Beberapa Hal Dasar Dalam Pengujian Formal UU Terhadap UUD Menurut Putusan No 27/PUU-VII/2009


Catatan: tulisan ini merupakan perasan dari Putusan MK No 27/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 dinyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu”.

Dalam konteks Pengujian UU terhadap UUD 1945 di Indonesia dikenal dua macam pengujian yaitu Pengujian Formil dan Pengujian Materil. Dua macam pengujian ini dapat diketemukan pada ketentuan Pasal 51 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian Formil berdasarkan ketetuan Pasal 51 huruf a UU No 24 Tahun 2003 dinyatakan bahwa “pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sementara Pengujian materil ruang lingkupnya diatur dalam Pasal 51 huruf b UU No 24 Tahun 2003 dinyatakan bahwa “materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Secara singkat pengujian formil terkait dengan proses pembentukan suatu UU dan tidak memperhitungkan tentang apakah isi dari UU tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak

Nah back to laptop, problemnya sebenarnya adalah sungguh tidak mudah untuk melakukan pengujian secara formil, apakah pembentukan suatu UU dapat dinyatakan bertentangan dengan UUD.

Hal yang paling pertama ditentukan adalah dalam hal kedudukan hukum dari Pemohon. Setidaknya ada dua hal penting yaitu Pemohon pengujian formil harus menjelaskan kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 dan juga menjelaskan secara spesifik atau potensi ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Khusus untuk penjelasan tentang ada tidaknya  kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, maka ada beberapa patokan yang wajib dipertimbangkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, yang berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:

  • adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
  • hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
  • kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
  • adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
  • adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi

Dan untuk menentukan apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengujian formil UU terhadap UUD maka ada hal yang wajib diperhatikan yaitu Syarat kerugian konstitusional dalam pengujian materil diberlakukan sama halnya dengan kerugian konstitusional yang ada pada pengujian formil. Oleh karenanya:

(i)         pembayar pajak/tax payer (vide Putusan No 003/PUU-I/2003), asosiasi, dan Organisasi non pemerintah yang memiliki perhatian khusus terhadap suatu UU demiki kepentingan hukum, badan hukum, Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil;

(ii)      warga negara Indonesia yang masuk dalam kualifikasi dan terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu mempunyai hak untuk untuk mempersoalkan konstitusionalitas suatu Undang-Undang, baik prosedur pembentukannya (pengujian formil) maupun materi muatannya yang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, hal ini terkait dengan kepercayaan dan mandat yang diberikan kepada wakil sebagai fiduciary duty, yang harus dilaksanakan secara itikad baik dan bertanggung jawab, dalam hubungan mandate yang tidak terputus dengan dipilih dan dilantiknya anggota DPR sebagai wakil rakyat pemilih yang menyangkut tidak dilaksanakannya mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu Undang-Undang atau kebijakan lain, maka setiap warga negara, sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan;

(iii)    hal lain adalah adanya hubungan pertautan langsung antara Pemohon Pengujian Formil dengan UU yang dimohonkan misalnya Advokat/Pegiat Anti Korupsi yang memiliki perhatian khusus atau kepentingan dengan UU yang mengaturnya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian formil;

Selain melihat ada tidaknya kedudukan hukum dari Pemohon maka wajib pula dilihat batas waktu (daluarsa) dalam mengajukan Pengujian Formil. Berdasarkan putusan No 27/PUU-VII/2009 telah ditetapkan batas waktu 45 hari setelah UU tersebut dimuat di Lembaran Negara.

Nah cara mengujinya bagaimana? MK pada saat itu menyatakan dasar untuk melakukan pengujian formil mendasarkan pada Pasal 20 UUD 1945. Selain itu ada dasar lain yang penting diperhatikan yaitu (i) UU 10/2004 Bab VI Bagian ke satu, Pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR; (ii) UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (yang berlaku pada saat itu); dan (iii) Peraturan Tata Tertib DPR. Pada dasarnya ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004 dan UU 22/2003 adalah Undang-Undang yang diperlukan untuk menampung ketentuan Pasal 22A UUD1945 dan dalam kedua UU tersebut secara eksplisit ditentukan adanya Peraturan Tata Tertib DPR dalam pembentukan Undang-Undang, yaitu Pasal 19 UU 10/2004 dan Pasal 102 ayat (1) dan ayat (4) UU 22/2003.

Kenapa peraturan di bawah UU dijadikan sebagai salah satu tolok ukur dalam Pengujian Formil hal ini dapat dibenarkan didasarkan pada alasan bahwa jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.

Advertisement
1 comment

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: