Analisis Terhadap Perda No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Strategi Pengembangan Ketertiban Umum


I. Pendahuluan

Beberapa hari ini, dalam bulan puasa ini, masyarakat melalui media dikejutkan dengan pemberitaan seputar pemberian sedekah kepada masyarakat miskin di jalanan yang mempunyai akibat hukum yang cukup serius. Tidak hanya penerima sedekah saja yang akan menerima akibat hukum, namun juga pemberi sedekah juga dapat terkena sanksi hukum. Menurut Kepada Dinas Sosial Jakarta, sebagaimana dikutip dari detik.com, menyatakan bahwa hal itu untuk memberi shock therapy kepada seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada gembel dan pengemis (gepeng). Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, juga menyatakan agar gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Jakarta ditindak tegas. Bagi dia, para Gepeng maupun pemberi sedekah harus dibawa ke ranah pidana. Tindakan itu segera menuai reaksi dari kalangan masyarakat.

Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta segera menuai reaksi. LBH Jakarta malah menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta benar-benar ingin menjadikan Jakarta sebagai kota yang bersih dari orang miskin, namun tidak menjawab permasalahan yang ada. Senada dengan LBH Jakarta, Komnas HAM juga menilai penangkapan pemberi sedekah melanggar hak asasi.

Kebijakan secara umum dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah untuk membentuk suatu rangkaian atau pola tindakan bertujuan yang diikuti oleh seorang atau sekelompok aktor dalam berurusan dengan suatu masalah atau suatu hal tertentu. Oleh karena itu Kebijakan publik dalam beberapa teori dapat diartikan sebagai Seperangkat keputusan yang saling berhubungan yang diambil oleh seorang atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan pemilihan tujuan dan sarana pencapaiannya dalam suatu situasi khusus dimana keputusan-keputusan itu seharusnya, secara prinsip, berada dalam kekuasaan para aktor tersebut untuk pencapaiannya. Secara teoritis penyusunan suatu kebijakan publik dimana keterlibatan proses pembuatan kebijakan publik hanya berjalan antara pemerintah dan DPRD dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas tidak akan menjamin efektivitas dari penerapan suatu kebijakan publik dan punya kecenderungan tinggi untuk melanggar rasa keadilan masyarakat.

II. Arah Kebijakan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta

Perda Tibum ini dikeluarkan pada masa dibuatnya Rencana Strategis Daerah Provinsi DKI Jakarta 2002 – 2007. Berdasarkan Renstrada tersebut maka Jakarta memiliki dua peran yaitu peran sebagai ibukota negara dan peran sebagai kota jasa. Dengan dua peran tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menjawab empat tantangan besar yaitu, tantangan sosial, tantangan ekonomi, tantangan sarana dan prasarana kota, tantangan pengelolaan tata pemerintahan. Untuk menjawab keempat tantangan ini maka dirumuskan Visi dan Misi dari DKI Jakarta. Visi dari DKI Jakarta dirumuskan dengan “Terwujudnya Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia yang manusiawi, efisien dan berdaya saing global, dihuni oleh masyarakat yang partisipatif, berakhlak, sejahtera, dan berbudaya, dalam lingkungan kehidupan yang aman dan berkelanjutan“ dan misi DKI Jakarta dirumuskan dalam 5 misi yaitu (1) Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana kota yang efisien, efektif, kompetitif dan terjangkau.; (2).Mewujudkan pembangunan yang adil, ramah lingkungan dan berbasis partisipasi masyarakat; (3) Menegakkan supremasi hukum, meningkatkan keamanan, ketentraman dan ketertiban kota; (4) Meningkatkan kualitas kehidupan dan kerukunan warga kota; dan (5) Melaksanakan pengelolaan tata pemerintahan kota yang baik.

Untuk menerjemahkan visi dan misi tersebut maka disusunlah Pokok Kebijakan Pembangunan Propinsi DKI Jakarta 2002-2007 yaitu (a) Menegakkan supremasi hukum, kepastian hukum dan budaya hukum; (b) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kualitas aparatur daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan publik yang lebih berkualitas, profesional, transparan dan akuntabel; (c) Meningkatkan pengelolaan keuangan, aset dan usaha daerah dalam rangka peningkatan kemandirian daerah; (d). Mempercepat pemulihan ekonomi daerah melalui perbaikan infrastruktur dan akses sumber daya ekonomi, dalam rangka mengurangi pengangguran dan kemiskinan; (e) Mewujudkan dan memperkuat basis ekonomi melalui penguatan jaringan produksi dan distribusi, peningkatan peranserta usaha mikro, UKM dan koperasi, penggunaan teknologi ramah lingkungan dan peningkatan daya saing produk; (f). Meningkatkan kemampuan penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka wajib belajar 9 tahun, pemerataan pendidikan dan pemerataan layanan kesehatan; (g) Meningkatkan pengendalian penduduk dan sumber daya tenaga kerja dalam rangka peningkatan kualitas penduduk, perluasan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan produktivitas masyarakat; (h) Memperkuat dan memperluas jaringan kerjasama antar lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat dalam rangka mengurangi konflik sosial dan tawuran masa; (i) Meningkatkan infrastruktur sosial dalam rangka pengendalian PMKS, penyalahgunaan narkoba dan tawuran pelajar; (j) Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui perluasan ruang terbuka hijau, pengendalian produksi, pengendalian konsumsi dan pengendalian aktivitas yang kurang ramah lingkunga; dan (k) Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana kota dalam rangka peningkatan pelayanan dan daya dukung kota

Untuk memperjelas arah dan tujuan pembangunan Propinsi DKI Jakarta dalam 5 tahun ke depan, maka digunakan 2 (dua) pendekatan implementasi yang akan dilaksanakan, yaitu melalui pendekatan partisipatif yang berarti Mewujudkan masyarakat kota yang mandiri dan sejahtera melalui proses pemberdayaan, dengan mengedepankan prinsip demokratisasi, kesetaraan dan keberpihakan pada masyarakat dan juga melalui pendekatan komprehensif, yaitu membentuk struktur ruang kota yang strategis sesuai kebutuhan dan kondisi wilayah/kawasan, secara berkeadilan, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kedua pendekatan tersebut diimplementasikan secara sinergis, terintegrasi, bertahap dan berkesinambungan.

Strategi di Bidang Hukum, Ketentraman, Ketertiban Umum dan Kesatuan Bangsa meliputi Menegakkan supremasi hukum dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan, meningkatkan kualitas individu aparat, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan peraturan, membangun mentalitas penegak hukum yang profesional, jujur dan tegas untuk mendukung tercapainya kepastian, keharmonisan kehidupan hukum di tengah-tengah masyarakat sehingga tercipta keadaan yang aman, tertib dan tenteram. Strategi pada bidang Hukum, Ketentraman, Ketertiban Umum dan Kesatuan Bangsa memiliki 4 indikator yaitu: (1) Tegaknya supremasi hukum di wilayah Propinsi DKI Jakarta; (2) Meningkatnya kesadaran masyarakat ibu kota akan aturan-aturan dalam

hukum; (3). Terwujudnya keharmonisan hidup di masyarakat, sehingga tercipta rasa aman, tertib dan tenteram, serta menguatnya rasa kebangsaan; dan (4) Meningkatnya kualitas moral dan mentalitas aparatur penegak hukum Pemda Propinsi DKI Jakarta.

III. Ruang Lingkup Perda

Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berkomitmen untuk menyelenggarakan urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta sebagai kota jasa, kota perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya nyaman, aman dan tenteram.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan DPRD Provinsi DKI Jakarta seharusnya diarahkan pada peningkatan upaya untuk dapat menjamin tercapainya ketertiban umum tanpa menggunakan pola atau melakukan perumusan yang mempunyai kecenderungan tinggi untuk overkriminalisasi. Pola kebijakan yang dirumuskan tanpa partisipasi masyarakat secara luas juga mempunyai kecenderungan untuk melanggar peraturan perundang-undangan yang berada di atas Perda seperti UU No 10 Tahun 2004.

Suatu kebijakan publik yang baik dan dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang – undangan yang baik seharusnya memuat asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik seperti (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan dan materi dari perumusan aturan tersebut harus berpijak pada asas (a) pengayoman; (b) kemanusiaan; (c) kebangsaan; (d) kekeluargaan;(e)kenusantaraan; (f) bhinneka tunggal ika; (g) keadilan; (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (i) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau (j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah penyelenggaraan Ketertiban Umum dan ketenteraman masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta berkomitmen untuk menyelenggarakan urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta sebagai kota jasa, kota perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya nyaman, aman dan tenteram.

Untuk itu Perda Tibum ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk memberikan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan tata kehidupan kota Jakarta yang lebih tenteram, tertib, nyaman, bersih dan indah, yang dibangun berdasarkan partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, maka dalam Peraturan Daerah ini mengatur substansi materi muatan sebagai berikut: (1) tertib jalan dan angkutan jalan; (2) tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; (3) tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; (4) tertib lingkungan; (5) tertib tempat usaha dan usaha tertentu; (6) tertib bangunan; (7) tertib sosial; (8) tertib kesehatan; (9) tertib tempat hiburan dan keramaian; dan (10) tertib peran serta masyarakat.

Sebagaimana ketentuan lain, maka Perda Tibum juga mempunyai sanksi pidana yang dibagi dalam dua jenis yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan. Sanksi pidana ini diatur dalam Bab XIV yang terdiri dari 4 pasal. Secara umum variasi ancaman hukuman pidana untuk jenis tindak pidana pelanggaran adalah pidana kurungan berada pada kerangka min 10 hari hingga mencapai max 180 hari sementara pidana denda min Rp. 100.000 hingga mencapai max Rp. 50.000.000.

IV. Analisa Masalah

Terdapat beberapa pihak terkait yang dapat menjadi rujukan dalam perubahan kebijakan dalam memandang persoalan di seputar ketertiban umum yaitu perumus dan pembuat kebijakan, yaitu pemerintah provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta, pelaksana kebijakan yang biasanya terdiri dari tiga pihak yaitu Dinas Sosial, Dinas Tramtib, dan Satpol PP, dan yang paling terpenting adalah objek dari kebijakan, yaitu masyarakat.

Pada tingkat perumus dan pembuat kebijakan diperlukan suatu strategi kebijakan yang dapat mempengaruhi suatu proses perumusan dan pembuatan kebijakan. Pilihan ini dapat diambil oleh masyarakat, karena jaminan terhadap partisipasi masyarakat sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 53 UU No 10 tahun 2004 yang berbunyi “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.

Para tingkat pelaksana kebijakan, perlu adanya suatu strategi pendekatan untuk tidak hanya semata – mata melakukan penegakkan hukum, akan tetapi dapat ditekankan pada konsistensi penegakkan hukum sehingga tidak muncul kesan adanya tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif

Pada tingkat objek kebijakan, perlu dirumuskan adanya strategi agar masyarakat dapat mematuhi kebijakan yang telah ditetapkan namun di saat yang sama masyarakat juga dapat tetap menjalankan mata pencaharian dan dorongan untuk dapat berbuat dan berbagi terhadap kelompok masyarakat miskin di Jakarta

Terlepas dari persoalan tersebut, Peraturan Daerah No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (lebih dikenal dengan Perda Tibum), sejak awal sudah menuai reaksi negatif dari masyarakat dan bahkan mengancam akan mengajukan pengujian perda ke Mahkamah Agung. Reaksi penolakan yang juga diikuti dengan langkah hukum dengan mengajukan pengujian perda tibum ini ke Mahkamah Agung patut menjadi perhatian.

Setidaknya ada permasalahan penting dalam pandangan penulis terkait dengan Perda Tibum ini yaitu persoalan Pedagang Kaki Lima dan persoalan pengemis. Persoalan ini penting mengingat adanya pemidanaan tidak hanya terhadap pedagang kaki lima namun juga terhadap konsumen dari pedagang kaki lima tersebut (Vide Pasal 27 jo Pasal 61 ayat (1) Perda No 8 Tahun 2007) serta adanya pemidanaan tidak hanya terhadap pengemis namun juga terhadap orang yang memberikan sedekah kepada pengemis tersebut (Vide Pasal 40 jo Pasal 61 ayat (1) Perda No 8 Tahun 2007).

V. Strategi Alternatif

Strategi yang harus diambil terkait dengan persoalan pedagang kaki lima serta pengemis seharusnya mengacu pada strategi yang dirumuskan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007 – 2012 diantaranya yaitu: optimalisasi pemanfaatan sumber daya kota yang mencakup aset Human, Social, Cultural, Intelectual and Creative, Natural, Environmental dan Infrastructure, dalam rangka memberikan kontribusi guna terwujudnya kota Jakarta yang nyaman dan sejahtera untuk semua serta berkelanjutan., Konsistensi dalam implementasi Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, penegakan hukum terhadap pelanggaran baku mutu lingkungan, mengembalikan keadaan udara bersih, laut biru dan air tanah yang tidak tercemar, dan Membangun model kebersamaan antara pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah, menjawab tantangan masa depan, dan memanfaatkan potensi dan peluang yang dimiliki kota.

Ada beberapa pilihan strategi alternatif yang dapat ditempuh dalam menjalankan kebijakan terkait dengan ketertiban umum yang pada pokoknya adalah merumuskan ulang Perda No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Hal ini diperlukan mengingat bahwa secara prinsip Perda No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum ini dapat menimbulkan kontroversi yang meluas di kalangan masyarakat dan memiliki ketidak sesuaian dengan RPJMD 2007 – 2012 yang telah dirumuskan oleh pemerintah dan DPRD DKI Jakarta

Namun ada beberapa strategi alternatif yang dapat dipertimbangkan pada tingkat pelaksanaan kebijakan yaitu terkait dengan persoalan pedagang kaki lima adalah melakukan penataan ruang perkotaan yang berbasis pada partisipasi masyarakat luas dan mempertimbangkan kebutuhan ada daya dukung lingkungan, memberikan ruang – ruang yang cukup di lingkungan kota bagi para pelaku usaha mikro dan untuk persoalan terkait dengan gelandangan dan pengemis dapat digunakan strategi yaitu pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpadu untuk mencegah arus urbanisasi dari wilayah sekitar Jakarta ke wilayah Jakarta, memperbanyak balai latihan kerja dan/atau balai wirausaha sehingga kelompok masyarakat miskin di Jakarta dapat mengembangkan keterampilan diri, dan memperluas pelayanan serta rehabilitasi sosial

Keseluruhan Strategi alternatif ini harus dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan untuk dapat mencapai hasil yang terbaik

VI. Pilihan Strategi Alternatif

Dengan melihat pada RPJMD 2007 – 2012, maka pilihan strategi alternatif untuk menjawab tingkat efektifitas Perda Tibum adalah:

VI.1. Perumusan ulang Perda No 8 Tahun 2007

Perumusan ini diperlukan untuk menjawab persoalan kriminalisasi terhadap konsumen dari pedagang kaki lima dan juga pemberi sedekah terhadap pengemis. Persoalan yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap konsumen pedagang kaki lima dan pemberi sedekah terhadap pengemis juga tidak akan berjalan efektif, karena akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat

VI.2. Penataan ruang perkotaan

Penataan ruang kota juga diperlukan untuk menjawab persoalan menjamurnya pusat – pusat perdagangan modern di setiap sudut kota Jakarta. Tanpa perencanaan matang, maka menjamurnya pusat – pusat perdagangan modern dapat membawa dampak ikutan yaitu polusi dan terganggunya daya dukung lingkungan hidup

VI.3. Pengembangan ruang perkotaan bagi pedagang mikro

Pedagang mikro atau pedagang kaki lima adalah sektor usaha informal yang dapat menampung sektor kelompok usia produktif yang menganggur. Tanpa menciptakan dan mengatur ruang yang cukup, maka keberadaan pedagang kaki lima akan dapat menciptakan ketidakteraturan kota dan juga ketidaknyamanan kota. Namun, apabila sasaran kebijakan hanya melakukan pemidanaan tanpa memberikan ruang yang cukup bagi para pedagang kaki lima juga menimbulkan uang retribusi gelap yang akhirnya pemerintah DKI Jakarta tidak dapat memanfaatkan potensi pajak daerah yang cukup besar itu

VI.4. Pengembangan sistem informasi kependudukan yang terpadu

Dengan pengembangan sistem informasi kependudukan terpadu diharapkan dapat menjadi data statistik jumlah penduduk miskin di Jakarta dan sebaran tempat tinggal kelompok masyarakat miskin ini. Dari data ini diharapkan dapat dirumuskan strategi pemecahan masalah agar kelompok masyarakat miskin ini dapat memperluas akses terhadap layanan – layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah DKI Jakarta dan juga membuka akses terhadap pekerjaan yang sesuai dengan karakteristik ekonomi di wilayah domisili kelompok masyarakat miskin tersebut.

VI.5. Pengembangan balai latihan kerja atau balai wirausaha

Pengembangan balai latihan kerja dan balai wirausaha ini diperlukan agar kelompok masyarakat miskin ini dapat ditingkatkan kemampuan dan kapasitasnya sehingga kelompok tersebut juga tidak hanya mengharapkan sedekah dan derma dari anggota masyarakat lain namun juga dapat meningkatkan taraf kehidupannya menjadi lebih baik dengan memiliki keahlian tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk mencari dan/atau menciptakan pekerjaan

VI.6. Memperluas pelayanan dan rehabilitasi sosial

Kelompok masyarakat miskin di Jakarta tidak bisa hanya diberikan pancingan namun juga diperlukan suatu pendekatan kebijakan yang mampu melindungi dan juga memberikan fasilitas dasar dan layanan dasar tertentu dari pemerintah. Pemberian fasilitas dan layanan dasar ini, tidak bisa diberikan selamanya namun dapat diberikan selama jangka waktu tertentu sampai ia mampu untuk tidak tergantung pada bantuan pemerintah

Posting Via Email

Advertisement
6 comments
  1. Mas Anggara,
    Analisis yang sangat lengkap tentang perda yang melarang pemberian sumbangan bagi pengemis. Kita lihat saja berapa lama pelaksanaannya bisa bertahan.

  2. Reinard said:

    hanya berkunjung.

  3. edward said:

    Good Job bro, analisa, pemikiran yg bagus, seimbang sungguh berguna, bermanfaat dan menginspirasi…, perfect bgt…, semoga sukses bro…

  4. elfan said:

    Gw ada Pr tapi buku gak d bawa -_-

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: