Pansus, Sidang Paripurna DPR, dan Ilusi Politik
Kemarin, hingar bingar politik yang terjadi karena adanya dugaan ”skandal” penyelamatan Bank Century telah selesai. Pansus seperti yang diduga terbelah pendapatnya ada yang mendukung proses penyelamatan Bank Century namun sebagian besar menolak proses penyelamatan Bank Century. Sikap Pansus ini kemudian dibawa ke Sidang Paripurna DPR dan hasilnya adalah cukup mengejutkan yaitu menyalahkan kebijakan penyelamatan Bank Century dengan skor 325 (Partai Golkar, PDI Perjuangan, PKS, PPP, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKB) vs 212 (Partai Demokrat, PAN, dan PKB).
Pansus dibentuk berdasarkan UU No 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. Sejatinya UU ini berasal dari rahim ketentuan UUDS 1950 yang secara prinsip menganut demokrasi parlementer. Namun yang jangan dilupakan bahwa ternyata hak angket juga dikenal sebagai bagian fungsi dan hak DPR yang pada pokoknya yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan (ketiga fungsi ini berasal dari Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945), hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (hak ini berasal dari Pasal 20 A ayat (2) UUD 1945). Selain itu ketentuan UU 6/1954 ini juga dikukuhkan dengan Pasal 20 A ayat (4) jo Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945. Jadi menurut saya sih UU 6/1954 tetap sah berlaku sepanjang belum ada yang diadakan pembaharuan menyangkut pengaturan Hak Angket DPR dan Hak Angket adalah bagian dari hak DPR meski sistem pemerintahan kita pada dasarnya adalah sistem Presidensial.
Nah kembali ke pokok persoalan, banyak orang menilai bahwa Opsi C yang diambil DPR kemarin itu adalah proses politik dan bukan proses hukum dan DPR tidak punya wewenang untuk memutuskan penyelamatan Bank Century melanggar hukum atau tidak. Dalam satu titik saya sependapat dengan penilaian tersebut, namun saya punya pandangan lain yaitu DPR punya hak dan kewenangan menilai adanya kesalahan dalam pengambilan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR. Oleh karena kebijakan pemerintah tersebut adalah kebijakan politik yang diputuskan oleh pemerintah, maka penilaian salah atau benarnya sebuah kebijakan politik forum yang tepat untuk ”mengadilinya” adalah forum politik di DPR. Namun, jika dalam saat yang bersamaan dalam kebijakan politik tersebut ada indikasi kuat adanya tindak pidana, maka forum yang tepat ya bukan di DPR tapi di Pengadilan. Pengadilan yang akan memutuskan apakah suatu kebijakan politik mengandung atau memenuhi unsur – unsur pidana atau tidak. Dalam konteks tersebut saya berpendapat dalam proses politik bisa saja suatu kebijakan dinilai salah namun hal yang berbeda dapat terjadi apabila Pengadilan menyatakan tidak ada tindak pidana yang terjadi atau bisa saja suatu kebijakan secara politik dinilai benar namun ternyata Pengadilan memutuskan bersalah karena adanya tindak pidana dalam suatu kebijakan yang dinilai benar secara politik.
Nah dari hingar bingar kemarin, saya melihat di mayantara, beberapa aktivis LSM yang mendukung pemerintahan SBY – Boediono secara jelas menempatkan posisinya yang menentang Pansus dan produk – produknya, namun yang disayangkan kejernihan melihat dan membedakan secara baik antara politik dan hukum serta kebijakan dan tindak pidana malah menjadi tiada alias tak berbekas atau malah bias memandangnya. Buat saya satu hal yang dicermati dari tingkah dan cara berpikir para aktivis tersebut yaitu mereka terjebak dalam suatu ilusi politik ketika memutuskan mendukung pasangan SBY – Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Saya melihat dibalik gembar gembor soal kesantunan dan etika politik namun di sisi lain terlihat jelas, setidaknya dalam kebijakan politik hukum, pilihan yang diambil pemerintahan ini adalah kebijakan politik hukum yang represif. Dari mana saya melihatnya, gampang koq, akhir – akhir ini begitu banyak UU yang lahir namun malah ”menistakan” ketentuan – ketentuan HAM yang telah diadopsi oleh Indonesia. Ini yang kemudian membuat saya berpikir apakah aktivis tersebut telah dibutakan oleh keadaan? Atau yang lebih parah lagi mereka pada dasarnya menyukai kemapanan politik dan posisi politik? Hmm, saya mau tahu akhir dari drama yang cukup menarik dan membetot perhatian dari para wartawan kelompencapir itu
Hasil akhir dari drama politik ini, yang hampir pasti akan berakhir di pengadilan, tentunya akan sangat menarik untuk dicermati.
mudah2an begitu pak, saya masih menunggu endingnya nih
Kayak nggak tahu politisi praktis aja. Yang penting, kedudukan politiknya dan kelompoknya aman dan selalu berada di atas agar bisa mendongkrak karir politiknya, mungkin itu termasuk kelompok2 LSM-nya yang juga maunya ikut tenar dan terdongkrak dari kasus ini… Mengenai bisanya mereka membedakan antara “melanggar hukum” atau bukan itu sih “emp” alias “emang mereka pikirin…..”
hahahaha bisa aja kang @spektrumku ini
Drama ini masih jauh dari berakhir kang.
@dhany
ah, saya berharap sih bisa cepat berakhir mas
Betul Mas Anggara, saya harap permasalahan ini cepat berakhir, gak enak rasanya liat wajah mereka tiap hari di TV, kayak iklan ajah…
Semoga akhir baik bagi semua orang di Indonesia.
Btw, saya menerima blogging award dari teman syaratnya harus disebar ke 15 blogger yang saya pling suka, karena itu saya telah memilih blog anda. Semoga anda senang menerimanya.
Saya senang kalau pak Harry menerima penghargaan tersebut. Bravo pak 🙂