Mempertajam Orientasi RUU Bantuan Hukum
Pengantar
Bantuan hukum di Indonesia seingat saya sudah lama muncul, bahkan pada masa pra kemerdekaan. Bantuan hukum semasa itu masih secara eklusif dijalankan oleh para Advokat Indonesia. Yang jelas dan masih saya ingat betul, Bung Karno saat menghadapi pengadilan di Bandung diberikan bantuan hukum oleh para Advokat Indonesia. Sayang saya tidak terlampau ingat namanya.
Advokat Indonesia juga seingat saya turut serta dalam memberi bentuk negara ini, mereka terlibat aktif dalam penyusunan Konstitusi Indonesia diantaranya UUD 1945, Konstitusi RI, dan UUDS 1950.
Namun bantuan hukum dalam bentuk litigasi pada masa setelah kemerdekaan dan terlembagakan seingat saya dibentuk oleh kelompok warga Tionghoa Indonesia (sorry lupa namanya) dan kemudian dalam bentuk sporadis dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (mungkin ini sebabnya pemerintah Orde Baru alergi terhadap gerakan bantuan hukum). Setelah itu seingat saya kelompok kampus yang di motori oleh Universitas Padjadjaran yang kemudian ikut mewarnai gerakan bantuan hukum tersebut.
Gerakan bantuan hukum dalam bentuk organisasi yang modern, pertama kali di gagas oleh Bang Buyung melalui PERADIN yang menjelma menjadi apa yang sekarang dikenal dengan YLBHI. Setelah muncul beragam organisasi bantuan hukum seperti PBHI, LBH APIK, LBH Pers, LBH Masyarakat, dll
Nah sekarang teman – teman di YLBHI sedang menggagas RUU Bantuan Hukum dan Naskah Akademiknya pun telah tersedia. Tulisan ini mencoba memberikan masukan kepada teman – teman di YLBHI atas usaha kerasnya dalam memformulasi RUU Bantuan Hukum.
Ide Besar dan Perpecahan Masyarakat Profesi Hukum
Secara ide, RUU Bantuan Hukum merupakan gagasan yang menurut saya wajib dan patut didukung. Namun, saya agak kuatir, gagasan ini dalam tataran implementasi akan memecah kelompok masyarakat profesi hukum. Menurut saya RUU ini tidak boleh memecah masyarakat profesi hukum Indonesia. Nah apakah yang disebut dengan masyarakat profesi hukum, mari kita mulai.
Masyarakat Profesi Hukum pada dasarnya terdiri dari 3 sektor yaitu (1) legal education, (2) legal aid, dan (3) legal services dan kesemuanya ini pada dasarnya harus salin berjalinan. Nah yang ketiga ini, menurut saya termasuk kelompok Advokat, Hakim, dan Jaksa. Sayangnya dari ketiga sektor ini yang masih terhubung cukup dekat adalah sektor legal aid dan sub sektor legal service yaitu kalangan Advokat.
RUU Bantuan Hukum ini mempunyai potensi besar untuk menceraikan struktur masyarakat profesi hukum yang sudah tercerai berai ini serta menambah benang ruwet untuk membenahi masyarakat profesi hukum di Indonesia.
Saya, pada dasarnya menentang ide bahwa para akademisi, yang dalam bayangan saya masuk dalam sektor legal education, dibenarkan untuk memberikan bantuan hukum secara langsung. Karena para akademisi ini bisa melupakan tugas utamanya yaitu mengajar dan mendidik. Jika alasannya adalah pengabdian masyarakat, buat saya mereka tidak boleh melakukan direct legal aid, tapi bisa melakukan indirect legal aid. Dalam bayangan saya, para akademisi ini menjadi mentor pada para advokat dan/atau bagi kelompok paralegal yang tergabung dalam organisasi bantuan hukum. Nah, Advokat tentu dapat secara langsung memberikan bantuan hukum akan tetapi melalui organisasi bantuan hukum dalam bentuk memberikan sekian puluh jam waktunya dalam 1 bulan. Nah, akan muncul persoalan lain, dimana para advokat bisa memastikan dimana atau di organisasi bantuan hukum mana dia harus memberikan tenaganya. Nah kalau ini sih menurut saya merupakan tugas organisasi advokat untuk melakukan akreditasi terhadap organisasi bantuan hukum. Dari situ organisasi advokat dapat meminta para anggotanya untuk memberikan kontribusi dalam bentuk bantuan hukum di organisasi bantuan hukum yang telah terakreditasi oleh Organisasi Advokat.
Soal Paralegal
Ini juga soal rumit yang harus dipikirkan, tapi buat saya seorang paralegal haruslah memiliki berlatar pendidikan tinggi hukum, boleh jadi ia mahasiswa ataupun sudah sarjana tetapi bukan advokat. Nah, kalau saya sih simple, sepanjang ia masih di organisasi bantuan hukum, maka ia diperkenankan melakukan pendampingan akan tetapi bukan beracara di Pengadilan. Saya menolak kalau kemudian paralegal diberikan ruang di ruang sidang. Ada alasan psikologis disana, bayangkan lawan adalah Jaksa yang hebat sementara klien akan diwakili oleh seorang paralegal yang bukan advokat. Saya takut kalau kemudian akan diremehkan oleh pak Jaksa dan mungkin juga oleh pak Hakim. Selain itu, kalau dalam perkara perdata sisi psikologis juga bisa kena, karena lawan bisa jadi Advokat, sementara klien hanya diwakili oleh paralegal.
Namun, meski hanya mendampingi klien di tingkat selain pengadilan, ia tetap harus diawasi oleh seorang Advokat dan tunduk pada Kode Etik Advokat dan/ atau Kode Etik Pemberi Bantuan Hukum.
Soal PBHN
Nama resmi dalam RUU Bantuan Hukum adalah Perhimpunan Bantuan Hukum Nasional, namun saya sendiri lebih tertarik dengan nama Komisi Bantuan Hukum Indonesia (KBHI). Komisi ini tugasnya hanya mengelola program dan dana bantuan hukum serta melakukan proses ajudikasi bila si penerima bantuan hukum ditolak permohonannya oleh organisasi bantuan hukum. Selain itu mengelola program juga mengelola pelaporan keuangan serta proses administrasi lainnya. Lalu siapa yang duduk disana? Usulan saya anggotanya meliputi 5 perwakilan yaitu dari masyarakat, organisasi advokat, wakil dari MARI, wakil dari Kejaksaan Agung, dan wakil dari Universitas.
Nah demikian tulisan yang dikirimkan melalui surel ini sebagai catatan saya atas RUU Bantuan Hukum, kalau ada tambahan nanti saya buat lagi
saya pikir bang anggara terlalu berlebihan juga dalam mempersepsikan ketakutan dan kekhawatirannya.tetapi saya mengapresiasi pendapat bang anggara,dalam konteks penegakkan hukum,UU bantuan hukum bagi para pejuang hukum dan HAM memang perlu sebagai payung ketika berjibaku dalam “derasnya hujan” penegakkan hukum di negara kita yg secara sestemik telah porak-poranda.mengutip Durkheim, “kita tidak melakukan suatu perbuatan buruk bukan karena perbuatan itu buruk,tetapi karena perbuatan buruk itu bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat”..semoga.!! salam kenal aja Nasir “Capoeng”..
@nasir
saya enggak berlebihan ah, ini sumbangs saran saja koq