Teleconference dan KUHAP


Penggunaan teleconference untuk pemeriksaan saksi menimbulkan “persoalan” dalam kasus yg melibatkan Ba’asyir di PN Jakarta Selatan. Setidaknya tim pengacara Ba’asyir tidak menerima pemeriksaan keterangan saksi melalui teleconference.

Hukumonline melaporkan “Ba’asyir dan tim pengacaranya menganggap keputusan majelis membiarkan pemeriksaan saksi lewat teleconference melanggar aturan KUHAP. Payung hukum acara peradilan ini tegas menyatakan keterangan saksi didengar di dalam ruang sidang.” ( http://bit.ly/hvPgYy)

KUHAP memang tidak mengatur tegas soal penggunaan teleconference, tapi jangan lupa kita juga punya UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yg membolehkan model pemeriksaan keterangan menggunakan teleconference tersebut.

Dalam kasus ini yg jadi masalah adalah bukan jarak antara tempat saksi dengan Pengadilan, namun jaksa mendalilkan tentang persoalan keamanan bagi Saksi. Namun, masalahnya tak pernah jelas, apakah saksi tersebut dalam perlindungan khusus atau tidak menurut UU PSK. Tapi jika tidak dalam perlindungan khusus menurut UU PSK, maka saya pikir Pengadilan perlu lebih bijak.

Misal, Pengadilan dpt terlbih dahulu memeriksa alasan Jaksa untuk meminta keterangan melalui penggunaan teleconference dan terdakwa melalui kuasa hukumnya bisa mengajukan keberatan terhadap alasan tersebut. Berdasarkan alasan – alasan dari para pihak, Pengadilan memang harus mengeluarkan “penetapan” apakah menerima atau menolak permintaan Jaksa tersebut.

Bukankah prosedur itu jauh lebih fair, meski tak terdapat dlm KUHAP. Tapi saya berpikir, Pengadilan tentu memiliki semua kewenangan untuk mengendalikan jalannya persidangan agar proses berjalan berimbang bagi kepentingan semua pihak

Advertisement
2 comments
  1. Kalau majelis hakim sebelumnya meminta penjelasan jaksa tentang alasan kenapa kesaksian harus secara teleconference dan terdakwa/pembelanya menyampaikan keberatannya, mungkin persidangannya menjadi tidak terlalu tengang seperti yang terjadi, walaupun pada akhirnya teleconference disetujui.
    Untuk itu perlu sikap bijak para hakim, seperti yang anda sebutkan.

    NB: saya berencana mengutip tulisan anda diatas dalam blog post saya. Terima kasih.

  2. Adhe said:

    Sedikit berbagi…
    Tele conference bukanlah hal yang akan jadi masalah (dikemudian hari)… seperti yang anda kemukakan proses menetapkan tele conference itu yang seharusnya didalami… ini sedikit pandangan saya:
    1. Hakim mengabaikan pasal 173 KUHAP yang kira-kira berbunyi “…bila saksi tidak mau bertemu terdakwa (dengan alasan takut atau keamanan), maka Hakim bisa meminta terdakwa untuk keluar ruang sidang…”
    2. Kalau ancaman keselamatan jiwa, harta dan keluarga memang sudah ada diatur dalam pasal 33 UU nomor 15 tahun 2003 dan UU PSK, namun Takut Secara Psikis sepertinya belum diatur dalam Undang-undang (dalam suratnya para saksi mengatakan “gugup” bila bertemu terdakwa)
    3. Hakim memang harus bijak dalam hal ini, dan Jaksa juga seharusnya bermain “cantik”. Datangkan saksi yang bisa hadir… nah bila dalam beberapa kali sidang ternyata ada saksi yang tidak bisa datang (dengan berbagai alasan tadi)… barulah opsi teleconference digulirkan…
    4. Dengan 2000 personel polisi dan pemeriksaan pengunjung yang ketat… Pelaksanaan teleconference menurut saya pribadi adalah “kegagalan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam menciptakan rasa aman”…
    Trims

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: