag.
Begitulah memang seharusnya. Kalaupun masih terus terjadi perbedaan penentuan waktu puasa dan Idul Fitri, para pihak yang berbeda pendapat bisa meminta penetapan dari Pengadilan Agama. Sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama diberi wewenang memberikan itsbat. Menurut Andi Syamsul Alam, Ketua Muda MA Urusan Peradilan Agama, ini adalah kewenangan baru bagi Pengadilan Agama.
Kewenangan baru itu diatur dalam pasal 52 A yang berbunyi: “Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah“.
Meskipun itu merupakan kewenangan baru, bagian penjelasan sudah menyebutkan bahwa selama ini Menteri Agama selalu meminta penetapan dari Pengadilan Agama. Menteri meminta itsbat (penetapan) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Penetapan itulah yang jadi dasar Menteri mengeluarkan penetapan waktu Idul Fitri.
Pemerintah sendiri, menurut Menteri Agama, baru akan melaksanakan sidang itsbat penentuan lebaran pada hari Minggu, 22 Oktober. Dalam sidang inilah ditetapkan apakah Lebaran 1427 H jatuh pada hari Senin atau Selasa.
PP Muhammadiyah sendiri berpendapat bahwa ijtima awal Syawal sebenarnya jatuh pada hari Minggu pukul 12.15 WIB. Setelah ijtima biasanya matahari terbenam disusul bulan. Saat-saat inilah yang menandakan pergantian bulan.
Mantan Menteri Agama Prof. Quraisy Shihab mengatakan bahwa perbedaan itu seharusnya bisa disatukan Departemen Agama. Ada dua cara yang biasa dilakukan. Pertama, hisab seperti yang dipakai Muhammadiyah, dengan maksud mencari bulan. Kedua, kalau bulan tidak ditemukan, maka pemerintah mengumumkan untuk menyempurnakan 30 hari.
Dikatakan Quraisy Shihab, melihat bulan tak harus di negeri sendiri. Di manapun bulan bisa dilihat, maka bisa dijadikan acuan. Ini sudah menjadi ide negara-negara Organisasi Konperensi Islam (OKI).
(Mys/CRI)
Sebaiknya dibuat Undang-undang saja, agar di tahun-tahun mendatang tidak terjadi hal demikian. padahal islamnya cuman satu, kok lebarannya ada dua? kasihan anak cucu kita nantinya.
keputusan kapan lebaran sebaiknya berdasar logika saja. jangan mengandalkan kemampuan mata melihat bulan. klo perhitungan berdasarkan hari lebih masuk akal kenapa tidak???
Perhitungan secara matematis toh dirasa lebih masuk akal. dan dapat diterima logika dan akal yang sehat.
Jangan membuat Islam terpecah gara-gara hal ini.
Bulan kan kadang g konsisten? mau dibuat ikutan g konsisten??? Emang bisa bedain, mana bulan uda penuh apa bulan yang hampir penuh, dengan diameter yang belum pasti selisihnya.
Sebaiknya memang perlu dibuat undang-undang biar g kacau.
Kejadian sprt ini sdh terjadi bbrp kali,.. kalo tdk salah 2 thn silam jg sama… (atau tahn kmrn yaaa)…
Daripada bingung sendirian, tho keputusan utk lebaran bareng ormas or pemerintahan ada pada masing2 individu.
Bukankan dibilang “kamu kalo ragu, genapkanlah puasa itu menjadi 30 hr”…. jadi lebaran kmrn, aku ikut pemerintah aja… 😀
Pingin lebaran cepet, tp sayang.. dirmh jg pada ikutan lebaran dari pemerintah, hehehe….
Ini hanya sekedar komentar, boleh kan…
Setelah saya teliti dengan seksama dalam al Quran, tidak ada satupun kata dalam Quran yang menyuruh kita melihat (See) bulan (moon) karena mata bisa tertipu, yang ada adalah menyaksikan (testify) bulan (month), diperhitungkan dengan ilmu.
Bismillah, ketentuan masuknya Ramadlan dan keluarnya hendaknya dikembalikan kepada keputusan Pemerintah RI.
Karena Hari Raya, Puasa adalah ibadah jama’i yang dipimpin oleh imam dalam hal ini adalah penguasa. Rasulullah SAW bersabda:
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
“Hari Idul Fitri adalah orang-orang berbuka (bersama-sama) dan Idul Adlha adalah hari orang-orang menyembelih (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 731 dari Aisyah RA, beliau berkata: hadits shahih gharib)
Rasulullah SAW juga bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa adalah hari kalian berpuasa dan idul fitri adalah hari kalian beridul fitri (bersama-sama) dan idul adha adalah hari kalian menyembelih kurban (bersama-sama).” (HR. Tirmidzi: 633, Ibnu Majah: 1650 dari Abu Hurairah RA)
At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ulama menafsiri hadits di atas bahwa berpuasa dan berbuka itu bersama jama’ah (imam kaum muslimin) dan mayoritas manusia.” (Tuhfatul Ahwadzi: 2/235).
Al-Allamah Abul Hasan As-Sindi Al-Hindi berkata: “Yang jelas dari makna hadits di atas adalah bahwa urusan ini (penentuan hari raya dan puasa) tidak ada celah bagi individu untuk menentukan masalah ini dan tidak boleh seseorang bersendirian dalam hari raya dan puasa, tetapi urusan ini harus dikembalikan kepada imam (penguasa) dan jama’ah masyarakatnya dan wajib bagi masing-masing individu untuk mengikuti penguasa dan masyarakatnya. (Hasyiyah Ibni Majah As-Sindi:3/431)
Imam yang memiliki legalitas adalah Pemerintah melaului Depagnya, bukan PBNU, PP Muhammadiyah, PP Persis, mursyid thariqat atau Amir LDII, karena melihat tafsir ayat “WA ULIL AMRI MINKUM” tentang pemerintah yang wajib dita’ati(QS. An-Nisa: 59) yang merujuk pada penguasa yang MAUJUD (memiliki legalitas, aparat, perangkat) bukan Imam yang MA’DUM (abstrak) seperti pimpinan berbagai organisasi atau sekte.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kalau ada seseorang melihat hilal sendirian dan persaksiannya ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun maka ia tetap MENGIKUTI KEPUTUSAN PEMERINTAH. (Lihat Majmu’ Fatawa: 6/65)
Yang demikian karena ijtihad ini (tentang hari raya) tidak menjadi tugas individu atau kelompok tetapi sudah menjadi IJTIHAD PENGUASA dalam rangka menyatukan kaum muslimin.
Pada jaman pemerintahan Umar bin Khathtab RA suatu waktu ada 2 orang melihat hilal Syawal kemudian salah satunya tetap puasa (karena tidak ingin menyelisihi masyarakat yang masih berpuasa) yang satunya berhari raya sendirian. Ketika permasalahan ini sampai kepada Umar RA maka beliau berkata kepada orang yang berhari raya sendirian: “Seandainya tidak ada temanmu yang ikut melihat hilal maka kamu akan saya pukul.” (Majmu’ Fatawa: 6/75) Dalam riwayat lain akhirnya Umar meng-isbat bahwa hari itu adalah hari raya dan menyuruh kaum muslimin unuk membatalkan puasa mereka berdasarkan kesaksian 2 orang tersebut. (Mir’atul Mafatih: 12/303-304)
Suatu ketika Masruq (seorang tabi’in) dijamu oleh Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada yang menghalangiku dari puasa ini (Arafah) kecuali karena takut ini sudah Idul Adha.” Maka Aisyah menolak alasannya dengan mengatakan: “Idul Adha adalah hari orang-orang beridul adha bersama-sama dan idul fitri adalah hari orang-orang beridul fitri bersama-sama.” (Silsilah Shahihah Al-Albani: 1/223) Ini karena Masruq telah menyendiri dari puasanya penduduk Madinah.
Suatu ketika Yahya bin Abu Ishaq (seorang tabi’in) melihat hilal Syawal sekitar dhuhur atau lebih dan ada beberapa orang yang ikut berbuka dengannya. Kemudian ia dan beberapa orang mendatangi Anas bin Malik RA (sahabat Nabi SAW) dan memberitahukan kepada beliau perihal rukyat hilal Syawal dan beberapa orang berbuka (membatalkan puasanya) pada hari itu. Maka beliau berkata: “Adapun aku maka telah genap aku berpuasa 31 hari karena Al-Hakam bin Ayyub (penguasa ketika itu) telah berkirim surat kepadaku bahwa beliau berpuasa sebelum puasanya orang-orang.Dan aku benci untuk berbeda (berikhtilaf) hari raya dengan beliau dan puasaku akan aku sempurnakan sampai nanti malam.” (Zaadul Ma’aad: 2/37)
Dan yang semakna adalah kasus penolakan Ibnu Abbas RA (sahabat Nabi) terhadap kesaksian Kuraib (tabi’in) yang telah merukyat hilal Syawal di Syam bersama Mu’awiyah RA (sahabat Nabi) pada hari Jum’at karena bertentangan dengan puasa dan hari raya warga dan otoritas kota Madinah yang berhari raya Sabtu.Dalam kasus ini Kuraib menyendiri dari penduduk kota Madinah. (Subulus Salam: 2/462)
Maka saya berpesan pada pemilik situs ini agar menyampaikan tulisan saya ini kepada mereka-mereka yang egois yang bangga dengan ijtihadnya sendiri baik dengan hisab atau rukyat dalam keadaan menyelisihi isbatnya pemerintah maka sadar atau tidak mereka telah berupaya memecah belah umat.
JIka orang-orang egois itu bertanya bahwa kadang-kadang penguasa bertindak tidak adil seperti menolak persaksian rukyat karena beda madzhab atau alasan politis dsb?
Maka Rasulullah SAW menjawab:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Mereka (penguasa) itu shalat untuk kalian. Jika ijtihad mereka benar maka pahalanya untuk kalian, kalau ijtihad mereka keliru maka pahalanya tetap atas kalian dan dosanya ditimpakan atas mereka.” (HR. Bukhari: 653)
Semoga ini dapat menjadi bahan renungan ditengah-tengah upaya penyatuan hari raya kaum muslimin Indonesia.
top tenan informasi di situs ini
salam kenal mas