A Walk To Remember (Part IV: Kuliah Bagian I)
Ketika pengumuman UMPTN, ternyata aku masuk di FH Unpad, saat itu yang terbayang cuma satu, gimana caranya hidup jauh dari semua hal, orangtua dan mantan pacar (baca istri).
Saat masuk, dan daftar segala hal dari yang resmi sampai yang aneh-aneh (baca MAPAK atau Ospek) sekitar 800 ribuan, ukuran yang cukup mahal untuk kondisi waktu itu, sebagai bahan pertimbangan kurs saat itu USD1 : Rp.2000. Lalu cari kosan, dapet di Tubagus Ismail atas rekomendasi dari Mas Iwan (sepupuku)
Ternyata MAPAK (aku lupa singkatannya) itu menyebalkan, selain harus beli peralatan yang aneh-aneh, banyak juga doktrin yang nggak jelas, seperti harus menghormati budaya sunda dan juga penyebutan akang dan teteh untuk senior, males banget deh. Belum lagi ada yang namanya bentak-betakan nggak jelas sepanjang acara dan juga acara siram cairan yang bau banget dan aneh rasanya ke tangan. Saat itu, aku berusaha mengenali beberapa orang senior yang “belagu” serta membalaskan dendamku dengan cara mengempeskan ban mobilnya saat kuliah berlangsung.
Satu hal yang terasa di kampus ini, aroma feodalisme dan kesukuan yang sangat kental, meski kakekku masih berdarah kuningan, tentu sulit bagiku untuk mengerti percakapan dalam bahasa sunda. Dalam periode ini, krisis identitaspun terjadi, meski aku termasuk orang Jawa, namun aku lebih senang dipanggil dengan orang Surabaya. Nah, sebagai kaum minoritas di kampus ini, tentu buatku sulit sekali beradaptasi dengan suasana yang menurutku kental dengan aroma feodalisme tersebut.
Belum lagi aku juga kesulitan menghafalkan beragam definisi yang harus dihafalkan pada masa Ujian Akhir Semester. Alhasil, nilaiku selalu buruk di masa-masa awal perkuliahan. Problem, kangen rumah juga muncul disini.
Saat kuliah ada masa krisis ekonomi menggelegar dan langsung menewaskan mata uang rupiah dan juga keadaan ekonomiku sebagai anak kos-kosan. Uang dari orangtua tetap sementara, nilai terus menurun berbarengan dengan naiknya harga makanan di warung-warung.
Soeharto, jatuh di tahun 1998 tapi aku tidak ikut dalam hiruk pikuk demontrasi mahasiswa saat itu, Untungnya Bandung aman sentosa. Oya aku juga sempat disodori formulir keanggotaan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), tapi aku malas untuk masuk menjadi anggota HMI. Meski aku beragama Islam, tapi aku malas untuk masuk di organisasi mahasiswa yang cukup besar itu.
Saat Pemilu 1999, aku menaruh simpatiku pada kelompok anak muda yang membentuk PRD dan juga Partai Keadilan. Saat mencoblos untuk Pemilu aku mencoblos kedua partai tersebut untuk DPR dan DPRD Jawa Barat, untuk DPRD Kota Bandung aku pilih PDI Perjuangan. Pada waktu yang sama salah seorang temanku Dedy Dewantoro bekerja untuk ICW (Indonesia Corruption Watch), dari situ mulai ketertarikanku untuk masuk dunia LSM. Waktu PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) Jawa Barat membuka keanggotaan, aku melamar untuk menjadi member di PBHI. Sayang, saat orientasi mereka lebih banyak membahas soal-soal politik dan akupun tidak tertarik untuk meneruskan orientasi di PBHI.
Saat kuliah, nenekku dari pihak ibuku meninggal dan kedua orangtuaku di pindah ke Semarang. Sedih rasanya, karena tiap akhir minggu, biasanya aku suka mengajak nenekku untuk jalan-jalan dengan kursi rodanya.
Meski, aku nggak pernah jadi anggota HMI, tapi teman-temanku disana cukup banyak, ada Rio, Didit, Arif, Magel, dll. Dan dari Didit aku dapat info ada lowongan magang di LBH Bandung. Saat yang bersamaan aku bersama-sama teman-teman dari HMI menghidupkan Forum Studi Pengkajian Hukum, sebuah lembaga semi otonom di bawah Senat Mahasiswa FH Unpad, aku sempat menjadi Sekretaris Umum di lembaga itu. Sekian dulu deh nanti dilanjutkan lagi
Segala sesuatu pasti meninggalkan kenangan manis. Dulu, di Fak Pertanian IPB, saya mengambil jurusan Agronomi, disini diajari dari mulai ekonomi mikro, ekonomi makro dsb nya. Tapi saya paling sulit memahami ilmu ekonomi, rasanya kok muter-muter ya…dan nilai tak bisa diramalkan, saat saya udah sedih banget sehabis midtest, ternyata dapat nilai bagus yang tak perlu UAS.
Ternyata nasib membawaku masuk Bank, yang harus berkutat dengan ekonomi…anehnya semakin lama saya makin suka. Disini juga harus memahami hukum, terutama hukum perdata. Dan hari-hari selanjutnya ketemu juga masalah pidana, kasus-kasus…alhasil saya juga jadi menyenangi hukum. Masalahnya kalau S1 bukan hukum, tak mungkin melanjutkan S2 Hukum..akhirnya S2 saya tentang Finance…..
Andaikan lahir kembali, saya akan memilih kuliah di Fak. Hukum
wah mas bagus juga ceritanya, seru n mengesankan, terus dilanjutkan ya mas Anggara. Ditunggu……..Salam Firdaus Arifin
@edratna
wah, pengalaman ibu pasti menyenangkan, ibu bekerja di bank mana, sayang saya nggak sempat bekerja di sektor perbankan. Setahu saya, ada beberapa FH yang membolehkan program pasca sarjana dimasuki dari disiplin ilmu lain, sayang saya nggak ingat FH mana saja itu. saya yakin, pengalaman ibu dalam menangani kasus akan sangat berarti dan berharga untuk dipelajari bu, terutama untuk saya
@firdaus arifin
wah kedatangan rekan blawgger yang saya hormati sekaligus rekan satu almamater, dulu ambil S1 dimana pak?
“1 Dolar = Rp.2000. ” wah ini bujangan jadul ya .. heheh 🙂
Bos, apakah memilih partai yang berbeda itu membuktikan bahwa si pemilih “tidak tertarik dengan politik,
atau doyan dengan politik”… heheh*kabur ke LBH minta perlindungan*
@kurtubi
iya tuh, wah kalau saya tidak tertarik dengan politik tuh, nggak doyan pak 🙂
pengalaman yang mirip dilakoni teman2 saya di aktivitas di Pesantren.
@kurtubi
masak sih pak, jadi nggak enak ati nih, padahal itu hal yang biasa saja koq