Pornografi dan Kebebalan Aturan Hukum Pidana


Sebenarnya UU Pornografi itu tidak perlu lahir, begitu pula aturan-aturan lain terkait dengan tindak pidana kesusilaan di luar KUHP juga tidak perlu ada. Namun ada gejala umum di Indonesia, apabila suatu aturan tidak ditegakkan dengan baik, maka ada pembenaran bahwa diperlukan perumusan tindak pidana baru dalam UU yang baru pula

Pengaturan tindak pidana kesusilaan yang terkait dengan pornografi sebenarnya telah diatur dalam Buku II tentang Kejahatan terutama dalam pasal 281 – 283 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan di muka umum dan yang terkait dengan benda dan sebagainya yang bersifat porno. Selain itu juga diatur dalam Buku III tentang Pelanggaran dalam Pasal 532 – 535 KUHP tentang Mengungkapkan/mempertunjukkan sesuatu yang bersifat porno

Semua tindak pidana yang terkait dengan pornografi sebenarnya telah cukup diatur dalam KUHP meski juga harus diakui KUHP juga memiliki kelemahan saat berhadapan dengan isu anak atau perempuan yang menjadi objek dari sebuah kegiatan pornografi. Sehingga untuk sebagian kalangan KUHP dipandang belum cukup untuk melindungi anak-anak dan perempuan dalam industri pornografi

Saya sendiri berpandangan, kalaupun belum dianggap cukup maka menurut saya ada dua model yang dapat digunakan yaitu model pendekatan UU, yang pada umumnya membuat Undang-undang baru. Namun model ini juga memiliki resiko yaitu kemungkinan munculnya duplikasi tindak pidana juga tinggi yang selanjutnya akan berakibat bagi munculnya ketidakpastian hukum. Selain itu saya lebih tertarik dengan model pendekatan pengembangan dengan mendasarkan pada putusan pengadilan. Buat saya ini lebih menarik, karena kita tidak perlu membuat banyak UU akan tetapi menekankan pada putusan pengadilan yang akan selalu memberi bentuk pada rumusan tindak pidana. Namun bentuk ini juga memiliki kelemahan, yaitu apabila hakimnya hanya bertindak menjadi corong UU dan enggan untuk menggali ide-ide dasar atau nilai yang berkembang di masyarakat

Sayang model kedua di Indonesia ini jarang dikembangkan oleh beragam profesi hukum di Indonesia dan pada umumnya lebih senang mengikuti model pertama

Advertisement
7 comments
  1. rere said:

    Nah itu bang, sepeninggal pak Bismar, jarang ada hakim- hakim yang cukup kredibel menjadikan suatu putusannya sebagai “Juripudensi”, kalau saya sendiri secara pribadi setuju kepada model kedua….

    Thanks

    • anggara said:

      @rere
      bener bang, karena bisa membangun putusan pengadilan yang berkualitas, dan tidak perlu menambah banyak UU yang kontroversial

  2. Kalau azas yurisprudensi diterapkan secara baik dan benar, dimana putusan hakim terdahulu untuk perkara yang mirip/serupa dijadikan pedoman oleh hakim berikutnya, sebenarnya hukum yang ada sudah cukup.

  3. yg jelas…aku gak suka pornografi… bener2 gak suka… mau model pertama atau kedua,,, hmm… asal dijalanin aja…menurutku no problem…kalo dijalanin dg bener sih

  4. Sari Rachmatika said:

    Siiiipp..
    Pas banget mas..
    Lagi ada tugas kuliah 😀

    Thx info-infonya..

  5. Andi said:

    oohhh gitu ya Mas….

  6. Pingback: ninil sudarmini

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: