Bloger Briefing: Uji Materil Pasal-Pasal KUHP Yang Dapat Mengancam Kemerdekaan Menyatakan Pendapat


Latar Belakang

Pada 3 Juni 2008 dua orang warga negara Indonesia yang bekerja sebagai wartawan, yakni Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis, mengajukan uji materiil Pasal Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945). Risang adalah wartawan Radar Jogya yang dihukum 9 bulan penjara oleh PN Sleman, DIY, karena tuduhan mencemnarkan nama baik Soemadi Martono Wonohito, Pemimpin Harian Umum Kedaulatan Rakyat/Direktur BP SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta

Sedangkan Bersihar Lubis adalah Kolumnis Tempo yang divonis 3 bulan percobaan oleh PN Depok, Jawa Barat, karena melanggar pasal 207 KUHP. Hukuman itu terkait dengan tulisan Bersihar yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu” yang dimuat di Koran TEMPO terbitan tanggal 17 Maret 2007.

Duduk Perkara

Kedua wartawan tersebut menilai pasal-pasal KUHP tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP

Sedangkan pertimbangan permohonan uji materiil adalah:

1. Bahwa rumusan delik dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP bukanlah rumusan delik yang secara tegas menganut asas “lex certa” dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan terhadap tafsir sepihak apakah suatu pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau pencemaran dan/atau fitnah, karena itu hukuman berbentuk pidana penjara sangat berlebihan dan dapat mengganggu hak konstitusional Pemohon II sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3) Perubahan II UUD 1945.

2. Penggunaan Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan terhadap tafsir sepihak apakah suatu penyampaian informasi merupakan kritik atau pencemaran dan/atau fitnah sehingga dapat menghambat kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945.

3. Kalimat atau kata akan selalu berkembang oleh karena itu, kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa lalu sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina pada masa sekarang, begitu pula kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa sekarang sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina di masa depan.

4. Perkembangan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers, terutama di negara-negara demokrasi, sudah sedemikian jauh sehingga kini dipandang tidak lagi wajar, bahkan tidak patut, untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara bagi para pencipta karya-karya pemikiran kreatif seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi.

5. Bahwa pandangan yang menganggap penyampaian pendapat, penyampaian ekspresi dan karya jurnalistik sebagai kejahatan yang patut dijatuhkan pidana penjara kini semakin tidak populer sehingga tidak selayaknya dipertahankan. Penjatuhan sanksi hukum pidana berupa hukuman penjara dipandang tidak sesuai dengan standar internasional tentang kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat , kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers.

6. Apabila pidana denda yang terdapat dalam KUHP dianggap tidak cukup, aturan tentang Penghinaan dan Pencemaran nama baik juga diatur dalam Pasal 1372 – 1379 KUHPerdata, sehingga penuntutan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik dapat dilakukan dalam mekanisme yang disediakan dalam KUHPerdata.

7. Tidak seorangpun atau golongan apapun termasuk pemerintah yang sedang berkuasa boleh menafsirkan tentang hak asasi manusia yang dijamin melalui UUD 1945 sedemikian rupa dalam bentuk usaha atau perbuatan apapun yang bermaksud menghapuskan hak atau kebebasan yang telah dijamin dalam UUD 1945. Oleh sebab itu perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 KUHP dan Pasal 316 KUHP serta pengenaan pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP telah menjadi sumber yang mampu membatasi hak dan atau kewenangan konstitusional dan bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945 sehingga harus dihapuskan.

8. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka telah jelas, negara Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP dengan hukuman pidana penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana.

Pentingnya uji materiil bagi kemerdekaan menyatakan pendapat

  1. Uji materiil tersebut merupakan langkah strategis untuk mengupayakan perlindungan bagi kemerdekaan menyatakan pendapat dari ancaman pidana. Sampai saat ini, penjara masih merupakan ancaman yang menakutkan bagi setiap warga negara Indonesia yang menggunakan hak konstitusionalnya;
  2. Bahwa banyak norma-norma dalam KUHP yang merupakan warisan penjajah Belanda tidak lagi sesuai dengan situasi masyarakat yang demokratis saat ini. Uji materiil tersebut sebagai upaya untuk menghapuskan pasal-pasal yang sudah usang.

Narasumber yang Bisa Dihubungi:

  1. Hendrayana, Direktur LBH Pers (kuasa para pemohon): hendra41 at yahoo dot com
  2. Anggara, Koordinator JR KUHP (kuasa para pemohon): anggara at anggara dot org
Advertisement
5 comments
  1. yuhendrablog said:

    saya dukung dengan uji materil pasal tersebut bang,
    seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang telah dituduh menghina nama baik orang lain pidananya tidak lagi pidana penjara, pendapat saya cukup dengan pidana ganti rugi kepada pihak yang dirugikan,

    seterusnya,
    untuk penggunaan pasal dalam masalah ini seharusnya hakim melihat kepada UU tentang PERS bukan serta merta ke KUHP saja, coz seperti yang abang bilang pasal pencemaran nama baik itu multi tafsir, setiap orang berbeda penafsirannya. saya rasa cukup dengan UU pers saja bang.

    kedepannya, didalam RUU KUHP dan KUHAP
    hal ini diatur lebih jelas bang, mengingat kekhwatiran Pers dan juga kekhawatiran kita selaku blogger, jgn sampe pemerintah mengeluarkan UU tentang Blog kayak UU yang ada di negara China,

    Demikian bang

    Regards,

    Yuhendra

  2. Yari NK said:

    Maaf OOT Kang Anggara…. tadi udah terima SMS-nya, tadinya mau dibalas nanti agak sorean, eh nggak tahunya nggak sengaja kehapus, no hp-nya belum tercatat. Hehehe…..

    Saya alhamdulillah sekeluarga baik2 aja kang, mudah2an kang Anggara juga begitu adanya. Amin. 🙂

  3. anggara said:

    @kombor
    terima kasih kang

    @yuhendra
    terima kasih mas

    @yari
    terima kasih atas pemberitahuannya kang

  4. didik catur said:

    apakah arti istilah dan di atur dimana istilah di bawah ini?
    a. aanbesteden
    b. aandrijving
    c. abandonment
    d. zonder testament
    e. abortus provocatus
    f. aanwarden
    g. aanvulen de eed
    h. anbreng
    i. aandeel
    j. aazetten

    tolong informasinya, segera…
    thax u….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: