Imam Kambali (Kemat), Bantuan Hukum, dan Pembaharuan KUHAP


Pendahuluan

Imam Kambali alias Kemat (26) dan Devid Eko Priyanto (17) serta Maman Sugianto alias Sugik (22) yang ketiganya warga Desa Kalangsemanding, Kecamatan Perak, Jombang, telah dituduh terlibat dalam pembunuhan Asrori. Kemat dan Devid kini adalah terpidana dengan vonis -terbukti membunuh Asrori- masing-maisng 17 tahun dan 12 tahun yang saat ini mendekam di LP Jombang. Sedangkan Sugianto berstatus sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jombang karena masih dalam proses hukum dengan dakwaan ikut membantu pembunuhan Asrori.

Kasus ini menjadi menarik, setelah ditemukan fakta bahwa Mr X yang menjadi korban ke-10 dari aksi pembunuhan yang dilakukan Verry Idham Henyansah alias Ryan adalah Asrori alias Aldo warga Kalasemanding, Kecamatan Perak, Jombang. Jenasah ini ditemukan terpendam di belang rumah Ryan di Jatiwates, Jombang, pada akhir Juli lalu.

Hal ini yang menyebabkan munculnya dugaan sementara bahwa ketiganya diduga adalah korban salah tangkap dari pihak kepolisian dan semua keterangan yang dibuat dalam BAP adalah diduga dibuat dibawah tekanan akibat tindak penyiksaan yang diduga dilakukan oknum kepolisian.

Kasus ini, kalau benar terjadi, adalah salah satu pengulangan kasus Sengkon dan Karta pada era 1970-an. Dalam kasus itu, polisi memaksa Sengkon dan Karta dengan siksaan fisik dan psikis untuk menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Maka jadilah Sengkon dan Karta saat itu sebagai terpidana yang divonis tanpa kesalahan namun terbukti bersalah dalam fakta persidangan.

Selain itu di Bekasi pada beberapa waktu yang lalu juga terjadi kasus salah tangkap yaitu KASUS Budi Harjono yang dituduh membunuh ayah kandungnya sendiri, Ali Harta Winata (60), di Jln Raya Hankam, Pondok Gede, Bekasi, 17 Desember 2002 dan sempat ditahan di tahanan polisi dan LP Bulakkapal selama enam bulan

Hal ini secara umum dapat menunjukkan kepada masyarakat bagaimana kerja dari pihak kepolisian untuk mengungkap sebuah tindak pidana. Mekanisme kerja yang tidak jelas dan upaya untuk mengabaikan hak-hak tersangka yang sudah dijamin dalam KUHAP merupakan cerita lama yang terus menerus diputar ulang dalam sejarah Republik ini. Meski KUHAP yang diundangkan pada 1981 dianggap karya agung bangsa Indonesia, namun ternyata dalam implementasinya masih mudah untuk diselewengkan guna pencapaian tujuan-tujuan sempit dari para penegak hukum

Bantuan Hukum dan Miranda Rule

Bantuan hukum dalam proses pidana merupakan salah satu hak yang dijamin dalam KUHAP. Pasal 54 KUHAP telah menegaskan bahwa tersangka/terdakwa berhak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, Namun ketentuan yang bersifat fakultatif ini telah dikritik sejak lama, karena tanpa seorang advokatpun yang mendampingi tersangka/terdakwa, maka pemeriksaan tetap dapat dilanjutkan.

Selain itu ketentuan inipun dalam tingkat penyidikan juga masih mendapat sorotan karena menurut Pasal 115 KUHAP, pendampingan seorang advokat terhadap kliennya hanya terbatas pada melihat atau menyaksikan, atau mendengarkan (within sight and within hearing) inipun masih dapat dibatasi jika kasusnya tersangkut dengan keamanan negara, maka peran advokat untuk mendampingi kliennya hanya terbatas untuk melihat saja (within sight).

Bantuan hukum dapat berubah menjadi wajib, sebagaimana diatur dalam Pasal 56, jika sangkaan atau dakwaan terhadap tersangka/terdakwa diancam dengan hukuman mati dan/atau hukuman lima belas tahun atau lebih atau khusus bagi yang tidak mampu jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih dan ia tidak mempunyai penasihat hukum. Untuk itu, salah satu miranda rule dalam KUHAP adalah yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP.

Dalam kasus yang melibatkan Imam Kambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto, dan Maman Sugianto alias Sugik, yang disangka membunuh Asrori, maka dugaan saya mereka setidaknya dikenakan dakwaan pasal – pasal pembunuhan dalam KUHP seperti Pasal 338 – 340 KUHP

Pasal 338

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 339

Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 340

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Dalam proses ini tentunya, pejabat yang berwenang harus menunjuk penasihat hukum bagi kepentingan tersangka/terdakwa. Standar Miranda rule ini dapat ditemukan dalam Putusan MA No 1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 dan Putusan MA No. 367 K/Pid/1998 tertanggal 29 Mei 1998

Menurut MA dalam Putusan No 1565 K/Pid/1991 menyatakan bahwa

“apabila syarat-syarat permintaan tidak dipenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima”

Menurut MA dalam putusannya No. 367 K/Pid/1998 menyatakan bahwa

“Bahwa terlepas dari alasan-alasan tersebut di atas, ditemukan fakta bahwa terdakwa diperiksa dalam tingkat penyidikan masing-masing pada tanggal 31 Desember 19996, tanggal 3 Januari 1997 dan tanggal 6 Januari 1997 dan dalam tingkat penuntutan tanggal 1 Maret 1997, tidak ditunjuk penasihat hukum untuk mendampingi Nya, sehingga bertentangan dengan pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Pemeriksaan Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum dan oleh karena itu penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima, walaupun pemeriksaan di sidang Pengadilan, terdakwa didampingi Penasehat Hukum.”

Saya sendiri tidak mendapat informasi apakah ketiganya didampingi oleh seorang Advokat atau tidak, namun dari pemberitaan yang muncul dan mengisahkan kisah penyiksaan yang dialami mereka, untuk sementara dapat diindikasikan bahwa ketiganya tidak didampingi oleh Advokat.

Jika ketiganya selama proses pemeriksaan tidak didampingi oleh seorang Advokat, maka seharusnya hakim dapat dengan cermat melihat celah itu dan secara bijak harus menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima dan BAP yang disusun oleh penyidik batal demi hukum

Keterangan terdakwa: Sebuah Kompleksitas Alat Bukti

Saya akan melompat untuk melakukan pemeriksaan terhadap kekurangan KUHAP yang dalam dugaan saya menjadi titik penting dalam pemeriksaan Imam Kambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto, dan Maman Sugianto alias Sugik, yaitu soal keterangan terdakwa

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang diakui adalah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa.

Meski keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa sama, namun ada perbedaan mendasar yang menurut saya adalah kelemahan KUHAP yang kemudian menjadi celah bagi pihak-pihak yang berusaha menyelewengkan hak-hak tersangka/terdakwa yang telah dilindungi dalam KUHAP.

Keterangan terdakwa sebenarnya merupakan perluasan dari pengakuan tertuduh dalam HIR yang dimaksudkan untuk menjamin terciptanya prinsip “praduga tidak bersalah”. Keterangan terdakwa yang sah berlaku sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 189 ayat (1) KUHAP adalah : (a) apa yang terdakwa nyatakan atau jelaskan di sidang pengadilan dan (b) yang dinyatakan atau dijelaskan itu  mengenai perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau alami sendiri.

Namun dalam prakteknya penerapan alat bukti ini menjadi persoalan yang cukup rumit karena “pengakuan” yang diberikan tersangka dalam tahap penyidikan dan juga “pengakuan” yang diberikan terdakwa dalam proses pemeriksaan di pengadilan sering disalah gunakan. Meski Pasal 189 ayat (4) menyatakan bahwa keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan ia bersalah tidak jika tidak didukung oleh alat bukti yang lain, namun dalam kasus yang agak rumit, biasanya dipermudah dengan melakukan pemecahan berkas meski pokok perkaranya sama. Sehingga terdakwa dalam no perkara yang lain dapat menjadi saksi bagi terdakwa dalam no perkara yang berbeda meski pada pokoknya perkara yang dihadapi oleh para terdakwa itu sama.

Pasal 66 KUHAP menyatakan bahwa tersangka/terdakwa tidak dibebani beban pembuktian namun berdasarkan Pasal 175 KUHAP jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa jika dalam proses pemeriksaan untuk menggali keterangan terdakwa, terdakwa tidak mau menjawab atau menolak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya maka hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan”

Tentu saja prinsip yang dianut dalam Pasal 66 KUHAP bertentangan dengan Pasal 175 jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal inilah yang menyebabkan salah satu kelemahan yang dapat dipakai untuk menjerat tersangka/terdakwa karena tidak adanya perlindungan individual dalam kerangka “the rights to remain silent”.

Upaya Pembaharuan KUHAP

Kasus yang menimpa Imam Kambali alias Kemat, Devid Eko Priyanto, Maman Sugianto alias Sugik, Sengkon, Karta, Budi Harjono tidak perlu terjadi apabila penyidik, penuntut, dan hakim sejak awal memperhatikan secara seksama dan bijak tentang ketentuan perlindungan yang diatur oleh KUHAP.

Namun meski demikian, KUHAP juga perlu diperharaui setidaknya menekankan pada aspek bahwa pemberian bantuan hukum adalah bersifat wajib pada setiap tingkat pemeriksaan dan tentunya harus tidak ada pembatasan terhadap kehadiran Advokat dalam mendampingi kliennya.

Proses pemeriksaan tidak boleh lagi hanya menjamin tercapainya prinsip speedy trial tetapi juga harus menekankan pada prinsip fair trial, sehingga perlindungan individual dapat dijalankan secara maksimal

Masyarakat miskin juga harus dijamin haknya untuk mendapatkan akses terhadap bantuan hukum. Organisasi profesi semacam Peradi bekerjasama dengan Mahkamah Agung harus terlibat untuk memastikan bahwa masyarakat miskin ketika terjadi ancaman pidana terhadap mereka tetap dapat didampingi oleh seorang Advokat yang mumpuni dan bukan asal mendampingi saja.

KUHAP juga seharusnya menekankan kembali pada asas bahwa tersangka/terdakwa tidak boleh dibebani beban pembuktian, sehingga keterangan terdakwa, konsekuensinya tidak lagi diperlukan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini diperlukan untuk mencegah praktek – praktek pemerasan yang kerap terjadi dan praktek pemecahan berkas perkara karena penyidik dan penuntut umum tidak mampu secara kreatif menemukan saksi yang dapat membuktikan kebenaran sangkaan/dakwaan

Advertisement
7 comments
  1. Ada beberapa hal yang belum gw liat ada di KUHAP (kalau ternyata sudah ada tolong dikoreksi):
    1. Aturan bahwa kalau warga asing yang ditangkap dia harus diberitahu haknya untuk menghubungi konsulat jenderal negara asal si warga asing tersebut, hal ini untuk memenuhi kewajiban Indonesia dalam Vienna Convention on Consular Relations.
    2. Aturan bahwa kalau terpidana terbukti disiksa saat pemeriksaan maka pengakuannya dianggap tidak dapat dipergunakan di pengadilan.

    Btw, dulu paper Anglo Saxon gw soal Miranda Rule. *enggak penting*

  2. RUSMAN PATTIWAEL said:

    menrut saya kasus yang meninma kambali dan kawan-kawan, dapat dijadikan pelajaran bagi seluruh aparat penegak hukum.

  3. anggara said:

    @nenda
    kalau enggak salah ada *maklum belum pernah berurusan dengan wna, jadi sama enggak tahunya* tapi kalaupun tidak ada, pemberitahuan ke kedutaan/konsulatnya tetap wajib dilakukan.
    soal karena penyiksaan, sebenarnya contoh kasusnya ada tuh, tetap tidak bisa dipakai BAPnya

    @rusman
    mudah2an yaa

  4. edy said:

    terus kawan mances, kamu adalah salah satu tokoh indonesia yang berjuang di bidang hukum pidana……. smoga kmu jdi orang yang sukses untk menegakkan hukm di indonesia …!!!

  5. johannes said:

    interesting article and blog. the essence of the absence of laws in Indonesia is the weak legislative nature of the lawyers themselves. The police operates in the vacuum of power created by a naive pursuit of US legislation and influences on the state by providing the police with a counter balance of power to the former overbearing rule of the TNI pre-1998.

    The political outcome of this paradigm shift is that the police is purchasable at the highest bidder and the lack of forensic evidence allowing the police to disregard physical evidence which is replaced by the interpretation of the investigators. It therefore removes the science and gives the power of ultimate evidence into the hands what is usually an incompetent and influencable police officer that is 99% of the cases driven by monetary gains defeats any legal reform.

    I would without knowning detailed statistics argue that a majority of cases should not even make it to the court as the evidence is superficial to the extend of being fabricated, corrupted, poorly preserved or presented and cohersed to the extend of torture.

    The remedy against poor criminal investigations is the rejection of the case by the court by the judge due to lack of evidence. It will force the police to improve their quality of investigation, preservation of evidence and in all honesty, get their facts right. But this requires a. political will, b. maturity of the judges and courts and c. steadfast conviction by the legal profession in the pursuit of the law. And that is a challenge if faced with the massive amount of corrupt police officers that the country faces.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: