Ribut-Ribut Soal Calon Independen (Baca: Calon Perseorangan)
Pendahuluan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya boleh berasal dari Partai Politik bertentangan dengan konstitusi disambut dengan berbagai reaksi. Ada yang menyatakan senang dengan putusan MK tersebut, ada yang mengecamnya, dan ada pula yang biasa-biasa saja (seperti penulis blog ini).
Saya sendiri berpendapat, bahwa dalam sistem demokrasi yang sehat, maka Partai Politik adalah tempat yang tepat untuk menyalurkan aspirasi politik dari warga negara secara demokratis. Calon Perseorangan tidak perlu ditakutkan, karena bagaimanapun juga Calon Perseorangan tentu membutuhkan kendaraan dan dukungan politik yang kuat di Parlemen.
Harus disadari pula, bahwa adanya Calon Perseorangan inipun membuka peluang adanya jaringan mafia kelompok orang-orang yang secara sosiologis diragukan itikat baiknya namun memiliki kekuatan modal yang cukup. Tapi jangan kuatir, tanpa ada calon perseoranganpun sebenarnya hal ini sudah terjadi.
Nah, tapi hal yang terpenting adalah, karena pemerintah dan DPR telah menyatakan secara resmi bahwa calon perseorangan akan dapat bertarung setelah ada revisi terhadap UU 32/2004 tersebut. Senada dengan itu, Muladi, Gubernur Lemhanas, menyatakan bahwa Putusan MK yang tidak menetapkan batas waktu bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi UU 32/2004 telah mengakibatkan kekosongan hukum bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah pasca putusan MK tersebut.
Hak Konstitusional Dari Calon Perseorangan Dalam Pilkada
Pengisian jabatan eksekutif dari pemerintahan daerah (propinsi/kota/kabupaten) di Indonesia diatur melalui Pasal 18 ayat (4) Perubahan II UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi
“Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Nampaknya sedari awal, para perumus Naskah Perubahan II ini tidak menyadari konsekuensi dari kalimat “dipilih secara demokratis”. Frasa tersebut menunjukkan bahwa khusus pengisian jabatan eksekutif di tingkat daerah dapat dilakukan melalui jalur partai maupun melalui jalur non partai.
Tak salah jika kemudian MK memperluas tafsir “dipilih secara demokratis” tersebut dengan mencakup calon dari kelompok non partai. Namun, putusan inipun tidak bisa secara langsung dieksekusi oleh para calon, karena masih menunggu revisi terhadap UU 32/2004 tersebut.
Kontroversi Pengaturan Tentang Calon Perseorangan
Putusan MK tentang Calon Perseorangan dalam Pilkada telah menimbulkan kekisruhan hukum, karena MK nampaknya menarik dirinya sebagai salah satu lembaga yang dapat memberikan pengaturan secara terbatas sebagaimana yang tampak pada Putusan MK Tentang UU 30/2002 tentang KPK.
Repson pemerintah dan DPR yang berusaha untuk melakukan kaji ulang terhadap MK “rupanya” telah memberikan kekuatiran tersendiri bagi para Hakim Konstitusi di MK. Sehingga membuat MK menarik langkah bersejarahnya dalam putusan tentang KPK tersebut.
Pengaturan mana yang tepat, melalui PP Pengganti UU atau melalui revisi UU 32/2004? Dua-duanya tepat, akan tetapi mengingat bahwa putusan tersebut telah memberikan konsekuensi hukum yang akan memelorotkan peran parpol, nampaknya para petinggi pemerintahan dan DPR telah sepakat menunda pembahasan tentang UU 32/2004 sampai 2008.
nice post
Apakah calon independen merupakan jawaban atas profil kepala daerah yang mumpuni, professional dan berhasil dalam pembangunan?
@tukang ketik
terima kasih 🙂
@socrates
nggak juga sih
Anggara……gw antara ragu dan gak ragu ma calon independen
@esti
nggak usah bingung, pegangan aja 🙂