Penyadapan dan Sesat Pikir Pemberantasan Korupsi


Kemarin rekan – rekan saya di ICW, mas Eson dan mas Febri, menyelenggarakan konferensi pers tentang rencana pemerintah mengeluarkan RPP Tata Cara Intersepsi. Dalam pandangan teman2 di ICW, pengaturan penyadapan dipandang sebagai upaya untuk melemahkan KPK untuk mengejar para pelaku korupsi. Bahkan ICW juga memandang bahwa ketentuan yang mengatur bahwa penyadapan memerlukan ijin penyadapan adalah membuat proses penyadapan yang akan dilakukan oleh KPK menjadi sangat birokratis dan berlarut – larut

Saya sendiri melihat setelah disahkannya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, pemerintah memang bergegas untuk membuat RPP tentang Tata Cara Intersepsi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008. Namun sebelumnya ada pengaturan dalam Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008, pengaturan tentang penyadapan komunikasi diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dalam bentuk Permen Kominfo No 01/P/M.KOMINFO/03/2008  tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Negara.

Organisasi saya juga telah sangat mengkuatirkan kewenangan aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan tanpa ada kontrol atau otorisasi dari badan – badan kekuasaan kehakiman dan hanya menyandarkan diri pada kewenangan subyektif dari aparat penegak hukum. Rekan saya, mas Supi, juga telah menuliskan suatu opini yang sangat baik mengenai penyadapan ini

Saya selalu berpendapat seluruh penyadapan pada dasarnya adalah dilarang karena melanggar hak privasi dari setiap orang oleh karena itu dalam konteks penegakkan hukum harus sangat dibatasi terjadinya kemungkinan digunakannya penyadapan secara sewenang – wenang. Oleh karena itu saya selalu berpendapat bahwa penyadapan, dilakukan oleh aparat penegak hukum – termasuk KPK – tetap harus memerlukan ijin dari Pengadilan. Kalaupun mekanisme ini dipandang akan merumitkan maka perlu ada mekanisme untuk melawan tindakan penyadapan, misalnya menggunakan upaya pra peradilan (yang sayangnya tidak diatur dalam ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia).

Saya sendiri menentang apabila KPK dibiarkan boleh menyadap hanya mendasarkan diri pada SOP dari KPK tanpa ada kontrol sama sekali dari badan – badan kekuasaan kehakiman. Ingatlah pada adagium power tends to corrupt dan absolute power corrupt absolutely. Bahwa ada persoalan korupsi yang terjadi dalam badan – badan kekuasaan kehakiman tidak boleh menjadi alasan jika Pengadilan hendak dikeluarkan dari prosedur penyadapan ini.

Tapi yang jelas, bahwa pengaturan penyadapan dalam bentuk PP tidak didasari pada faktor terjadinya kasus Cicak Vs. Buaya, namun karena memang diperintahkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU 11/2008. Dan untuk itu pemerintah memang sudah menyiapkannya sejak UU 11/2008 telah disahkan.

Secara umum saya dan organisasi saya menentang ide pengaturan penyadapan diatur dalam peraturan dibawah UU, sebaiknya diatur dalam KUHAP atau diatur dalam UU Penyadapan. Dalam hal ini saya akan menentang posisi ICW , yang menyatakan bahwa penyadapan oleh KPK dapat diatur dalam SOP KPK, meski akan menjadi sangat tidak populer. Well I will take the position.

Advertisement
17 comments
  1. gra said:

    Hehehe. Sesat berpikir, iya juga. Tapi menurut saya mas Anggara sama om-om dari ICW mendebatkan dua hal yang berbeda. Perihal bahwa penyadapan harus diatur secara jelas dalam sebuah undang-undang adalah suatu hal yang pasti, karena memang itu perampasan terhadap privasi. Harus ada aturan yang jelas bagaimana memperlakukan hasil penyadapannya – termasuk pemusnahan hasil penyadapan yang tidak terkait dengan kasus yang sedang diselidiki.

    Tapi itu bukan berarti juga harus menghambat upaya penyelidikan. Harusnya juga ada mekanisme untuk meng-override (kasuistis) izin pengadilan untuk melakukan penyadapan apalagi kalau diduga kuat ada conflict of interest antara pihak yang akan disadap dengan pengadilan yang sedang kotor-kotornya. Nah, disitulah pentingnya SOP KPK, menentukan apakah override tersebut dapat dilakukan atau tidak, dan pelaporan segera kepada pengadilan setelah terjadinya penyadapan.

    Jadi sebenarnya tidak perlu saling bertentangan, justru saling melengkapi saja.

  2. Febri Diansyah said:

    Mas Anggara yang baik… Pertama, tulisan ini kukira sangat penting dan menarik. Khususnya kesepahaman kita bahwa semua kekuasaan pasti punya potensi korup. dan kekuasaan absolut, pasti korup. Tapi sayangnya, terkesan mas Anggara tidak membaca lengkap rilis tersebut… mungkin biar “beda pendapat” dulu kali ya… hehehe2

    disana, sebenarnya dicantumkan kemungkinan pengaturan penyadapan di setingkat UU. Tidak harus KUHAP. karena menunggu KUHAP sama saja menunggu godot yang datang –mungkin– sekali se dasawarsa, itupun kalau mau singgah… Pembahasan KUHAP memang masuk dalam prolegnas kita, tetapi agaknya kita perlu belajar lebih jauh, bahwa sulit sekali melakukan perubahan terhadap KUHP dan KUHAP tersebut.

    So, secara normatif agaknya –kalaupun dibutuhkan pengaturan penyadapan– maka ia haruslah setingkat UU. Bukankah dua putusan MK (tahun 2003 dan 2006) bilang begitu?

    Kita bisa diskusi panjang tentang regulasi penyadapan ini. Bukan hanya penempatan aturan yang harus setingkat UU atau bolehkah setingkat PP, tetapi juga soal substansi. Misal: apakah harus ada izin pengadilan ditengah mafia peradilan yang meruyak? Atau, pantaskah ada lembaga seperti Dewan Intersepsi Nasional (yang kalau tidak hati-hati bisa menjadi Dewan Kontrasepsi Nasional) yang bahkan bisa mengetahui siapa yang disadap, siapa yang terkait kasus. Dan, juga termasuk salah satu pasal RPP yang bilang, Jaksa Agung bisa menghentikan proses penyadapan demi kepentingan hukum. Kepentingan hukum? barang subjektif dan aneh terdengar jika itu datang dari sebuah institusi yang rajin menerima tamu seperti Anggodo dan Artalyta Suryani, hehehehe2

    Namun, yang jauh lebih penting daripada sekedar tekhnis hukum yang mas Anggara jelaskan diatas adalah, apa yang secara riil kita hadapi sekarang. Bahwa, pemberantasan korupsi, KPK dan masyarakat sipil yang berdiri di sisi ini sedang diserang habis-habisan. Menggunakan jalur politik, tekanan hukum dan logika “sesat” kekuasaan negara..

    Suara mas Anggara yang bilang: RPP ini tidak ada hubungannya dengan kisruh CICAK vs BUAYA, agaknya mirip dengan apa yang saya dengar langsung dari Menkominfo, Tifatul Sembiring… Sudah koordinasi? Saya yakin tidak begitu :)) Tapi, agaknya kita perlu lebih cermat membaca kosmos mafia politik dan mafia bisnis yang saat ini sangat resisten dengan pemberantasan korupsi. Mereka marah, karena praktek korup yang selama ini dengan mudah bisa dilakukan, sekarang terhambat dengan adanya KPK, termasuk di dalamnya dengan adanya penyadapan. Riset dan logika tentang ini bukanlah hal baru, karena dalam banyak sharing dengan civil society lintas negara di konferensi UNCAC, upaya delegitimasi dan pembusukan institusi pemberantasan korupsi merupakan trend yang nyaris sama di berbagai negara.

    Saya tidak ingin bilang, RPP yang diinisiasi oleh Depkominfo tersebut adalah titipan Mafia Politik dan Mafia Bisnis yang anti pemberantasan korupsi. Akan tetapi, konstruksi hukum materi RPP tersebut kami nilai dapat memberi ruang yang cukup besar untuk “kemungkinan korup” tersebut. Kewenangan dan informasi yang bisa dikuasai mereka sangat besar membuat potensi korup lembaga yang dibentuk tersebut juga besar. Bukankah mas sendiri yang tulis “power tends to corrupt?”. Mengutip Lord Acton tentu saja :))

    itu dulu ya, ntar malah jadi “OPINI” 6.000 karakter hehehehe2
    saran saya, baca rilis tersebut lebih lengkap dan RPP Penyadapan tersebut. Sudah punya, kan?

    banyak maaf dan terimakasih.

    Salam hormat,
    Febri Diansyah
    Peneliti Hukum, ICW

  3. Bobby R. Manalu said:

    Saya terhipnotis oleh Pak Febri untuk berkunjung ke blog bagus ini, Mas Anggara:-).

    Hehe, lagi soal penyadapan ya, seru ga habis-habisnya jadi bahan diskusi. Dari tulisan pendek Mas Anggara itu, saya sepakat bahwa memang penyadapan harus diberikan pengaturan lebih lanjut, tidak hanya oleh pengaturan internal KPK. Kata lebih lanjut inilah yang menjadi titik sentral perdebatan sekarang, pasca ide Tifatul, yang menerjemahkannya dalam pengaturan sekelas RPP.

    Tetapi sebelum masuk lebih jauh soal bungkus apa yang tepat dalam mengatur RPP, maka ada baiknya dulu kalau kita melihat penyadapan dan hasil penyadapan dalam konteks sistem peradilan pidana, sebagai basis untuk menerawang secara lebih rasional, dimanakah hukum formil penyadapan akan kita tempatkan.

    Perihal penyadapan yang dilakukan oleh KPK , menurut saya adalah dalam rangka menemukan bukti untuk membuat terang suatu peristiwa pidana atau yang dalam hukum pembuktian dikenal dengan istilah bewijsvoering – yang secara harafiah berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Di negara-negara yang menganut due process model, bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalistis di mana seorang tersangka acapkali dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan jika alat bukti diperolah secara tidak sah (unlawful gathering evidence).

    Di titik ini sangat penting mengenai dilakukannya penilaian tentang keabsahan alat bukti merupakan kewenangan pengadilan yang memeriksa perkara. Dan dalam hukum acara pidana kita, soal unlawful gathering evidence belumlah mendapatkan pengaturan yang jelas, padahal pengaturan mengenai hal ini sama signifikansinya dengan perdebatan soal pengaturan penyadapan itu sendiri. Kenapa? Sederhana saja, katakanlah ada RPP ini kemudian berhasil diterbitkan. Lalu ekstrimnya KPK melakukan penyadapan, dimana hasil penyadapan tersebut berupa rekaman kemudian diperdengarkan dan menjadi bukti KPK di sidang TIPIKOR, lalu apakah dengan demikian rekaman tidak bisa sah atau tidak bisa dijadikan alat bukti? Logika lurusnya, Ngapain sibuk ngatur soal tata cara menyadap yang benar untuk menghindari katanya pelanggaran HAM, kalau kemudian apabila dilanggar tetap bisa dipakai jadi alat bukti?Dimana relevansinya tujuan pengaturan kalau begitu.

    Kemudian terlepas dari dua persoalan itu, kita sama-sama mahfum bahwa korupsi sebagai bagian dari Kejahatan Kerah Putih memerlukan cara-cara yang tidak lazim untuk membuktikannya. Katanya kita negara korup (setidaknya versi TII), tetapi koruptornya hanya segelintir. Dimana persoalannya? Orang hukum pasti akan selalu bicara soal bagaimana membuktikannya. Penyadapan memainkan peranan penting di dalamnya. Dan untuk kondisi yang seperti sekarang, saya sebenarnya ya kok merasa pengaturan penyadapan belum terlalu dibutuhkan. Saya berangkat dari logika awam saja, mengapa usaha-usaha untuk membongkar suatu kejahatan sulit kok ya ikutan dipersulit sedemikian rupa, diperdebatkan dengan sekuat tenaga. Sepintas di permukaan terlihat kita sedang berjuang utk “penegakan hukum”, “hukum untuk semua”, tetapi kalau kita lihat secara lebih sosiologis, sebenarnya secara tidak langsung, posisi netral tersebut, merupakan suatu keberpihakan terhadap kepentingan “pelaku kejahatan”. Secara sosiologis juga, tindakan Penyadapan berbeda dengan tindakan pemaksaan lain yang diatur dalam KUHAP. Penyadapan sebenarnya secara langsung hanyalah mengurangi “ruang privat” (walaupun memang dilindungi), sedangkan tindakan pemaksaan lain dalam KUHAP secara langsung sifatnya adalah “mencederai”. Kalau boleh saya mengatakan, penyadapan lebih soft dalam urusan melanggar hak seseorang. Bukan berarti saya memperbolehkan pelanggaran, wong KPK sendiri juga udah punya protapnya.

    Tapi ya sudah, karena urusan sosiologis tidak mendapat hati di mata para yuris kebanyakan, saya masuk ranah pasal-pasal saja. Hehehe. Back to topic.

    Penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup.Hal ini juga sudah ditegaskan oleh MK dalam dua putusannya (2003 & 2006). J

    adi sudah sangat jelas, guidance-nya bagi kita. Belum lagi jika kita melihat bahwa wewenang penyadapan KPK berasal dari UU, masa hukum formil yg mengatur soal penyadapan berada di level UU? Kita pinjam contoh dari KUHAP. Pengaturan penyitaan saja prosedurnya diatur oleh KUHAP juga. Masa tindakan penyadapan diatur dalam level RPP. Bandingkan juga dengan UU Narkotika dan Terorisme, semuanya di level UU.

    Begitulah pendapat saya dalam topik kali ini. Kalau ada logika yang keliru, mohon dimaklumi, saya bukan pakar, dan juga masih pemula dalam taraf belajar mengemukakan pendapat:-)

    Salam,
    Bobby R. Manalu

  4. Febri Diansyah said:

    wkakakakakakaka…
    pak Boby memang mantap…

    ini baru artikel. Kadang meskipun pendapat berbeda, tapi jika argumentasinya baik dan logis, dan tidak sektoral-emosional (seperti salah seorang menteri itu), justru jadi lebih menarik…

    pak anggara dan icw harus belajar nih dari pak boby 🙂

  5. Bobby R. Manalu said:

    Pak Feb:

    Kalau kata pojok kompas, yang perlu diatur itu ” menyadap karet”. Hehehe:-)
    Tapi sesuai dengan falsafah demokrasi (halah, apa pula lagi ini), kalaupun tidak ada titik temu soal penyadapan ini, marilah kita sepakat untuk tidak sepakat dengan cara-cara terhormat. (Hormat Grakkk:-))

    Oh ya, ada kesalahan dalam tanggapanku di atas, jd perlu diRalat :

    “…, masa hukum formil yg mengatur soal penyadapan berada di level UU?”

    Seharusnya: “…berada di level PP?”

    Ps. Pak Feb dan Mas Anggara, saya pingin loh jadi cerdas dan kritis seperti kalian, caranya piye ya…

    Salam,
    Bobby R. Manalu

  6. gra said:

    wah. makin seru diskusinya, mari kita lanjutkan ke jenjang yang lebih teknis.

    pertama, kita semua setuju bahwa itu harus diatur dalam UU. tidak ada tawar menawar soal itu. kecuali soal itu. apapun kontennya, selama itu diatur dalam pp kita semua sepakat untuk menolak. jadi sebaiknya kita sudahi diskusi memutar soal apakah pp atau uu.

    kedua, saya mengutip pendapat om bob bahwa “kalau kita lihat secara lebih sosiologis, sebenarnya secara tidak langsung, posisi netral tersebut, merupakan suatu keberpihakan terhadap kepentingan ‘pelaku kejahatan'”. sementara febri dengan bahasa yang lebih spesifik bahwa itu modus normal dalam upaya pembusukan jalur anti korupsi.

    disinilah sebenarnya perlu dibahas.. apakah melibatkan institusi ketiga yaitu pengadilan dalam prosedur akan menghambat penegakan anti korupsi (atau dalam bahasa lain: bertendensi melemahkan KPK)?

    om Bob menyatakan bahwa itu sudah ada protapnya dalam KPK, begitu juga sebagaimana diungkapkan oleh beberapa pimpinan KPK dan pak Amien Sunaryadi. Walaupun sampai saat ini saya sendiri belum pernah melihat protapnya seperti apa. dengan jaminan protap internal yang tidak diketahui publik, mungkinkah cukup? padahal tadi seperti yang telah dibahas sebelumnya kita semua menolak kalau pengaturan penyadapan hanya diatur dalam pp. lalu bagaimana mungkin protap lembaga cukup untuk menjamin hak asasi kalau kita saja tidak setuju dengan pp?

    tapi penyadapan kan sudah diatur dengan ketat, yaitu bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi dua alat bukti permulaan – artinya telah masuk ke tahap penyelidikan. padahal kita tahu jelas bahwa KPK tidak dapat menghentikan penyelidikan. artinya ketika dia melakukan penyadapan, pada dasarnya KPK sudah siap dengan alat bukti yang bisa membawa koruptor ke pengadilan. terus kenapa harus penyadapan? karena KPK pada dasarnya ingin menangkap koruptor2 tersebut red handed, alias tertangkap basah, jadi tidak lagi berkutat pada persoalan apakah ada abuse of power itu memang merugikan negara atau tidak – yang seringkali menyebabkan koruptor lolos pada tahap pengadilan.

    tapi itu semua adalah kondisi ideal. artinya adalah ketika KPK diisi oleh orang-orang yang bersih amanah dan menyenangkan. apakah tidak mungkin KPK disusupi? terus dimanfaatkan? sangat mungkin sekali. apa yang terjadi kalau kpk disusupi oleh koruptor yang kemudian menggunakan kewenangan penyadapan itu sesuka hati?

    berikutnya. kembali ke pertanyaannya, apakah akan menghambat? oh itu pasti menghambat. bagaimana kalau koruptornya keburu kabur? bagaimana kalau pengadilannya bocor? bagaimana kalau ditambah lagi dengan dewan kontrasepsi nasional?

    oleh karena itu yang perlu kita perjuangankan adalah adanya override clause yang memungkinkan dilakukannya penyadapan tanpa izin dari pengadilan – dengan syarat-syarat yang lebih ketat dari penyadapan biasa. sebagaimana override clause untuk penggeledahan yang diatur dalam Pasal 34 KUHAP. dan satu lagi termasuk juga campur tangan pemerintah, seperti dewan kontrasepsi itu. jangan biarkan tangah pemerintah masuk dalam ranah hukum.

  7. soal apakah RPP ini terkait atau tidak dengan cicak vs buaya: saya sepakat dengan bung anggara, tidak ada hubungannya. RPP ini sudah dirancang jauh sebelum muncul isu cicak vs buaya ini. saya tahu karena saya sendiri sudah pernah dapat draft awal sudah cukup lama, yang isinya sangat teknis bahkan kalau melihat ketentuan umumnya pada saat itu RPP tsb dulu lebih pas disebut sebagai glossary IT dibanding RPP. saat itu saya sudah katakan kepada beberapa orang yg kebetulan ada di kominfo, depkum, KPK, dan kejaksaan, bahwa masalah penyadapan harus masuk dalam UU bukan PP (ya, KPK terlibat dalam pembahasan RPP ini di tingkat pembahasan Antar-Dept)

    Mengapa kominfo menyusun RPP ini? Karena pasal 31 jo. pasal 54 UU ITE. berdasarkan pasal 54 ayat 2 UU ITE maka PP yang diamanatkan oleh pasal 31 ayat (4) harus telah ada sebelum 21 april 2010. Sekarang sudah bulan desember, berarti tinggal 4 bulan lagi. Apakah kominfo saat ini salah karena menyusun RPP ini? menurut saya mereka dalam posisi terjepit, jika hingga 21 april 2010 belum ada PP amanat pasal 31 (4) pemerintah berarti telah melakukan pelanggaran UU. Jika mereka menerbitkan PP yang materinya seharusnya merupakan materi UU, mereka salah juga karena melanggar UU 10/2004. Lalu siapa yang salah? saya lebih suka menjawab pertanyaan apa yang salah…UU ITE itu sendiri.

    itu soal apakah UU atau PP. kemudian soal apakah penyadapan memang perlu diatur atau tidak, masalah klasik. bottom line dari polemik soal penyadapan adalah adanya 2 perspektif yang berbeda dalam melihat bagaimana korupsi dapat diminimalisir, yaitu antara penguatan hak-hak sipil warga negara atau penguatan kewenangan negara. Dalam perspektif yang pertama, korupsi dapat dikurangi jika hak-hak warga negara diperkuat. Penguatan hak-hak warga negara berimplikasi pada diperketatnya kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh negara. Dalam perspektif yang kedua, korupsi dapat dikurangi jika kewenangan-kewenangan negara diperkuat bahkan diperbesar. Diperkuatnya kewenangan negara berimplikasi pada berkurangnya hak-hak warga negara. dari dua perspektif itu saya memilih yang pertama, dan berusaha untuk selalu konsisten dengan pilihan tersebut.

    Lalu bagaimana dengan KPK? bagi saya, KPK sebaik apa pun orang-orang di dalamnya, tetaplah bagian dari institusi negara, institusi yang memiliki kewenangan (kekuasaan). memberikan kewenangan tak terbatas pada KPK (atau membiarkan kewenangan tersebut tak terbatas) berarti mengurangi hak-hak saya sebagai warga negara.

  8. gra said:

    @arsil
    manggut2.. hehehe mangstab emang prof ini 😀 selalu saja ada ilmu baru.

  9. febri diansyah said:

    plok plok plok…. komentar demi komentar ternyata jauh lebih cerdas dari tulisan pak Anggara…
    dan bahkan lebih mantap dari “bayi” artikel yang sedang kususun…
    terimakasih masukannya…

    Jika tak berlebihan, aku ingin mengklasifikasikan komentar2 ini menjadi dua kelompok:

    (1) Kesepahaman pandangan:
    a. Perihal penyadapan perlu diatur.
    b. Pengaturan penyadapan tidak boleh memangkas upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK (ada yang beda?)
    c. Pengaturan tsb untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang dan bertujuan melindungi hak asasi warga negara (bukan hak asasi koruptor lho 🙂 )
    d. Level yang paling tepat adalah: UU (bukan PP)

    (2) Masih perlu didiskusikan:
    a. Pihak ketiga yang punya otoritas mengawasi pelaksanaan penyadapan (termasuk debat soal izin, penetapan atau pemberitahuan)?
    b. Bagaimana pengaturan pengawasan dan check and balances dalam isu ini?
    c. Bagaimana dengan kondisi Peradilan dengan mafia yang menusuk jantung penegak hukum kita?
    d. Mungkinkah menyusun UU ditengah DPR dan Pemerintah yang punya semangat mengkerdilkan KPK?

    (3) Benar-benar berbeda sikap dan keberpihakan

    ICW: meskipun RPP disusun sejak Mei 2008, kan tetapi dorongan RPP menjadi sangat kuat pasca skandal rekayasa hukum dan makelar kasus terbongkar di MK. (FYI: sebelumnya RPP ini bahkan tidak diperkirakan akan muncul, tetapi tiba-tiba diangkat lagi pasca Rapat Kerja Depkominfo dengan Komisi I DPR-RI)

    Depkominfo, Anggara dan Arsil: RPP tidak ada hubungan sama sekali dengan Cicak vs Buaya


    itu dulu yeee…
    ayo diskusi lagi…. kalau bisa yang lebih realistis (dengan bacaan yang utuh tentang kemungkinan penyimpangan di Kepolisian, Kejaksaan, KPK atau bahkan BIN) dan tidak terkukung lingkaran sempit formil hukum.

    ayo pak Anggara, nulis yang lengkap donk…
    belum ada argumentasi hukum, sosiologis pemberantasan korupsi yang meyakinkan di artikel mu diatas….
    hehehe2
    (diprovokasi biar lebih semngat…..)

  10. @ febri: tulisan bung anggara bukannya tidak lebih cerdas dari diskusi kita ini, tapi tulisan bung anggara memprovok kita untuk diskusi secara cerdas.
    @ gra: dewan kontrasepsi nasional? wakakakakak

  11. Rudolf Oktavianus said:

    Wow keren.. banyak pencerahan.. sukses selalu N tetap brrrsemangat !… (Tidak peduli apa itu kucing hitam atau kucing putih, asalkan bisa menangkap tikus, adalah kucing yang baik – Deng Xiao Ping)

  12. febri diansyah said:

    @Arsil: hahahaha2 tapi, jujur, tulisan pak Arsil tampak lebih cerdas.

    tapi… satuhal penting… judul yang digunakan bung Anggara ini sangat membuat kami sedih di ICW… meskipun ia bisa saja ngeles, bahwa yg dimaksud sesat pikir bukan ICW…
    padahal, isi dari tulisan tidak signifikan menjelaskan tautan judul tsb..

    ayo ayo, diskusi lagi 🙂
    btw ada intermezo sedikit di URL dibawah ini:

    http://antikorupsi.org/indo/content/view/15983/1/

  13. rudi said:

    ..meski pendapat pribadi ms angga tdk populis diantara kawan2 lsm, tapi menurut saya pribadi (yg awam tentang hukum ) pemikiran mas angga tentang intersepsi jelas konsisten berada di jalur koridor hukum yg sesungguhnya…di belahan dunia manapun khususnya yg telah maju sistem hukumnya pun penyadapan harus dan diperlukan izin dari pengadilan..sekali lg bukan untuk menghambat dan mengkebiri peranan KPK untuk memberantas tindak pidana korupsi, akan tetapi hal tersebut untuk melindungi & menjustifikasi tindakan pro justisia KPK dalam hal intersepsi yang dapat dipermasalahkan secara yuridis oleh orang/kelompok yg tidak senang dengan pemberantasan korupsi di Indonesia…..UNPAD harus bangga punya sosok alumni seperti mas Angga :)….

  14. Zainal said:

    Adu cerdas neh?…. ada adu ganteng gak? .. 🙂

    Saya tidak cukup punya kapasitas untuk adu cerdas, tapi kalau adu ganteng mungkin akan ikut, supaya pandangan saya dibawah ini tidak dikomentari kalah cerdas atau kurang cerdas, tapi lebih enak kalau dikomentadi kurang ganteng, atau kalah ganteng yang pasti akan saya lawan … hehehe.

    ini ngomongin soal penyadapan ya?, kenapa harus diatur dan bagaimana harus diatur? kepentingan apa yang perlu dilindungi?, dan pilihan apa yang akan diambil?. keempat pertanyaan tersebut mungkin bisa menjadi pintu masuk kita melihat persoalan penyadapan ini dengan lebih cakep (atau ganteng), tapi bukan secara cerdas, ….

    eits, saya tidak akan ngomong soal teknis hukum penyadapan, karena kalau ngomong soal itu nanti masuk dalam adu cerdas, padahal saya inginnya adu ganteng …

    saya hanya mau melihat fenomena, bagaimana kegentingan dan kepentingan dinyatakan dan kenapa suatu pilihan diambil, let see dalan perkara dengan kejahatan yang dikenal sebagai extraordinary crimes … korupsi mungkin bisa dianggap sebagai extraordinary crime berjajar bersama dengan crimes of genocide, crimes againts humanity, dan war crimes..

    dalam kasus-kasus pengadilan crimes against humanity, dulu pilihan yang diambil adalah suatu pengadilan dari pada menembak mati para penjahat perang (ada perdebatan antara churchil dan roseevelt, meskipun para penjahat kemanusiaan itu telah terbukti salah, dengan bukti yang prima facie, mereka harus tetap diadili dan dibuktikan kesalahannya), tetapi tetap aja pengadilan ini berlandaskan dari pemenang perang, maka dikenal sebagai victor’s justice, hukum dibuat termasuk hukum acaranya untuk mengadili para penjahat perang. perdebatan soal prinsip hukum mengemuka, asas legalitas dianggap bisa diterobos, demi keadilan, “tidak ada kejahatan tanpa hukuman”, salah satu argumennya kala itu, untuk melawan argumen seseorang tidak dapat dipidana atas hukum yang berlaku surut, … pengadilan ini juga dilakukan untuk penjahat perang dari jepang, dengan Tokyo Tribunal … tetap dicurigai sebagai victor’s justice!

    kedua, dalam abad modern atas kejahatan kejahatan kemanusiaan di bekas yugoslavia dan rwanda, dibentuklah international criminal tribunal for former yugoslavia dan international criminal tribunal for rwanda. pengadilan hanya untuk dua negara ini, bagaimana dengan china, dan israel, atau negara2 lain yang diduga melakukan kejahatan kemanusiaan?, dalam konteks ini kemudian dianggap adanya selective justice, pengadilan hanya mampu menjangkau negara yang lemah, dan tidak mampu manjangkau negara kuat, …

    dari pengalaman international criminal tribunal tersebut, meski dianggap berhasil membuka babak baru sejarah penegakan hukum dan ham, tetap penting untuk mengatur secara benar yang tidak bertentangan dengan prinsip2 hukum dan Ham, termasuk dalam hukum acaranya, supaya tidak terkesan hanya sebagai victor’s justice dan selective justice. dunia internasional kemudian bersepakat untuk membentuk international criminal court, sebagai pengadilan permanen, dengan delik dan hukum acara yang lebih adil, baik bagi korban dan pelaku!.

    Dunia sadar, keseimbangan perlakukan dalam hukum penting untuk penegakan hukum, oleh karenanya, apapun terobosan dan aturan hukum yang ditetapkan, tidak boleh sekali-kali melanggar hak-hak fundamental para tertuduh (misalnya tersangka, terdakwa dan terpidana), jadi aturan hukum meski diatur untuk menerobos kesulitan pembuktian tetap menghargai hak-hak fundamenal tertuduh (the accused). disini, jelas terlihat, instrumen ham dimaksudkan untuk melindungi semua pihak, bukan semata-mata korban, tetapi pelaku dimana hak-hak mereka harus dijamin, misalnya untuk melakukan pembelaan yang fair dan bebas dari tindakan yang tidak adil.

    dalam konteks pilihan hukum dan aturan misalnya, pengalaman international criminal tribunal diatas penting untuk dilihat. pertama, tujuan awalnya adalah menghukum pelaku yang tidak tersentuh (jenderal, pemimpin negara), dan kedua adalah kesulitan pembuktian untuk menjerat mereka, karena biasanya pelaku ada ditingkat lapangan. awalnya adalah penerobosan hukum dan pelanggaran hak-hak tersanka. Akhirnya, praktek tersebut disadari kurang fair dan perlu membentuk instrumen pengadilan internasional yang lebih adil kepada kedua belah pihak, apapun terobosan hukumnya, tidak boleh melanggar hak-hak fundamenal para tertuduh.

    kembali ke konteks yang diperdebatkan, kondisi pengadilan yang carut marut dan usulan penyadapan dengan ijin pengadilan. hal ini dianggap menghawatirkan, yang berarti bukan prinsip hukumnya yang dipedebatkan tetapi implikasi kalau suatu aturan ditetapkan, dalam konteks analisa kondisi peradilan dan instutusi yang penuh mafia. disisi lain, ada pandangan bahwa prinsip pengaturan yang baik, yang sesuai dengan HAM dan negara hukum, perlu diperjuangkan!. lalu dimana kita berposisi, karena ada analisa dan resiko tertentu jika salah memilih.

    dalam konteks ini, saya memilih bahwa aturan hukum yang baik, sesuai dengan HAM dan Rule of Law, perlu diperjuangkan, meski ada resiko yang akan ditanggung, … kalau analisanya adalah buruknya instutusi pengadilan, maka yang diperbaiki adalah institusinya, bukan mencoba membuat aturan yang akan melanggar hak-hak fundamental warga negara, (catatan : koruptor, sebagai orang yang tertuduh, berhak mendapatkan peradilan yang fair).

    saya ingat kasus terakhir yang dialami bibit dan chandra, soal nonaktif jika sebagai tersangka dan diberhentikan tetap jika sebagai terdakwa, dan ini telah dialami oleh Antasari Azhar. sepengatuhan saya, mungkin salah, aturan itu tidak ada yang protes dan dianggap bagus, bahkan untuk menegakkan kewibawaan KPK, tidak boleh ada cacat dari pimpinan KPK. siapa sangka, regulasi itu malah dimanfaatkan untuk merekayasa dan menjerat pimpinan KPK dengan tujuan untuk diberhentikan. setelah diuji, yang juga pangacara menggunakan argumen hak asasi manusia, MK mengabulkan, sehingga gugur itu aturan …. jadi apa yang saya percayai saat ini, hipotesis apapun, kekhawatiran apapun, jangan juga mengalahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan negara hukum (ingat : hak asasi manusia dan negara hukum telah diperjuangkan sejak lama, dan menjadi capaian yang diharapkan umat manusia).

    demikian pandangan saya, bukan untuk beradu cerdas, tepi beradu ganteng. saya siap ikut diskusi kalau sudah jelas landasan yang akan dipakai untuk menganalisis permasalahannya!.

    salam,

    Zainal

  15. wow, bung zainal jadi kelihatan lebih ganteng nih. hehehe….
    Negara ini rusak bukan karena banyaknya koruptornya, namun karena tidak punya prinsip.

  16. luar biasa, dari tulisan pemantik hingga diskusi yang berkembang menambah wawasan saya, sekaligus semakin meyakinkan bahwa saya masih perlu banyak belajar. Maaf tidak sopan menyapa, perkenalkan nama saya Umar Badarsyah baru saja lulus dari FHUI 2009 meskipun terdaftar sebagai mahasiswa angkatan 2003(mengoptimalkan jatah 12 semester heheh). Saat ini sedang berupaya mengembangkan diri dan memulai dengan beberapa tulisan. Jika kiranya para Senpai berkenan membantu dengan memberi kritikan, masukan sebagai upaya perkembangan diri dan lingkungan dimanapun saya bekerja nantinya sila kunjungi blog wordpress saya, saya newbie di wordpress dan rada gaptek masih meraba-raba bagaimana menatanya. Sekali lagi mohon petunjuknya. thanks 🙂

    Salam kenal buat Mas Anggara, Mas Zaenal, Pak Roby, dan Bang Febri (kita pernah bertemu di MK waktu mendengarkan penyadapan Anggodo, duduk bersebelahan, meski dulu saya nga tau yang namanya Febri itu abang 😀 )

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: