Menista Agama


Baru – baru ini di Mahkamah Konstitusi dihebohkan dengan banyaknya demonstrasi yang terjadi di setiap minggu. Apa pasal? Sekelompok orang di Indonesia, yang berani nyalinya tengah menguji ketentuan UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi.

Kadang – kadang saya berpikir, kenapa yang demonstrasi itu pada umumnya didominasi oleh kelompok Islam? Apa karena kelompok tersebut paling mudah untuk merasa ternoda? Sehingga mereka merasa perlu akan keberadaan UU itu?

Sejatinya dari sisi konstruksi hukum UU itu terasa aneh, karena tidak jelas kepentingan apa yang hendak dilindungi. Kalimat penodaan hanya bisa digunakan sejauh untuk kehormatan dan/atau reputasi atau biasanya di masyarakat umum digunakan untuk ”keperawanan” misalnya istilah menodai dlsb hehehehe.

Nah kembali ke pokok soal, mengenai penodaan terhadap kehormatan atau reputasi, sejauh yang saya tahu, kalau mendasarkan pada Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, maka kehormatan hanya milik orang. Dan konstruksi orang dalam ilmu hukum hanya terbatas adalah manusia baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Hal yang berbeda jika menyangkut subyek hukum (rechtpersoon) karena ada orang dan badan. Tapi konstruksi Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 begitu jelas yaitu Orang. Begitu juga dalam konstruksi hukum Internasional, kehormatan hanya milik orang dan paling kalau mau ditarik ya badan hukum.

Dalam UU No 1/PNPS/1965, entah kenapa kehormatan atau reputasi ini menjadi dilekatkan pada Agama. Dari titik ini saya menanggapnya keliru. Kalau mau sebenarnya ditarik ke arah perlindungan terhadap ketertiban umum, tapi inipun ketentuannya sudah ada yaitu Pasal 156 dan Pasal 157 WvS (baca KUHP).

Secara pribadi saya menganggap tanpa adanya UU No 1/PNPS/1965 inipun kepentingan sekelompok umat beragama tetap terlindungi dengan Pasal 156 dan Pasal 157 WvS, sehingga ketiadaan UU ini tidak akan pernah membuat jadi kacau. Sebelum ada UU ini-pun, yang disahkan pada 1965, juga tidak pernah ada kekacauan koq, kenapa setelah jadi lebih modern justru ada kekacauan?

Terus terang saya penasaran, apakah Mahkamah Konstitusi, kalau mereka menolak permohonan, berani mengadakan penafsiran yang meluas tentang definisi kehormatan dan orang? Kalau berani saya mau tahu argumen yuridisnya. Mudah – mudahan tidak ada logika melompat dari Putusan tersebut.

Namun yang pasti adalah jika kalau Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut, maka yang terjadi adalah inflasi masuknya politik hukum agama dalam sistem hukum Indonesia akan semakin terbuka lebar.

Advertisement
18 comments
  1. Yari NK said:

    Ooo… gitu ya?? Yang demo-demo pasti nggak tahu yg kayak ginian lah…. Mereka tahunya yang penting mereka punya ‘payung hukum’ sebanyak2nya agar tidak terkena ‘hujan’ yang bernama penistaan agama. Maklumlah di negeri ini masih banyak yang menganggap bahwa agama bukan hanya urusan pribadi tetapi menyangkut hal2 sosial lainnya bahkan politik. Ah, tauk ah, binun aku juga! 😛

    • anggara said:

      @yari
      Masak nggak ngerti kang? Senang dpt kunjungan lagi :mrgreen:

  2. edratna said:

    Yang demo itu coba ditanya, apa ngerti tujuan demo …jangan-jangan nggak tahu.
    Setiap kali ada perlu, saya naik taksi…. suatu ketika kami terjebak demo, dan sopir nyeletuk, mengatakan udah bosen lihat demo…dan akhirnya pasrah, asal nggak rusuh. Adanya demo membuat macet, dan membuat target pemasukan dia tak tercapai. Dan bilang begini…

    “Teman saya kadang cuti dari nyopir (mereka punya hari libur yang bisa dipilih)….untuk ikut demo, lumayan bu, dapat Rp.7*****,- plus makan siang…”

    Terus apa bapak pernah ikut? “Nggak bu, nurani sayatak sampai, itu kan nggak benar….”
    Entah dimana dan siapa yang benar…saya pusing.

    • anggara said:

      @edratna
      Begitulah bu, saya juga bingung, meski saya menghormati hak demonstrasi juga. Ya itulah resiko hidup di negara demokrasi

  3. H. Nizam said:

    Mas,

    Sebagai konsekwensi dari demokrasi bebas yang kita pilih maka kita harus menerima apapun yang disetujui oleh mayoritas suara lembaga2 yang seharusnya mewakili rakyat tapi nyatanya lebih berpihak pada partai. Celakanya agar mereka bisa jadi wakil rakyat mereka gunakan segala cara, termasuk agama.

    • anggara said:

      @nizam
      Sepertinya lbh krn kita belum lagi stabil proses demokrasinya pak

  4. coba baca penjelasan pasal 4 PNPS 1/1965. “Tindak pidana yang dimaksud di sini, ialah semata-mata (pada pokoknya) ditunjuk kepada niat untuk memusuhi atau menghina.

    Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis atau lisan yang dilakukan secara obyektif, zakeliyk dan ilmiah mengenai suatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal itu.”

    dari penjelasan tersebut (seharusnya) yang disebut sebagai Aliran ‘sesat’ tidak bisa dikenakan dengan pasal 156a.

    • anggara said:

      @arsil
      Perdebatan pokoknya bisakah agama dinodai, kepentingan apakah yg hendak dilindungi bro

  5. agama bisa dinodai jika pengertian menodai seperti dalam penjelasan pasal 4 jo. 156a, yaitu yang pada intinya menghina. (ga perlu gue contohin kan, nanti malah gue yang kena pasal ini 🙂 )

    Kepentingan apa yang hendak dilindungi? penghinaan dan ‘eksternalisasi’ rasa permusuhan tentunya dapat memicu konflik sosial.

    • anggara said:

      @arsil
      Posisi saya tetap tidak, karena agama secara alamiah bisa di nodai atau ternodai yg bisa yang pengikutnya. Kalau hendak melindungi kepentingan umum kan sudah ada ketentuannya yg amat jarang dipakai 🙂
      Lumayan repot nih berdiskusi dgn pakar hukum pidana hehehehe

  6. agama memang (mungkin) tidak bisa dinodai dalam pengertian tertentu, namun jika penodaan tersebut diartikan seperti penjelasan pasal 4 pnps tsb (penodaan dalam artian menghina) maka bisa. contoh misalnya seseorang mengolok-olok agama lain, atau suatu ritual dari suatu agama. Tindakan tersebut tentunya dapat memicu konflik di masyarakat. Contoh kongkrit mungkin film Fitna.

    Pasal 156 a huruf a memang agak bersinggungan dengan pasal 156 (yang cukup sering juga dipakai – Munarman kan kena pasal ini). Namun gue menafsirkan bahwa pasal 156a huruf a ini merupakan pemberatan dari pasal 156. Di belanda sendiri walaupun telah ada pasal yang sama dengan pasal 156 setelah adanya konvensi mengenai anti diskriminasi terhadap agama, ras dll Belanda menambahkan pasal hatespeech berdasarkan agama dan ras.

    • anggara said:

      @arsil
      Kita memandang satu persoalan dgn memakai pendekatan yg berbeda. Tapi aku pastikan aku selalu menyukai berdiskusi dgn pandangan yg berbeda.
      Namun bagiku, kalau hendak melindungi ketertiban umum mencegah hate speech sudah lebih dari cukup ada.
      Soal Pasal 156a pemberatan dari Pasal 156 hmm sepertinya aku tidak sependapat obyek yg diaturnya beda
      Film fitna juga tidak dipandang sebagai kejahatan di Belandakan?

  7. hehe…dalam hal ini pandangan kita beda tapi sebenarnya tidak bertentangan. point gue mengutip penjelasan pasal 4 (156a) sebenarnya mau menunjukkan bahwa selama ini ada pemahaman yang keliru terutama dari penegak hukum itu sendiri tentang makna dari pasal 156a itu sendiri.

    gue tidak bertentangan dengan loe mengenai judicial review, menurut gue fine2 aja PNPS itu dicabut, karena tokh juga sudah ada 156.

    soal film fitna, sudah ada putusan Pengadilan Tinggi di belanda yang memerintahkan agar penuntut mengusut kasus ini (di Belanda, penuntut punya kewenanga untuk mengusut atau tidak mengusut suatu perkara, namun jika tidak mengusut keputusan tersebut dapat dichalange di (kalo ga salah) pengadilan tinggi. ya seperti praperadilan atas sp3 gitu lah).

    btw, senang juga diskusi dengan anda, karena tulisannya selalu provoking, memancing diskusi.

    • anggara said:

      @arsil
      ah, saya justru belajar banyak dari om Arsil, terima kasih atas diskusinya yang selalu mencerahkan 🙂

  8. Wawan said:

    oh ya.. kenapa kok pas ribut2 aksi lintas agama di monas kok ya yang bikin rusuh malah orang2 islam, pada pake baju koko semua… agama yang laen pada kemana??? apa agama islam memang tidak mengajarkan perbedaan..

  9. sufehmi said:

    Namun bagiku, kalau hendak melindungi ketertiban umum mencegah hate speech sudah lebih dari cukup ada.

    Menarik pak, numpang tanya — apakah hate speech itu (di Indonesia) juga berlaku kepada agama / institusi ?

    Atau, hanya kepada pribadi ?

    Terimakasih.

    • anggara said:

      @sufehmi
      Terima kasih atas kunjungannya loh mas 🙂 hate speech di Indonesia itu sebenarnya ada dua yaitu ke pemerintah (pasal 154 dan 155) dan ke sekelompok masyarakat (pasal 156 dan 157). Ke pemerintah sudah di delete oleh MK
      Hate speech ini diatur supaya tidak terjadi genosida sehingga yg ada di Indonesia dilarang penyebaran kebencian terhadap segolongan orang. Jadi tidak bisa terhadap pribadi atau institusi
      Soal agama bukan hate speech tapi penodaan/penghinaan ini yg coba dihapuskan oleh beberapa rekan saya 🙂

  10. apa kata gayus..... said:

    gw yang termasuk demo di depan MK untuk menolak penghapusan uu PNPS 65,,dan gw puas sekali dengan keputusan MK menolak permohonan penghapusan UU PNPS 65 tsb,,,
    hahahaha,…….

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: