Splitzing dan The Right to Remain Silent dalam KUHAP


Membaca berita soal Splistzing di sini, membuatku ingin menuliskan beberapa hal. Dalam KUHAP Splitzing atau pemecahan berkas perkara memang dimungkinkan dan menjadi bagian dari kewenangan Jaksa Penuntut Umum. Namun, menurutku harusnya kewengan ini dilakukan secara selektif. Karena bila tidak hati-hati malah akan melanggar beberapa ketentuan KUHAP lainnya

Pemecahan berkas perkara yang pada pokoknya satu perkara biasanya digunakan oleh Jaksa untuk perkara-perkara dimana tindak pidananya dilakukan secara berjamaah. Dalam konteks ini, kemudian muncul istilah saksi mahkota. Dimana Terdakwa menjadi saksi bagi Terdakwa lainnya yang pokok perkaranya sama karena tindak pidana dilakukan secara berjamaah

Dulu, aku sempat dimarahi sama seniorku, Ibu Melani, mengenai istilah saksi mahkota ini. Menurut beliau, sejarahnya di Belanda sana, Saksi Mahkota ini adalah orang yang mengambil bagian paling kecil dalam suatu tindak pidana yang dilakukan secara berjamaah dan Negara tidak akan menuntutnya apabila dia mau memberikan kesaksian untuk melawan komplotan teman-temannya yang melakukan tindak pidana tersebut. Untuk kesediaan tersebut, maka dia diberikan penghargaan oleh Raja/Ratu Belanda, makanya disebut dengan saksi mahkota

Pada dasarnya secara prinsip KUHAP menyatakan dalam Pasal 66 jo Pasal 189 ayat (2) KUHAP bahwa Tersangka atau Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dan keterangan terdakwa tersebut hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri, disamping itu terdakwa juga memiliki hak ingkar berdasarkan Pasal 175 KUHAP.

Artinya pemecahan berkas perkara itu sendiri sudah mengandung kelemahan hukum sedari semula. Karena Terdakwa akan bersaksi yang mana kesaksiannya tersebut secara tidak langsung dapat memberatkan tindak pidana yang dilakukannya

Dalam hal ini, sebenarnya ketika berkas perkara itu dipecah, terdakwa yang menjadi saksi berhak untuk diam begitu juga terdakwanya sendiri ketika akan memberikan keterangan tentang tindak pidana yang dilakukannya secara berjamaah itu dengan kata lain KUHAP sebenarnya melarang penggunaan terdakwa untuk menjadi saksi dalam perkara yang berkasnya dipecah. Ketentuan serupa juga bisa ditemukan dalam berbagai Putusan MA: No 1174 K/Pid/1994, No 1590 K/Pid/1994, No 1592 K/Pid/1994, No 1706 K/Pid/1994, No 381 K/Pid/1995, dan No 429 K/Pid/1995 yang telah menciptakan yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status hukum ”Saksi Mahkota” yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh para hakim sebagai sesuatu yang benar. Dengan adanya yurisprudensi baru ini, maka adanya ”Saksi Mahkota” adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim seharusnya menolak saksi mahkota (Ali Budiarto, Varia Peradilan No 120, September 1995)

Oleh sebab itu Jaksa sedapat mungkin harus menghindari penggunaan saksi yang terdakwa ini karena bukan tidak mungkin kehadiran terdakwa menjadi saksi dalam perkara yang pada pokoknya adalah sama merupakan elemen kunci dan satu-satunya dalam pembuktian dan bukan salah satu elemen dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana.

23 comments
  1. agoyyoga said:

    Pak Anggara, subyek hukum adalah hal yang asing buat saya. Tapi kalau saya ingin paham tentang hukum pertanahan Indonesia dari mana sebaiknya saya mulai belajar? terima kasih.

  2. Mas Anggara.. Bagaimana dengan perkara yang sudah di splitzing oleh jaksa kemudian oleh majelis hakim di splitzing lagi? hal ini pernah terjadi ketika MA memeriksa kasasi yang yang diajukan oleh 43 orang anggota DPRD Sumbar dalam kasus korupsi APBD Sumbar tahun 2002. Kasus itu dipecah menjadi 5 berkas. ketika kasasi, MA memecah perkara itu ditangani oleh dua majelis hakim, dalam putusannya satu majelis hakim yang menangani empat berkas perkara menghukum para pemohon kasasi, tetapi satu mejelis hakim lagi yang dipimpin oleh Bagirmanan dan anggotanya Djoko Sarwoko (dan satu lagi saya tidak ingat persis), membebaskan satu berkas lainnya (10 orang terdakwa). Pekara ini kemudian dikenal dengan istilah: Satu Perkara Dua Putusan.. Bagaimana soal penjelasan Splitzing di MA tersebut??

    Satu lagi mas, bagaimana cara menyunting gambar untuk dimasukkan dalam tampilan di wordpress??

    Salam

  3. anggara said:

    @agoyyoga atau yamaliasari

    ada buku yang bagus soal hukum tanah di Indonesia, bukunya warna Hijau dan Tebal serta berseri, pengarangnya saya lupa namanya bu. Tetapi ibu bisa juga tanya ke Ibu Irma D. Purnamasari. Mudah-mudahan beliau bisa membantu

    @yance
    kalau di MA sih, itu berarti 4 kasus itu dibaca oleh Majelis yang sama dan satu kasus dibaca oleh Majelis yang berbeda, bukan dipecah perkaranya oleh MA. Makanya putusannya aneh bin ajaib

  4. Yoga said:

    Terima kasih Pak,
    btw silahkan memanggil saya dengan Yoga saja tanpa mbak atau Ibu 😉

  5. Benar Mas, tapi itu kan kemudian jadi persoalan yang memang bermula dari Splitzing dari Jaksa. Semangatnya Splitzing itu kan barangkali untuk kemudahaan administrasi, termasuk administrasi peradilan. Tapi ternyatakan hal yang prosedural itu mempengaruhi hal yang substansial (Putusan Hakim)

    Jadi gimana cara menyuting gambar untuk ditampilkan dalam blog Mas? Rasanya saya belum dikasih petunjuk tuh..hehehe

    Untuk Bapak Yoga. Saya kira buku warna hijau yang disebutkan Mas Anggara itu adalah buku Budi Harsono. buku itu setahu saya ada dua. satunya membahas UU Agraria, satunya lagi membahas sejarah UU Agraria. buku itu kan gampang di cari di Kwitang.. Tapi kalau ingin mendalami Hak Penguasaan Tanah, ada satu buku yang cukup relevan dibaca pada awalnya, Judulnya: Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Kepemilikan Tanah, ditulis oleh Rikardo Simarmata. buku itu terbitan Insist.

  6. anggara said:

    @yoga
    nggak enak rasanya kalau nggak manggil ibu

    @yance
    yance semangat splitzing itu karena jaksa agak males untuk kreatif, makanya perkaranya di split, tapi harus hati-hati, gimana kalau kemudian untuk pokok perkara yang sama akan tetapi no perkara berbeda putusannya pun besar kemungkinan berbeda
    soal sunting menyunting harus praktek langsung tuh
    mas yance itu bukan bapak tapi ibu, dan jangan mengajarkan buku yang bernada sosialistis mas :), nanti dikira “komunis” loh wakakakakakakak

  7. Yoga said:

    Pak Anggara, Pak Yance terima kasih..
    Memang nama saya sering mengecoh padahal saya mbak-mbak…

  8. haHA… Maaf Kalau begitu buk Yoga.. Sama dong,\ Nama saya terkadang juga mengecoh..

    Salam Kenal saja

  9. Reza said:

    Saya mau ambil skripsi ttg splitsing dalam kasus psikotropika..gmn ya?mudah ga ya

    • anggara said:

      @reza
      tergantung sejauh mana kesiapan anda

  10. joni zulhendra said:

    ass. pak anggara ? apa ada buku yg membahas tentang saksi mahkota itu ? Kalo ada tolong kasih tahu apa-apa saja nama bukunya ? trims

    • anggara said:

      @joni zulhendra
      silahkan cari di buku hukum acara pidana pak

  11. joni zulhendra said:

    dalam buku hukum acara pidana tidak ada ditemukan kusus tentang saksi mahkota? tolong pak anggara siapa nama pengarangnya? apa sebenarnya saksi mahkota itu, ini akan mnejadi referensi dalam presentasi sy nanti..

    • anggara said:

      @joni Saya sendiri lupa judul bukunya pak, entah kemana buku itu saya cari tiada bertemu

      This email sent by Anggara from Nokia E 71 and powered by Telkomsel. Thanks http://anggara.org

  12. citra said:

    Pak Anggara,, saya citra mahasiswa semester 3 fakultas hukum,,,dan kebetulan saat ini saya hendak mengikuti ajang kompetisi peradilan semu berkaitan dengan perkara tipikor…
    yang ingin saya tanyakan, dimana saya bisa mendapatkan keterangan mengenai diperbolehkannya penghadiran saksi mahkota dalam persidangan?berdasarkan dari persidangan kasus BLBI, saksi mahkota (artalyta) bagi Urip Tri Gunawan dapat dihadirkan,, lalu atas dasar apa hal tersebut dapat dilakukan padahal sudah sangat jelas dari yurisprudensi MA terbaru hal tersebut tidak diperbolehkan?apakah ada yurisprudensi atas kasus tersebut yang memperbolehkan dihadirkannya saksi mahkota?
    mohon untuk dibalas segera ….

    terima kasih banyak

    • anggara said:

      @citra
      sebenarnya banyak kontroversi soal saksi mahkota itu, secara umum istilah itu dikenal secara salah di Indonesia. Saya sendiri kurang tahu yurisprudensinya

  13. sigit said:

    mas saya mahasiswa fakultas hukum semester 7, dan sekarang lagi nyusun tentang splitsing. saya tertarik tentang pembahasan splitsing di atas. mas saya minta tolong banget sama mas buku apa yang saya harus baca mengenai splitsing??saya cari2 tentang splitsing ga da, jadi selama ini yang saya tahu tentang splitsing hanya dari internet. tolong balas y mas…
    terimakasih banget mas…..

    • anggara said:

      @sigit
      itu dia masalahnya, tidak cukup banyak orang menulis soal hukum acara pidana kaitannya dengan hak terdakwa

  14. sigit said:

    pa tolong-tolong,,buku yang mengenai splitsing itu apa???judulnya dan pengarangnya??karena saya nyari-nyari tidak ada,,,terimakasih banyak pa….

  15. eka said:

    PAK BISA KIRIMKAN KE EMAIL SAYA TTG YURISPRUDENSI SAKSI MAHKOTA, sangat penting untuk tesis saya….

  16. John said:

    info yang sangat menarik, sepertinya harus dicoba 🙂 , Affleck

Leave a comment