Mengevaluasi Kembali Otonomi Khusus untuk Papua (Bagian I)
Otonomi Khusus Dalam Kerangka Hukum
Otonomi Khusus di Indonesia secara konstitusional dijamin dalam Pasal 18 B ayat 1 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Dalam konteks hak asasi manusia, otonomi khusus pada dasarnya diakui dan dijamin dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005) dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (diratifikasi melalui UU No 11 Tahun 2005) yang berbunyi “(1.) All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. (2.) All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence”.
Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori yaitu:
1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain
2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing
3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam konteks hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi khusus adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi khusus ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.
Secara prinsip, adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat untuk menciptakan daerah otonomi khusus sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government. Untuk itu daerah otonomi khusus harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu negara.
Perbedaan mendasar antara daerah otonomi dan daerah otonomi khusus adalah perbedaan kewenangan yang dapat dinegosiasikan dengan pemerintahan pusat. Pada dasarnya daerah otonomi tidak dapat memiliki kewenangan yang menjadi kewenangan dari pemerintah pusat yaitu hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan, pengadilan, keuangan dan moneter, agama, dan imigrasi. Sementara daerah otonomi khusus dapat menegosiasikan kesemua kewenangan tersebut dengan pemerintah pusat. Salah satu contoh sifat otonomi khusus berada dalam titik yang ekstrim adalah daerah otonomi khusus hanya tidak mempunyai kewenangan di bidang pertahanan dan luar negeri dalam kerangka diplomatik seperti yang ditunjukkan oleh Hong Kong, China.
Papua: Kebijakan Setengah Hati Indonesia
Sejak masa kemerdekaan, Indonesia telah beberapa kali diguncang oleh sebuah pemberontakan bersenjata dari daerah – daerah di Indonesia yang menuntut adanya kemerdekaan. Setidaknya tercatat Aceh dan Papua adalah dua daerah yang mencatat sejarang panjang melakukan perlawanan bersenjata untuk memperoleh kemerdekaan bagi Aceh dan Papua.
Khusus untuk Papua, meski para pendiri Republik ini menyatakan bahwa sejak 1945 Papua adalah bagian dari Negara Republik Indonesia namun pada kenyataannya sejarah Papua jelas berbeda dengan dengan Aceh, karena proses legalisasi masuknya Papua kedalam Republik ini didahului dengan adanya keterlibatan PBB melalui UNTEA dan juga adanya Penentuan Pendapat Rakyat (referendum) yang dilakukan pada 1969. Yurisdiski Indonesia atas Papua sejatinya sudah diperdebatkan ketika Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 dimana salah satu butirnya menyatakan pada pokoknya status Papua akan dibicarakan setahun setelah perjanjian KMB ditandatangani. Pada 1962 Pemerintah Indonesia mengundangkan Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat dan juga mengeluarkan Penetapan Presiden No 2 Tahun 1963 tentang Satuan Rupiah Yang Khusus Berlaku Untuk Daerah Propinsi Irian Barat.
Konflik bersenjata di Papua semakin tajam setelah hasil Penentuan Pendapat Rakyat menyatakan Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia. Pengesahan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia dilakukan melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat. Di saat yang sama Pemerintah Indonesia saat itu menghadapi tuntutan dan perlawanan bersenjata tersebut dengan menyatakan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) bersama – sama dengan Aceh. Pernyataan tersebut secara sekaligus juga telah menghasilkan pelanggaran Hak Asasi Manusia secara besar – besaran di Papua dan meningkatkan antipati masyarakat Papua tidak saja terhadap Pemerintah Pusat namun juga keberadaan Papua dalam lingkungan Republik Indonesia.
Sejak Reformasi, pemerintah Indonesia secara politik berupaya mengubah kebijakannya dalam menghadapi daerah – daerah konflik dengan menawarkan otonomi khusus sebagai penyelesaian terkakhir dan final bagi Aceh dan Papua. Khusus untuk Papua, kebijakan pemerintah untuk menangani konflik di Papua adalah melahirkan UU No 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Keberadaan UU No 45 Tahun 1999 dan yang diubah melalui UU No 5 Tahun 2000 ini pada dasarnya telah ditentang oleh masyarakat Papua karena pemerintah Indonesia dianggap melakukan politik pecah belah terhadap Papua. Sejalan dengan itu pada 2000, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR No IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah dimana salah satu rekomendasinya adalah untuk melahirkan Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan. Sesuai dengan rekomendasi tersebut, pemerintah dan DPR kemudian mengundangkan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Hanya sayangnya dengan pengesahan UU No 21 Tahun 2001 ini tidak secara tegas mencabut keberlakuan dari UU No 45 Tahun 1999. Problem ini muncul setelah pada 2003 Pemerintah menerbitkan Inpres 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU No 45 Tahun 1999.
Problematika ini kemudian memunculkan upaya pengujian UU terhadap UU No 45 Tahun 1999 jo UU No 5 Tahun 2000 yang dilakukan oleh Drs. John Ibo, MM dalam kapasitasnya selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Papua mewakili kepentingan DPR Papua (sesuai Hasil Rapat Pleno DPR Papua). Permohonan ini diregister dalam No 018/PUU-I/2003 yang pada pokoknya “dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135), pemberlakuan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3894), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Namun di saat yang sama Mahkamah Konstitusi juga menyatakan pada pertimbangannya pada pokoknya bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secara faktual telah berjalan efektif, yang antara lain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta kelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD), serta terpilihnya Anggota DPD yang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat. Sementara itu, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum terealisasikan. Untuk hal tersebut Mahkamah berpendapat, keberadaan provinsi dan kabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkan UU No. 45 Tahun 1999 adalah sah adanya kecuali Mahkamah menyatakan lain. Untuk informasi lebih jelas mengenai pendapat MK tersebut, salah seorang Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, SH dalam laporan penelitiannya mengenai pengujian UU No 45 Tahun 1999.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka sepanjang untuk Propinsi Irian Jaya Barat maka landasan hukumnya tetaplah UU No 45 Tahun 1999 dan untuk mempertahankan keberadaan Propinsi Irian Jaya Barat maka Pemerintah mengeluarkan PP No 24 Tahun 2007 yang mengubah nama Irian Jaya Barat menjadi Papua Barat. Keberadaan UU No 21 Tahun 2001 inipun tak lama umurnya mengingat pemerintah melakukan perubahan terhadap UU No 21 Tahun 2001 melalui penerbitan Perpu No 1 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No 21 Tahun 2001 yang disahkan melalui UU No 35 Tahun 2008.
Dengan disahkannya Perpu No 1 Tahun 2008, Ketentuan Pasal 1 angka (2) Perpu No 1 Tahun 2008 yang menghapus Pasal 7 ayat (1) UU No 21 Tahun 2001 ini kemudian diuji oleh Drs. John Ibo, M.M selaku Ketua DPR Papua, Yoseph Yohan Auri, dan Roberth Melianus Nauw masing – masing adalah pimpinan DPR Papua. Pengujian ini diregister di bawah No Perkara 81/PUU-VIII/2010. Dan Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa “…pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua oleh DPRP atau langsung oleh rakyat adalah pilihan kebijakan hukum pembentuk Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi”.