Waris dan Ijtihad
Membaca tulisan kang munggur disini, membuat saya tercenung dan berfikir kembali. Pesan yang disampaikan sederhana dan membuat saya berfikir keras. Soal waris dalam konteks hukum tidaklah bisa dimaknai sangat sederhana, apalagi waris dalam hukum Islam yang saya akui sangat kompleks.
Beberapa tahun silam, saya sempat mendengat curhat dari seorang teman yang keluarganya berantakan karena waris. Dan orang-orang yang memperebutkan harta warisanpun tidak bisa amanah dalam menjaganya sehingga habis tidak jelas kemana.
Secara umum, waris dalam Islam memang sudah digariskan aturan-aturannya, namun saya pikir dalam kondisi-kondisi tertentu, perlu diadakan ijtihad untuk mengakomodasi beberapa hal.
Misalnya dalam konteks Indonesia jika ada keluarga dengan dua orang anak lalu sang ayah meninggal, maka pembagian waris akan menunggu sampai si ibu meninggal. Setahu saya, waris haruslah langsung dibagi pada saat itu, namun pada kondisi Indonesia hal tersebut merupakan pantangan. Disinilah, saya memandang, pembagian waris tidaklah perlu sekaku itu, namun perlu dicarikan terobosan-terobosan agar tidak menyalahi hukum dan juga tata karma hubungan anak dan orang tua
Nah solusinya, tentu harus dicari, seperti adanya trust fund. Ini tentunya menurut saya yang bukan ahli fikh. Dan saya pikir, banyak kasus-kasus unik lainnya yang tentunya memerlukan pemikiran lebih lanjut.
Sekali lagi ini adalah sebuah pemikiran saya saja, anda boleh tidak sependapat dengan saya
UAS Hk Perdata Islam gw soal waris :((
Warisan seharusnya menjadi berkah, bukan musibah. Bukan lalu menjadi hibah mendadak, membuat banyak orang gundah dan keluarga bubrah. Masak, sepeninggal orangtua, kok, mala rebutan harta.
Bersyukurlah keluarga-keluarga yang diwarisi keterampilan hidup, pengalaman bernila dan moral/etika yang luhur. Tak hanya sekedar harta yang bisa diukur secara nominal dan membuat orang membabi-buta rebutan harta. Malu-maluin waris itu…
@nenda
bisa kan?
@munggur
bener pak, saya suka heran kalau ada orang yang rebutan waris
Setau sayah kalau dalam contoh kasus yang bang Anggara kemukakan yaitu apabila ada Suami meninggal, meninggalkan Istri dan dua orang anak. Dalam hal ini secara hukum Islam bukannya warisan sudah bisa langsung dibagi yah?
@zka
memang harusnya begitu, namun prakteknya kan menunggu sampai kedua orang tua meninggal
Jika mau merubah hukum Faroid, keluar dulu dari Islam kemudian ke ahmadiyah atau AKKBB atau ke nGus … Door
@ aziz
gitu yaa 🙂
mas anggara. opininya menarik sekali. setahu saya, siapapun yang meninggal dunia (baik ayah, ibu, bahkan anak), setelah dikuburkan maka langkah selanjutnya adalah membagikan harta peninggalannya.
jadi, tidak harus menunggu kedua orang tua meninggal dunia. pembagiannya pun jelas: misal, ayah meninggal dunia, makan istrinya mendapatkan 1/8 harta warisan suaminya, sisanya (7/8) dihabiskan oleh kedua anaknya (jika ada anak laki-laki).
tapi, bila tidak ada anak laki-laki (misalnya kedua anaknya perempuan), maka ayah dan saudara dari pihak yang meninggal dunia (kakek dan paman) dari dua orang anak perempuan tadi ikut berhak mendapatkan harta peninggalan ini. jumlah persisnya saya kurang tahu, hehhehe…
warisan, imho, harus segera dibagikan agar kelak di kemudian hari tidak terjadi perpecahan keluarga (putus silaturahmi). banyak sekali keluarga yang mengalami hal ini karena menunda-nunda urusan warisan. salah satunya dialami oleh keluarga saya sendiri 😦
nasib… nasib… dengan saudara sendiri kok ribut?
@iman
betul sekali, namun pada kenyataannya banyak juga yang tidak kan :), maka dari itu harus ada jalan keluarnya