Jalan Baru Untuk Peradi


Hajatan Musyawarah Nasional dari pertama kalinya Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang dilaksanakan untuk pertama kalinya usai sudah. Sebagai salah satu anggota biasa dari organisasi advokat yang ada di Indonesia, tentu saya berharap bahwa Munas Peradi I ini akan menghasilkan sesuatu yang baik dan berguna tidak hanya untuk kalangan advokat anggota Peradi namun juga untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Meski kepengurusan DPN Peradi yang lama telah melakukan tugasnya dengan baik dan harus diberikan apresiasi tinggi karenanya namun ada beberapa isu krusial bagi Peradi yang penting untuk dilakoni oleh Pengurus DPN Peradi yang baru. Beberapa hal yang saya catat dan amati diantaranya adalah : (1) Membangun Peradi sebagai organisasi advokat yang mandiri, dipercaya, dan dihormati; (2) Demokratisasi di tubuh PERADI; (3) Re-integrasi Organisasi Advokat; (4) Pembentukan Komite – Komite Khusus; (5) Keterlibatan dalam reformasi hukum; dan (6) Menjadi organisasi yang berbasis program

Saya menganggap keenam isu ini adalah penting untuk kepengurusan Peradi 5 tahun ke depan. Saya sendiri tidak terlampau mendapat data, selain yang ada di Media, apa saja isu-isu yang dibahas dalam Munas yang berlangsung di Pontianak tersebut. Sehingga sulit melakukan pengukuran sampai sejauh mana program – program dari pengurus Peradi saat ini dapat berjalan.

Sebagai anggota, saya rasa tak ada salahnya jika saya memberikan sedikit sumbang saran bagi kepengurusan DPN Peradi yang baru. Berikut adalah pokok – pokok pikiran saya terkait saran terhadap kepengurusan DPN Peradi yang baru

Pokok Pikiran Pertama
Sebagai organisasi advokat terbesar saat ini di Indonesia, Peradi mempunyai kesempatan besar untuk mewujudkan kiprahnya untuk melakukan tugas konstitusionalnya menjadi organisasi advokat yang mandiri, dipercaya, dan dihormati tidak hanya oleh kalangan masyarakat profesi hukum di Indonesia namun juga oleh masyarakat Indonesia secara luas. Harus diakui pemberitaan media beberapa bulan terakhir ini yang mengindikasikan bahwa advokat telah menjadi bagian dari praktek mafia hukum menjadi salah satu tantangan dari Peradi. Jelas tak mudah mengawasi 20 ribuan advokat anggota Peradi dan tak mudah pula menegakkan etika advokat di saat penegakkan hukum di Indonesia berada di titik nadir. Untuk itu, tak salah jika Peradi meniru langkah dari Mahkamah Konstitusi yaitu mengiklankan putusan – putusan Dewan Kehormatan Peradi melalui media mainstream agar khalayak umum mampu melihat bahwa Peradi tak main – main dalam menegakkan Kode Etik Advokat Indonesia. Dan kepengurusan DPN Peradi juga tak boleh melupakan kekuatan baru dari jejaring media sosial semacam facebook dan twitter dalam melakukan publikasi terhadap putusan – putusan Dewan Kehormatan PERADI.

Sebagai organisasi modern, tumpuan dan bekerjanya roda organisasi adalah berada di tangan anggota dan melalui anggotalah seyogianya kepengurusan DPN Peradi melakukan mandat yang telah diberikan melalui Munas. Anggota Peradi telah melakukan salah satu kewajibannya, yaitu membayar semacam ”iuran anggota” dan iuran tersebut seharusnya dimanfaatkan oleh kepengurusan DPN Peradi dengan baik dan dilakukan audit secara berkala serta diumumkan kepada anggota dan masyarakat setiap kali proses audit selesai dilakukan. Keterbukaan dan transparansi harus menjadi kunci utama bagi kepengurusan DPN Peradi dalam menjalankan aktivitas dan roda organisasi

Pokok Pikiran Kedua
Sebagai organisasi yang berbasiskan anggota, kepengurusan di tingkat pusat ataupun cabang haruslah dibentuk secara demokratis. Tanpa demokrasi maka kepengurusan DPN Peradi hanyalah menjadi kepengurusan tanpa legitimasi yang kuat dari akar rumput. Demokrasi tentu diperlukan untuk memilih pemimpin – pemimpin yang kredibel dan mendapatkan legitimasi yang kuat sehingga mampu menjalankan organisasi secara efektif. Dalam munas kemarin setidaknya ada dua isu yang mengemukan soal demokratisasi di tubuh Peradi ini yaitu sepanjang mengenai pemilihan Ketua Umum DPN Peradi. Ada sebagian advokat yang menawarkan jalan 1 person 1 vote, terinspirasi dari model pemilihan langsung Presiden dan juga model pemilihan bertingkat.

Model apapun buat saya baik, sepanjang prosedurnya dilakukan secara baik dan taat pada asas – asas pemilihan yang demokratis. Model pemilihan yang 1 person 1 vote memiliki kelebihan yaitu mempunyai basis legitimasi yang kuat namun juga memiliki kelemahan yaitu ada potensi munculnya calon yang hanya bermodalkan popularitas semata dengan mengabaikan aspek kualifikasi manajerial sementara model pemilihan bertingkat dapat mengeliminasi potensi munculnya calon yang hanya mengandalkan popularitasnya semata dan memaksimalkan potensi calon yang benar – benar memiliki kualifikasi untuk menjadi pengurus yang dapat mengelola roda organisasi namun memiliki kelemahan dengan dukungan atau legitimasi yang lemah terhadap kepemimpinan suatu organisasi

Untuk itu diperlukan suatu mekanisme lain yang mampu menggabungkan kelebihan dari kedua model pemilihan ini dalam pemilihan pengurus DPN di masa datang agar pengurus di masa depan memiliki basis legitimasi yang kuat serta memiliki kualifikasi manajerial yang baik pula.

Pokok Pikiran Ketiga
Kelahiran Peradi sesuai dengan amanat UU Advokat yang dibarengi dengan harapan besar tentang adanya suatu ”national single bar association” di kalangan advokat nampaknya telah menemui tantangan besar. Terdapat beberapa kalangan advokat yang tampak mulai berpikir untuk membentuk suatu wadah profesi baru. Tantangan besar muncul saat Kongres Advokat Indonesia (KAI) di deklarasikan di Jakarta yang juga mengklaim sebagai pelaksanaan dari UU Advokat. Tak hanya KAI, hidup kembali pula Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang dimotori oleh beberapa advokat senior juga menjadi tantangan dari kepengurusan Peradi.

Tapi perpecahan ini, dalam pandangan saya, tidak boleh disikapi secara frontal dan yang berakibat dengan tertundanya advokat – advokat baru Peradi yang seharusnya telah bisa mengambil sumpah sebagai advokat. Legitimasi Peradi sebagai satu – satunya organisasi profesi advokat saat ini malah telah digoyang tidak hanya oleh Mahkamah Agung namun juga oleh Mahkamah Konstitusi. Secara tidak langsung, saat ini kedua lembaga pelaku kekuasaan kehakiman ini telah secara de jure tidak mengakui keabsahan Peradi sebagai satu – satunya organisasi profesi advokat di Indonesia.

Kondisi ini mau tak mau menghadapkan Peradi dalam pilihan yang sulit yaitu apakah kepengurusan DPN Peradi secara serius berinisiatif akan melakukan re-integrasi organisasi profesi advokat? Atau haruskah DPN Peradi menghadapi kenyataan dengan mengajukan usulan national multi bar association dengan satu lembaga penegak kode etik? Atau pilihan yang lain adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan peradi sehingga legitimasi sosiallah yang akan menentukan dan dilihat oleh masyarakat? Pilihan – pilihan tentu harus diambil secara bijak oleh kepengurusan DPN Peradi

Pokok Pikiran Keempat
Perekat dari organisasi profesi advokat seharusnya adalah kesamaan ideologi dan bukan persamaan kepentingan. Hanya dengan persamaan ideologilah, maka bisa diharapkan para advokat akan bertemu dan memperjuangkan tegaknya prinsip negara hukum di Indonesia. Suatu organisasi advokat modern seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum di suatu negara.

Mengingat kohesi yang sangat rendah ini, ada baiknya Peradi mulai memikirkan pembentukan komite – komite khusus disamping kepengurusan DPN yang formal. Komite – komite khusus ini harus difasilitasi oleh pengurus agar para anggota Peradi dapat mengaktualisasikan ide – idenya di tempat tersebut.

Sebut saja, meski sudah ada Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) tak ada salahnya jika Pengurus Peradi membentuk Komite Hukum Pasar Modal agar para anggota Peradi yang memiliki kesamaan kepentingan dapat berhimpun dalam komite tersebut, tanpa harus membentuk organisasi baru. Selain itu tak kalah penting adalah Peradi juga perlu membentuk Komite Hukum HAM sebagai wadah bagi para advokat – advokat hak asasi manusia untuk berkumpul. Sampai saat ini komite khusus yang terbentuk, dalam pandangan saya, adalah Pusat Bantuan Hukum (legal aid center) dari Peradi. Komite – komite khusus ini harus berasal dari inisiatif akar rumput sehingga legitimasi keberaan komite – komite khusus ini dapat menjadi kuat.

Komite – komite khusus ini, dalam pandangan saya, dapat diharapkan mengeliminasi kecenderungan para advokat untuk berpecah kembali. Karena peran, ide, dan aktualisasinya dapat dijalankan melalui komite – komite khusus ini dan DPN Peradi juga mendapat manfaat dari keberadaan komite – komite khusus ini adalah lahirnya sebuah gagasan atau ide untuk model pembaharuan hukum di Indonesia. Komite – komite khusus ini juga memerlukan staffing sehingga roda organisasi dapat berjalan dengan baik. Model staffingnya juga bisa meniru model yang dilakukan dan dikembangkan oleh Sekretariat DPN Peradi, sehingga para pengurus dari komite – komite khusus ini juga mendapatkan dukungan yang cukup memadai untuk melaksanakan program – programnya

Pokok Pikiran Kelima
Organisasi profesi advokat yang modern lazim terlibat aktif dalam berbagai pembuatan kebijakan baik di tingkat nasional ataupun Propinsi atau Kota/Kabupaten. Hal ini wajar, karena organisasi advokat sejatinya adalah garda terdepan dalam menjaga prinsip – prinsip negara hukum dan tentunya merupakan penjaga dari hak – hak asasi manusia.

Sayang, tidak terdapat data sekunder pada saya untuk melihat apakah Peradi sudah terlibat dalam proses pembaharuan hukum? Jika menilik situsnya tidak ada satupun kertas kerja yang telah dihasilkan oleh Peradi baik dalam hal inisiatif pembuatan RUU ataupun dalam hal kritik terhadap RUU yang tengah dibahas.

Seyogianya kepengurusan DPN Peradi yang baru memperhatikan keterlibatan seluruh sumber daya organisasi untuk menghasilkan beragam pemikiran pemikiran yang cemerlang dengan turut serta secara aktif dalam gemuruh proses pembaharuan hukum di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan secara maksimal melalui komite – komite khusus yang telah saya sebutkan di atas.

Tanpa ada keterlibatan aktif sebuah organisasi profesi advokat akan membuat suatu negara akan jatuh ke dalam jurang yang terdalam. Keterlibatan aktif ini juga akan memastikan skema perlindungan hak dari warga negara terhadap beragam ancaman yang mungkin ditebar dalam berbagai peraturan perundang – undangan yang ada di Indonesia. Pokok

Pikiran Keenam
Sudah waktunya bagi Peradi untuk menjadi suatu organisasi yang bekerja berdasarkan sebuah program yang dapat terukur tingkat capaiannya. Sulit untuk mengetahui apa sajakah program yang dijalankan oleh kepengurusan DPN Peradi yang lama. Informasi melalui situs Peradi juga tak cukup membantu program – program apakah yang telah atau sedang dijalankan oleh kepengurusan DPN Peradi yang lama.

Program – program ini seharusnya merupakan penjabaran dari visi dan misi Ketua Umum terpilih sehingga anggota Peradi dapat melakukan penilaian kinerja terhadap kepengurusan DPN Peradi. Tak hanya pada tingkat DPN yang mempunyai program pengurus di tingkat DPCpun harus mempunyai program yang mampu terukur capaiannya.

Program program DPN seharusnya disusun dalam Rakernas yang melibatkan pengurus di tingkat DPC sehingga akan ada benang merah antara program yang dijalankan di tingkat DPN juga program yang dijalankan di tingkat DPC. Tanpa harmonisasi ini, maka sumber daya organisasi tidak bisa digerakkan secara maksimal untuk mencapai tujuan bersama.

Suatu organisasi yang berjalan tanpa program tentunya akan sangat membawa kerugian karena organisasi mempunyai potensi untuk disalahgunakan bagi tujuan – tujuan pribadi dari para pengurusnya. Program, sejatinya juga menjadi alat ukur bagi para anggota suatu organisasi untuk melakukan penilaian terhadap kinerja dari para pengurus organisasi tersebut, karena merupakan ”kompas” ke arah mana organisasi tersebut akan dijalankan.

Saya berharap tak banyak koq, ada yang baca tulisan inipun saya sudah senang karena sebenarnya saya hanya ingin menulis, karena sudah lama tak memperbaharui isi blog ini. Mudah-mudahan berguna dan bermanfaat bagi para pembaca blog ini Salam hangat

Tulisan ini juga bisa dilihat disini

6 comments
  1. Rico Rilano said:

    Seharusnya Peradi juga mencoba untuk melakukan terobosan dengan berinisiatif mengadakan Rekonsiliasi dengan organisasi Advokat lainnya seperti KAI dan Peradin, bukan hanya dengan mengukuhkan diri sebagai wadah advokat tunggal… pahit benar rasanya kalau kita para advokat selalu dibeda-bedakan, advokat Peradi atau advokat KAI, padahal kita sama_sama Advokat yang menjunjung Tinggi hukum sebagai landasannya dan kita para Advokat adalah penegak hukum yang mandiri dan diakui dan dilindungi oleh UU Advokat.

  2. Kalau kita melihat negara-2 lain yang menganut “single bar association” seperti Amerika, maka wadah tunggal yang berwibawa (seperti IDI untuk dokter) dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan kredebilitas anggota.
    Pada era Soeharto upaya ini telah dirintis yaitu dengan IKADIN tapi karena pemerintah tidak secara tegas mengakuinya maka tidak jalan.

  3. andisaddang said:

    Berharap Peradi dapat jg membentuk karakter lawyer yg lebih elegan dan profesional. Menunjukkan diri sebagai kalangan yang berkelas dan berwibawa. bagaimanapun srimulat-nya hukum di negeri ini jg bagian dari partisipasi rekan-rekan lawyer. salam dan sukses lawyer Indonesia.

  4. andee said:

    setuju bgt sob….mantep bgt postnya

  5. mevrizal said:

    Peradi harus berani eksis, melakukan uji keabsahan adalah jalan terbaik, dari pada tak jelas ujung pangkalnya, yang dirugikan adalah advokat muda yang baru berkarir

  6. sahronih said:

    loh kok baru ngadain munas kemaren-kemaren emangnya ngapaian aja sih. KAI saja sudah duluan mengadakan Munas berarti KAI duluan doong.

Leave a reply to mevrizal Cancel reply