Kemerdekaan Pers Dalam Berbagai Putusan Hakim
UU Pers dibuat dengan semangat yang berbeda dengan R KUHP. UU Pers melihat kemerdekaan pers sebagai hak yang esensial. Pers yang bebas dibutuhkan agar demokrasi terjadi. Pers yang bebas juga penting agar ada pihak yang mengontrol kekuasaan dan melakukan kritik terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik. Dalam menjalankan perannya, pers (tentu saja) bisa melakukan kesalahan. Pers bisa tidak akurat, bisa memberitakan peristiwa secara tidak seimbang. Sengaja atau tidak, pemberitaan pers juga bisa merusak martabat dan harga diri seseorang. Tetapi kesalahan atau pelanggaran tersebut, dalam UU Pers tidak dilihat sebagai kejahatan yang harus dihukum secara pidana. UU Pers menyediakan saluran bagi pihak yang tidak puas atau merasa pemberitaan pers tidak benar. Orang bisa memanfaatkan hak jawab. Mereka yang tidak puas juga bisa mengadukan pers ke Dewan Pers jika upaya hak jawab tidak memuaskan.
Persoalannya, saat ini masih terdapat ketidaksamaan pendapat dalam penerapan UU Pers. Dalam peroses pengadilan, ada perbedaan pendapat antara jaksa penuntut umum dan hakim. Bahkan kerap kali ada perbedaan antara halim di pengadilan tinggi, negeri dan Mahkamah Agung dalam memandang posisi UU Pers ( Lihat Bagian IV). Dalam penerapan delik pers di Indonesia, Majelis Hakim dalam berbagi tingkat pengadilan menggunakan berbagai penafsiran yang berbeda tentang penerapan UU Pers sebagai lex speciali. Meski demikian patut di juga diapresiasi berbagai putusan dari Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang meneguhkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis dari peraturan perundang-undangan yang lain yaitu :
No Perkara |
Kasus |
Para Pihak |
|
1 |
3173 K/pdt/1993 |
Gugatan Perdata |
Surat kabar Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan Vs. Anif |
2 |
1608 K/PID/2005 |
Pidana |
Bambang Harymurti |
3 |
903 K/ PDT/2005 |
Gugatan Perdata |
Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi |
Pendapat Mahkamah Agung tentang penerapan UU Pers sebagai lex specialis dari ketentuan undang-undang yang lain menarik untuk dikaji. Pendapat Mahkamah Agung ini menarik untuk dicermati, bagaimana Mahkamah Agung memandang dan menerapkan konsistensi putusannya terhadap berbagai kasus baik perdata maupun pidana yang dihadapi oleh jurnalis dan media.
Dalam kasus gugatan perdata terhadap jurnalis dan media di yang terjadi di Medan, penggugat mendalilkan bahwa penggugat telah dicemarkan nama baiknya dalam pemberitaan di harian Garuda Medan tertanggal 14 November 1989. Mahkamah Agung pada saat itu berpendapat bahwa putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memutus perkara ini telah salah dalam menerapkan hukum, karena penilaian dan pertimbangan yang disimpulkan menyimpang dari ketentuan, jiwa, dan semangat yang digariskan dalam UU No 21 Tahun 1982 tentang Pokok Pers. Mahkamah Agung berpendapat dalam putusan sebagaimana yang tersebut di atas bahwa pers adalah lembaga masyarakat dan sekaligus alat perjuangan nasional yang membawa dan menyampaikan pesan-pesan, baik berbentuk pemberitaan, ulasan, maupun pandangan-pandangan yang bersifat idiil yang komitmen dan terikat pada asipirasi, cita-cita memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta hati nurani masyrakat dan bangsa[1]. Selain Mahkamah Agung menyatakan dengan tegas bahwa fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi, dihubungkan dengan tanggung jawab pemberitaan dan ulasan yang dikemukakan pers mka kepada masyarakat diberikan hak jawab. Dimana tujuan pemberian hak jawab adalah agar kebebasan pers disatunafaskan dengan tanggung jawab pers[2].
Mengenai kebenaran atas suatu peristiwa Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa kebenaran yang diberitakan oleh pers merupakan suatu kebenaran yang elusive yang berarti sukar dipegang kebenarannya, dimana kebenaran yang hendak diberitakan sering berada diantara pendapat dan pendirian seseorang dengan orang lain atau antara satu kelompok dengan kelompok laiin. Oleh karena itu kebenaran yang elusive tidak mesti merupakan kebenaran absolut[3].
Dalam penggunaan hak jawab, Mahkamah agung berpendapat bahwa apabila penggunaan hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif .
Sementara dalam perkara pidana yang dihadapi oleh Bambang Harymurti, Mahkamah Agung kembali menegaskan tentang kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang memutus perkara ini. Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara ini tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP sementara tindakan yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan berdasarkan UU Pers[4].
Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa pemberitaan yang dibuat oleh wartawan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 dilindungi sebagai kemerdekaan pers yang dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pemuatan berita oleh terdakwa juga dinilai oleh Mahkamah Agung telah berimbang dan cover both side, mematuhi dan memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan kode etik wartawan dan bantahan dari Tomy Winata juga telah dimuat, maka pemberitaan tersebut, menurut Mahkamah Agung tidak dapat dikategorikan sebagai berita bohong. Selanjutnya Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa harus ada pembuktian tentang hubungan kasualitas antara adanya ancaman atau serangan terhadap Tomy Winata atau terhadap hak miliknya dengan pemberitaan yang dilakukan Majalah Tempo.
Mahkamah Agung juga menilai filosofi yang dianut dalam UU Pers telah menempatkan posisi pers nasional sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi[5], meskipun demikian Mahkamah Agung juga menyatakan keharusan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP. Mahkamah Agung juga menekankan pentingnya instrumen hukum dan kode etik pers untuk memastikan kehadiran pers bebas dan mencegah penyalahgunaan kebebasan pers.
Mahkamah Agung juga berpendapat bahwa tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain[6]. Dalam kasus ini pula Mahkamah Agung meneguhkan kembali tentang upaya penggunaan hak jawab dan pemeriksaan melalui Dewan Pers sebagai upaya yang harus didahulukan dibandingkan melalui proses hukum karena cara ini dipandang oleh Mahkamah Agung sebagai sendi penyelesaian sengketa pers dalam hal pemulihan cedera akibat adanya pemberitaan yang keliru[7]. Mengenai unsur melawan hukum, Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hukum dalam pemberitaan pers tidak dapat digunakan ukuran unsur melawan hukum sebagaimana yang terdapat dalam KUHP semata karena berkaitan dengan UU Pers[8].
Sementara dalam kasus gugatan perdata antara Tomy Winata melawan PT Tempo Inti Media, Tbk dkk Mahkamah Agung kembali menegaskan tentang harus didahulukannya penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum[9].
Di tengah silang pendapat penerapan hukum pers dan kekurangpahaman aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus hukum terkait pemberitaan pers, Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam keterbatasannya telah menjalankan wewenang sebagai lembaga peradilan tertinggi yang memiliki komitmen bagi upaya penegakan kemerdekaan pers di tanah air. Situasi seperti ini harus dijaga dan diperluas kepada aparat penegak hukum yang lain sehingga upaya penegakan hukum (law enforcement) tidak harus bertabrakan dengan kehendak rakyat dalam menjaga dan merawat kemerdekaan pers dan telah dijamin Konsitusi 1945.
[1] Putusan MA No 3173 K/Pdt/1993
[2] Putusan MA No 3173 K/Pdt/1993
[3] Putusan MA No 3173 K/Pdt/1993
[4] Putusan MA No 1608 K/PID/2005
[5] Dalam konteks ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa kebebasan pers merupakan condition sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum karena tanpa kebebasan pers maka kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat menjadi sia-sia, Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005
[6] Dalam hal ini Mahkamah Agung tetap berpendapat bahwa kebebasan pers merupakan condition sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum, Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005
[7] Dalam konteks ini Mahkamah Agung menilai bahwa instrumen hak jawab merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru, Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005, Lihat juga putusan MA No 903 K/PDT/2005
[8] Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur melawan hokum menjadi hilang manakala pemberitaan telah cover both side dan suatu berita telah dibantah melalui hak jawab maka si pembuat berita oleh karenanya telah melakukan kewajiban hukumnya. Dan dengan dimuatnya hak jawab dan berita tersebut telah melalui pengecekan ke berbagai sumber serta telah sesuai dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian di dalam masyarakat, maka berita tersebut tidak dipandang sebagai suatu pemberitaan yang mengandung sifat “melawan hukum”, Lihat Putusan MA No 1608 K/PID/2005.
[9] Dalam kasus ini Mahkamah Agung berpegang pada pendapatnya bahwa kebebasan pers merupakan prinsip dasar yang dijamin dalam UUD dan system kenegaraan Republik Indonesia oleh karena itu hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers merupakan prinsip yang mengatur keseimbangan lembaga pers dan individu atau kelompok. Maka penggunaan hak jawab atau penyelesaian melalui lembaga pers merupakan tonggak yang harus ditempuh sebelum memasuki upaya hukum lain, Lihat Putusan MA No 903 K/PDT/2005
Makasih infonya mas…
punya contoh-contoh kasus lengkap : )
masalah pemberitaan yang maju ke pengadilan ga?
@pritta
waduh nggak punya tuh
Makasih buat infonya pak…
@zulfi
semoga berguna
Mas, punya lembar putusannya ‘gak? Dalam bentuk pdf atau word.
Numpang tanya, thanx!
Mila
Saya lagi susn tesis tentang kebebasan pers ini, klo bisa sayang minta putusan MA No.1608K/PID/2005 buat jd bahan bisa gak ya?? klo bisa saya minta lewat via email aja …terima kasih
@mila
bu mila, untuk kasus harian garuda, ada di bukunya pak hinca panjaitan, dua kasus tempo itu coba ibu hubungi LBH Pers
wah boleh juga tuh infonya
………………………..
bisa minta putusannya MA No 1608 K/PID/2005,mau dijadiin refensi
kirim ke email w y….