Cek Kosong dan Kasus Ipad
Sejak kemarin gariswaktu saya dipenuhi oleh semboyan #FreeDianRandy. Sejenak saya tidak tahu ada apa dengan Dian dan Randy, tak lama jemarin saya bergerak memenuhi laptop tua Cruiser NLP463 saya yang diproduksi oleh Zyrex ini. Menurut Koran tempo Dian ditangkap polisi saat melakukan COD (Cash on Delivery) di City Walk, Tanah Abang, atas penjualan dua buah iPad 3G, Wi-Fi, 64 GB yang di beli di Singapura. Adapun Randy ditangkap karena menawarkan enam buah iPad 3G, Wi-Fi, 16 GB. Keduanya menawarkan iPadnya lewat situs Kaskus.
Menurut Tempo Interaktif Penangkapan Dian dan Randy sendiri berawal dari inisiatif polisi yang melihat banyaknya transaksi ilegal iPad pada 2010 lalu. Direktorat Kriminal Khusus, lanjut Baharudin, pun melakukan penyelidikan untuk mengungkap dan melihat bagaimana perdagangan iPad ilegal tersebut. “Harapannya, kami dapat mengungkap siapa pengimpor barang yang tidak terdaftar dan siapa pelaku perdagangan ilegal itu.”
Dari rangkaian penyelidikan, pada 24 November 2010 polisi menangkap Dian dan Randy. Baharudin tidak mendetail peranan keduanya, dia hanya menyatakan satu tersangka merupakan pengantar iPad dan satu lagi pemilik toko di Citywalk Sudirman, Jakarta Pusat. Pada penangkapan itu, keduanya tak bisa menunjukkan izin dari Dirjen Postel serta Kementerian Perdagangan dan tidak melampirkan buku manual berbahasa Indonesia.
Dalam beberapa media yang saya baca keduanya di dakwa dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) UU No 8 Tahun 1999 dan Pasal 52 jo Pasal 32 ayat (1) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam tulisan ini saya tidak akan menyoroti secara khusus kasus keduanya namun hanya ingin kasih komentar mengenai dua dakwaan tersebut
Pasal 62 ayat (1) UU 8/1999 menyatakan “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasa! 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)” Sementara Pasal 8 ayat (1) UU 8/1999 menyatakan “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : (a.) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b.) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto , dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; (c.) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; (d.) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label , etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; (e.) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; (f.) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang danm/atau jasa tersebut; (g.) tidak mencvantumkan tanggal kadaluawarsa atau jangka waktu penggunaan/-pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; (h.) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan ”halal” yang dicantumkandalam label; (i.) tidak memasang label atau membuat penjelsan barang yang memuat nama barang,ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, atauran pakai, tanggal pembuatan,akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketenttuan harus di pasang/dibuat; (j.) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”
Sementara Pasal 52 UU 36/1999 menyatakan bahwa “Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” dan Pasal 32 ayat (1) UU 36/1999 menyatakan “Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kedua ketentuan ini sebenarnya terkait dengan keberadaan Pasal 32 ayat (2) UU 36/1999 yang menyatakan “ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”
Soal melanggar ketentuan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) UU Perlindungan Konsumennya sih berita yang muncul adalah soal ada tidaknya manual penggunaan dalam bahasa Indonesia artinya keduanya dianggap melanggar Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU 8/1999. Jika merujuk pengertian Pelaku Usaha pada Pasal 1 angka 3 UU 8/1999 yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayaah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. Dalam konteks ini, keduanya memang dapat digolongkan sebagai Pelaku Usaha.
IMHO, saya ketentuan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf j UU 8/1999 dan Pasal 52 jo Pasal 32 ayat (1) UU 36/1999 ini adalah suatu rumusan yang menurut hukum pidana dilarang keras dan tegas, karena keduanya memuat cek kosong. Kenapa cek kosong karena perbuatan pidananya baru dapat dinyatakan sempurna apabila ada aturan lain di bawah UU yang menegaskan bahwa hal tersebut diatur dan dilarang. Misalnya pasal 8 ayat (1) huruf j UU 8/1999 menyatakan “(j.) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Hal yang sama berlaku juga dalam Pasal 32 ayat (1) UU 36/1999 yang menyatakan “…wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dalam hukum pidana ada 3 asas penting yang penting di cermati dalam konteks kriminalisasi suatu perbuatan yaitu asas Lex Scripta, Lex Certa, dan Lex Stricta. Lex Scripta menegaskan bahwa Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Lex Certa menegaskan bahwa Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Lex Stricta menegaskan bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.
Saya hanya membayangkan, jika peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban penggunaan manual dalam bahasa Indonesia dalam UU Perlindungan Konsumen itu sering berubah – ubah tentu membawa konsekuensi mudahnya orang menghadapi proses pidana. Selain itu juga persyaratan teknis dan ijin dalam UU Telekomunikasi juga berubah-ubah juga punya akibat yang sama. Ini yang saya sebut dengan cek kosong yang tidak dibenarkan dalam hukum pidana
Ijin share di http://priyandoko.blogspot.com/2011/07/bebaskan-dian-randy.html.
makasih, tulisan yang mencerahkan.
prihatin aku..
polisi itu keterlaluan, karena kalau polisi dibenarkan, maka jualan via internet itu bisa dipenjara semua.
kurang mengerti soal
bahasannya..
he”..:)
Kenapa dibuat celah cek kosong? Mudah ditebak, bila kita jeli melihat begitu banyak kasus yang terjadi dinegeri ini. Pertanyaan yang perlu dicari tau, latar belakang pembuatan undang undang ini.
. kurang paham saya dengan bacaan d atas