Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman


Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman
oleh : Atmakusumah (Pengamat pers dan pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta)

Artikel ini diambil dari situs http://www.komisihukum.go.id

Dekriminalisasi karya jurnalistik dalam media pers kini sudah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Tuntutan ini tidak memungkinkan kita menarik kembali sejarah kebebasan ke masa lampau. Kebebasan itu termasuk kebebasan pers, yang merupakan bagian dalam satu paket yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang dimiliki oleh setiap warga, seperti para demonstran, aktivis advokasi, dan penceramah.
Perkembangan kebebasan di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak lagi wajar, bahkan tidak patut, untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para pencipta karya pemikiran kreatif seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi. Berkat perjuangan yang sangat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa pemerintahan lima abad yang lalu.
Ketika dunia cetak-mencetak barulah mengawali sejarahnya di Eropa sekira 500 tahun yang silam, seorang pejabat tinggi Inggris memperingatkan, “Kita harus menghancurkan percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita.” Tetapi, para pencetak terus saja mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan ini hanyalah berbekal keyakinan pada kata-kata para pemikir besar bahwa “Kita harus mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas.”
Di Inggris pada masa itu, mengritik raja, para menteri, dan parlemen dipandang sebagai kejahatan. Hakim Agung Inggris malahan menetapkan, “Menulis masalah pemerintah—tidak menjadi soal, apakah itu memuji atau mencela—adalah tindak kejahatan karena tidak seorang pun berhak mengatakan sesuatu tentang pemerintah.” Hukuman bagi pelanggaran terhadap ketetapan ini ialah memotong daun telinga, mengiris lidah, dan siksaan lainnya—bahkan hukuman mati (Gertrude Hartman, Builders of the Old World).
Penindasan terhadap arus informasi dan pendapat di Inggris mencerminkan kekhawatiran di Eropa bahwa percetakan telah menjadi alat untuk berekspresi dan melakukan pembaruan melalui produk bacaan. Ketakutan demikian juga menyebar ke wilayah koloni Inggris di Benua Amerika. Gubernur Inggris di Virginia, Sir William Berkeley, pada 1671 mengatakan “berterima kasih kepada Tuhan” karena wilayah kekuasaannya terbebas dari kegiatan cetak-mencetak (Edward C. Smith, A History of Newspaper Suppression in Indonesia, 1949—1965).
Ketakutan itu pun menular ke Hindia Belanda 41 tahun kemudian. Seharusnya Indonesia sudah memiliki surat kabar pertama pada 1712. Tetapi, De Heeren Zeventien, 17 direktur VOC (Perserikatan Dagang Hindia Timur), di Nederland melarang rencana penerbitan surat kabar itu di Batavia karena takut para pesaingnya memperoleh keuntungan dari berita perdagangan yang dimuat di koran itu.
Barulah 32 tahun kemudian, pada 1744, pemerintah liberal dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff membolehkan penerbitan surat kabar pertama di negeri ini, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia). Nasib koran pertama ini tetap buruk. Hampir dua tahun kemudian, pada 20 Juni 1746, gubernur jenderal terpaksa membredelnya atas perintah para direktur VOC yang menganggap koran itu “merugikan dan membahayakan.” Barangkali karena mereka ketakutan kepada para pesaing dagang yang memperoleh informasi dari Bataviasche Nouvelles.
Setelah itu, pembredelan media pers hampir terus-menerus terjadi di Hindia Belanda. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia Kedua dan malahan setelah Indonesia merdeka. Pemberedelan terakhir kali terjadi pada 1994, 250 tahun sejak kelahiran surat kabar pertama di negeri ini dan empat tahun sebelum pemerintahan Orde Baru berakhir.

Sanksi Pidana Kian Tidak Populer
Lima abad yang silam, memberitakan, apalagi mengkritik, raja, para menteri, dan parlemen di Inggris dianggap sebagai kejahatan. Sekarang haruslah kita pertanyakan, apakah pandangan demikian masih patut dipertahankan.
Ternyata, pandangan yang menganggap karya jurnalistik atau pendapat dan ekspresi sebagai kejahatan—bila melanggar hukum—kini semakin tidak populer sehingga tidak selayaknya dipertahankan. Kriminalisasi—dengan menjatuhkan sanksi hukum pidana berupa hukuman penjara ataupun denda—dipandang tidak sesuai dengan standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.
Contoh yang dipaparkan oleh Leo Batubara (“Pers Profesional Taat Hukum dan Etika,” Kompas, 5 Maret 2005) memperlihatkan perkembangan di semakin banyak negara yang menghapus sejumlah pasal hukum pidana yang dapat menghambat kebebasan berekspresi dan berpendapat serta kebebasan pers. Atau, mengalihkan pasal-pasal hukum pidana itu menjadi pasal-pasal hukum perdata.
Malahan di Ethiopa, yang dalam tulisan Batubara itu dikatakan “sedang dalam proses perubahan menuju civil defamation,” pemerintahnya sudah berpikir lebih maju lagi. Dalam upaya memperbarui perundang-undangan tentang pers, dengan mengubah kasus pers dari perkara pidana menjadi perkara perdata, Ethiopia tidak akan mengenakan sanksi denda yang berat. Menurut Menteri Informasi Bereket Simone, “kami percaya bahwa denda yang lebih ringan akan mendorong kebebasan berekspresi.” Selain itu, denda bagi pelanggar hukum pers hanya menyangkut masalah prosedur, bukan karena isi media pers.

Dukungan Politik Masih Langka
Dukungan politik dan perlindungan hukum bagi kebebasan pers memang lazim karena pekerjaan jurnalistik bukan sekadar hak, melainkan—lebih dari itu—adalah tugas; bukan sekadar rights, melainkan duty. Hal itu ditegaskan antara lain dalam “Deklarasi Hak dan Kewajiban Wartawan (Declaration of Rights and Obligations of Journalists)”, atau dikenal juga sebagai “Munich Charter (Piagam Muenchen)”. Piagam ini disepakati di kota Jerman itu oleh organisasi wartawan dari berbagai negara pada 24—25 November 1971.
Mukadimah “Piagam Muenchen” menegaskan: “Hak akan informasi serta hak akan kebebasan menyatakan pendapat dan kritik adalah salah satu hak mendasar bagi manusia. Semua hak dan tugas wartawan berasal dari hak masyarakat ini untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa dan pendapat. Tanggung jawab wartawan terhadap masyarakat melebihi tanggung jawab lainnya, terutama [melebihi tanggung jawab] terhadap majikan dan pejabat publik [pejabat negara].”
Tetapi, dukungan politik yang dinyatakan dengan jelas secara terbuka dari para pemimpin pemerintahan di Indonesia terhadap kebebasan pers, berekspresi, dan berpendapat sangat langka selama ini. Dari yang langka itu dapat dicatat, misalnya:
* Amir Syarifudin, menteri penerangan pertama, dalam pernyataan resmi pemerintah RI pada Oktober 1945: “Pikiran masyarakat umum (public opinion) itulah sendi dasar Pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tidak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat, [melainkan] hanya [mewakili] pikiran dari beberapa orang berkuasa saja. Maka asas kami ialah: ’Pers haroes merdeka’” (Dr. Bachtiar Aly, M.A., “Pers Indonesia Menghadapi Tuntutan Zaman”, 14 Oktober 1994).
* Mohammad Yunus Yosfiah, menteri penerangan kabinet Presiden B.J. Habibie: Ada dua semangat yang tersirat dalam rancangan undang-undang tentang pers. Semangat pertama, menghapus semua hambatan kebebasan pers. Kedua, menghapus sanksi pidana yang berbau kolonial (haatzaai artikelen)…. “Pokoknya, kita mengembangkan kebebasan pers serta memberikan perlindungan kepada pers sehingga wartawan tidak lagi diperlakukan sebagai penjahat” (Majalah Tempo, 29 Maret 1999).
* Prof. Dr. Bagir Manan, ketua Mahkamah Agung: “Kita sudah bertekad bahwa kebebasan pers merupakan salah satu unsur absolut dalam kehidupan demokrasi kita. Ini prinsip yang harus disadari semua orang—termasuk oleh para hakim…. Saya ingin kita tak menarik mundur kebebasan tersebut. Saya juga bisa mengeluh dengan pemberitaan pers. Tapi hal itu tak bisa dijadikan alasan untuk kembali membungkam pers…. Sebagai sebuah negara merdeka, Indonesia menganut sistem demokrasi yang secara prinsip mengusung kebebasan pers dan kebebasan berekspresi” (Majalah Tempo, 12—19 Oktober 2003). Dalam pidato pelantikan hakim agung dan ketua Pengadilan Tinggi Negeri di gedung Mahkamah Agung pada 14 September 2004 ia mengatakan: “Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi. Tetapi, sekaligus penjaga demokrasi…. Jangan sampai tangan hakim berlumuran, ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi….” Dengan memasung kemerdekaan pers, maka hakim sedang memasung kemerdekaannya sendiri. (Koran Tempo, Kompas, 15 September 2004).
* Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon presiden dari Partai Demokrat ketika berkunjung ke Pondok Pesantren Syaichona Cholil di Bangkalan, Madura, pada 6 September 2004 seperti dilaporkan oleh I.D. Nugroho dalam http://www.geocities.com. Ia berpendapat bahwa pada zaman yang lebih terbuka seperti sekarang ini tidak perlu ada lagi wartawan yang dipenjarakan karena karya jurnalistiknya. Bila terjadi sengketa pemberitaan antara publik dan pers atau wartawan, Yudhoyono menganjurkan agar digunakan Undang-Undang Pers yang sudah ada. Ia menyerukan, “Gunakan Undang-Undang Pers untuk menyelesaikan persoalan pers; buat apa Undang-Undang Pers dibuat kalau tidak digunakan.”

(Topik artikel telah dipresentasikan pada
Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN 2004) KHN, 7/12/04,
dan dimuat di harian Kompas, 12 Maret 2005)

Advertisement
7 comments
  1. chico said:

    Blh request berita mengenai sejarah pers di indonesia dari zaman penjajahan belanda,jepang,liberal,revolusi,reformasi,smpai era skarang!!

  2. ragazzi said:

    mmm.. nice design, I must say..

  3. Anggara said:

    @chico
    waduh, maaf saya juga nggak punya bahannya tuh
    @ragazzi
    Thanks

  4. debra priharika said:

    thanks buat artikelnya yang bantu tugas KWN saya

  5. steffi said:

    hahahahahahaaaaa

  6. rizal said:

    bagus bagus bagus ……………………………!

    • anggara said:

      @rizal
      Thanks 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: