Tentang Kuasa Yang Tak Dapat Ditarik Kembali
Surat Kuasa pada dasarnya bukanlah perjanjian dan merupakan pernyataan sepihak tentang pelimpahan wewenang dari si pemberi kuasa terhadap penerima kuasa.Namun dalam praktek pemberian jasa hukum, biasanya Pembuatan Surat Kuasa ini juga dibarengi dengan perjanjian pemberian jasa hukum yang diantaranya berisi hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak dan disertai dengan hak retensi yang dimiliki oleh seorang Advokat.
Lalu, adakah surat kuasa yang tak dapat ditarik kembali? Dalam beberapa hal saya sering menemukan kuasa jenis ini. Rasanya memang aneh, karena pemberian kuasa pada dasarnya bersifat sepihak dan setiap saat bisa ditarik sewaktu-waktu oleh si pemberi kuasa, namun dengan catatan, pencabutan tersebut baru sah setelah hak-hak si penerima kuasa telah dipenuhi oleh si pemberi kuasa. Biasanya saya menemukan kuasa jenis ini pada perjanjian leasing kendaraan, biasanya berbunyi “pembeli dengan ini memberi kuasa kepada penjual dimana kuasa tidak dapat ditarik kembali, dan dengan hak substitusi untuk memasuki halaman dimana kendaraan berada untuk mengambil kembali kendaraan dari pembeli atau pihak ketiga, kalau perlu dengan bantuan pihak yang berwajib”Menurut saya ini aneh, karena kuasa tidaklah diperjanjikan, dan selalu bisa ditarik kembali bahkan secara lisan. Bagaimana menurut anda?
Untuk perbandingan, silahkan lihat pemberitaan hukumonline di sini dan di sini
Dalam praktek bisnis, banyak terjadi surat kuasa yang tak dapat dicabut kembali. Mengapa? Jika sekedar surat kuasa, yang diberikan oleh satu pihak, maka bisa terjadi hal-hal yang membuat perjanjian batal.
Seperti halnya perjanjian kredit, maka para pihak harus tanda tangan dan tak dapat diwakili oleh surat kuasa.Namun dalam syarat yang tercantum dalam loan agreement…pernyataan seperti yang disampaikan pak Anggara banyak terjadi.
huuumm yang saya ketahui
*maaf kalau salah* 🙄
tentang pencabutan surat kuasa… surat kuasa dapat dicabut atau digantikan bila pemberi kuasa telah mengeluarkan /memberikan surat kuasa baru kepada pihak lainnya. dengan atau tanpa persetujuan pihak pertama yang diberikan kuasa, karena seperti yang Kang Anggara sebut disini Surat Kuasa merupakan perjanjian sepihak.
O_O” 😉 Aprilia 😉
biasanya ada perjanjian sebelum surat kuasa itu dibuat
Yang saya tidak mengerti, biasanya tidak ada perjanjian untuk pembatalan syrat kuasa.
@edratna
buat saya surat kuasa adalah pernyataan sepihak dan bukan perjanjian, makanya buat saya aneh jika surat kuasa tidak dapat dicabut kembali. dalam konteks loan agreement biasanya itu terjadi indikasi kecurangan karena bisa jadi tidak diletakkan hak tanggungan atau jaminan fidusianya tidak daftarkan
@lia
tepat
@hanggadamai
soal yang rekan tanyakan adalah untuk pembayaran honorarium bagi advokat
mas anggara atau yang lainnya,
saya bukan orang hukum (sh), tapi tertarik dengan masalah-masalah hukum. saya punya pertanyaan, apakah pernah ada kasus gugatan tentang hal ini atau terkait dengan hal ini, dimana pemberi kuasa ingin mencabut dan penerima kuasa tidak mau dicabut, sehingga timbul sengketa? bagaimana putusannya? apakah sudah ada putusan ma yang bisa dijadikan yurisprudensi?
Setuju dengan pak Anggara. Tak mungkin kuasa tak bisa ditarik kembali. Kuasa yang diberikan rakyat sama presiden aja bisa ditarik kembali kalau syaratnya terpenuhi, ya kan pak. Mohon diluruskan kalau saya salah. Soalnya bukan orang hukum sih. Salam kenal pak Anggara.
@prihanto
wah, kalau itu saya belum pernah dengar, namun pernah ada kasus yang terkait dengan kuasa yaitu mengenai hak retensi seorang advokat
@rafki
terima kasih dan salam kenal
menurut saya, surat kuasa dapat saja dibuat untuk tidak dapat dicabut kembali asalkan dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian pemberian kuasa tersebut, sepanjang masalahnya tidak mengenai barang tetap/tidak bergerak dan hanya berlaku selama masalah yang khusus dalam surat kuasa tersebut belum diselesaikan oleh sipenerima kuasa (Surat Kuasa Mutlak).
menurut saya surat kuasa adalah salah satu bentuk perjanjian karena dituangkan dalam bentuk tertulis, disepakati dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak, objeknya adalah pengurusan atau perbuatan tertentu.
@yandi
mana bisa seperti itu, meskipun dinyatakan dalam surat kuasa tetap saja penarika kuasa bisa dilakukan oleh si pemberi kuasa. Dan surat kuasa bukanlah perjanjian dalam kontruksi perdata, karena sifat dan hakikatnya berbeda. Surat kuasa adalah penyerahan kewenangan dari si pemberi kuasa kepada si penerima kuasa, sementara perjanjian adalah berkaitan dengan masalah pelaksanaan prestasi
memang pada umumnya surat kuasa dapat ditarik/dicabut secara sepihak, akan tetapi apabila dicantumkan secara tegas dalam surat kuasa itu untuk tidak dapat dicabut kembali, dan kemudian ketentuan kuasa mutlak tersebut disetujui oleh penerima kuasa hal itu menurut saya berlaku sebagai perjanjian sepihak yang tidak dapat dapat dicabut kembali tanpa persetujuan pemberi kuasa. hal ini saya tafsirkan secara analogis dengan persetujuan yang timbul karena undang-undang, dan juga dikemukakan dalam buku Yahya Harahap mengenai Hukum Acara Perdata Indonesia (saya lupa halamannya, dan maaf juga kalo salah dalam penulisan judulnya, yang pasti dalam buku Yahya Harahap yang temanya mengenai Hukum Acara Perdata).
eh Mas Anggara, saya Yandi temannya Bona, kita sama-sama ikut Pendidikan Khusus Advokat di Unpad dulu, he he
@yandi
he..he…he…, saya tetap pada pendapat saya kang, salam untuk bona
Memang aneh ya mas Anggara.
Kebetulan beberapa waktu terakhir hukumonline sedang menulis banyak seputar Surat Kuasa. Kegelisahan mas Anggara itu telah dijawab dalam buku Hukum Perwakilan dan Kuasa tulisan Rachmad Setiawan yang diterbitkan PT Tatanusa. Buku itu mencoba menjabarkan kerancuan pembentuk Oud BW dalam pasal 1792-1819 BW. Di situ Kuasa disebutkan sebagai perjanjian. Ditambah lagi dalam Pasal 1813 KuHPerdata tentang berakhirnya kuasa yang disebut salah satunya oleh sebab pencabutan kuasa si pemberi kuasa.
Kesalahan ini sudah direvisi dalam Nieuw BW. Sayang, kita tertinggal jauh. Dalam pemberian Kuasa menurut Oud BW, selalu ada perjanjian. Lebih tepatnya, dalam perjanjian pemberian beban perintah (Latsgeving) selalu ada kuasa. Di negeri Kincir Angin, konsep itu sudah diubah. Kuasa (volmacht) dibedakan dengan Pemberian beban perintah (lastgeving). Ciri-cirinya mudah diidentifikasi. Lastgeving menimbulkan kewajiban bagi penerima kuasa untuk menjalankan kuasa, sementara dalam volmacht tidak ada kewajiban yang timbul pada penerima kuasa.
Soal kuasa mutlak alias kuasa yang anti dicabut sebenarnya tidak dikenal dalam hukum perdata kita. Mengacu pada 1813 KUHPerdata, setiap kuasa bisa berakhir dengan pencabutan dari pemberi kuasa. Nah, dalam praktek, Kuasa Mutlak ini sering dilakukan, terutama dalam dunia bisnis. Syarat kuasa mutlak ini, menurut Nieuw BW, harus untuk kepentingan si penerima kuasa. Dengan kata lain, dalam pembuatan kuasa itu memang ada kewajiban pemberi kuasa untuk diselesaikan oleh penerima kuasa dengan untuk dan atas nama pemberi kuasa. SIngkatnya, kalau kuasa itu dicabut, akan terjadi ketidakadilan bagi si penerima kuasa.
Buat lebih lengkapnya petualangan soal Surat Kuasa, mas Anggara bisa baca buku pak Rachmad itu 1 jam sebelum tidur. Pasti kebawa mimpi.
salam.
@popon
sepertinya bukunya harus dibeli tuh
ajiiibbbb….asik bwt masukan sy bikin redaksional surat kuasa. Makasih smua, en slm kenal
Salam kenal bang, ikut nimbrung ya,
saya berpendapat secara logika aja nih (bukan ilmu hukum krn sy bukan ahli hukum…hehe) :
suatu perjanjian didalamnya mengandung makna kesepakatan, tidak akan ada sebuah perjanjian jika tidak ada kata sepakat (kesepakatan) antara para pihak, dimana para pihak sepakat dan juga berjanji untuk memenuhi dan mentaati isi perjanjian.
Begitupun dengan surat kuasa, surat kuasa (pemberian kuasa) dapat dibuat/terjadi jika si penerima kuasa bersedia/sepakat untuk menerima kuasa itu, artinya surat kuasa bisa pula merupakan sebuah bentuk perjanjian walupun tidak secara nyata disebutkan karena di dalamnya harus ada kesepakatan antara si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa.
Jadinya, surat kuasa bersifat mutlak boleh/sah saja, jika si pemberi dan si penerima kuasa sudah menandatanganinya berarti tidak ada yang berkeberatan kan, dan harus dibuat sesuai pasal 1320 KUHPerdata : 1. Sepakat, 2. Cakap, 3. Suatu hal tertentu, 4. suatu sebab yg halal.
@iwan
surat kuasa bukan perjanjian, itu perbuatan sepihak, dan bisa ditarik sewaktu – waktu
kalo pemberi kuasanya meninggal, sedangkan yg dikuasakan adalah saham, apakah ahli waris dapat mengambil alih ? numpang tanya ?
Bos tolong di berikan infonya…gini bos, waktu bapak saya masih hidup, bapak saya pernah memberikan kuasa sertifikat rumah kepada pihak kedua untuk digunakan semestinya…trus pihak kedua ini make ambil uang kepada pihak ke tiga…akan tetapi bunyi surat kuasa itu dicantumkan tanggal berakhirnya surat kuasa tersebut. Trus sekarang sipemberi kuasa telah meninggal dunia… Gimana thu bos? Tolong yha saranya.