Tolak Kriminalisasi Pers dan Pemenjaraan Wartawan!
No : 015/AJI-Adv/Siaran Pers/V/2007
Hal : Siaran Pers untuk segera disiarkan
Bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2007, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menerima kabar menyedihkan. Yakni keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi berikut perintah pemenjaraan 6 bulan terhadap Risang Bima Wijaya, Pemimpin Umum Harian Radar Yogya. Risang divonis pasal 310 junto 64 KUHP tentang pidana pencemaran nama baik terhadap Sumadi Martono Wonohito, Dirut Harian Kedaulatan Rakyat (KR) Yogyakarta.
Dalam pemberitaan Harian Radar Yogya pada Mei 2002, Risang menuliskan kasus dugaan pelecehan seksual oleh Sumadi terhadap seorang karyawati Harian KR. Sumber informasi kasus tersebut berasal dari laporan korban di kepolisian dan pengungkapan korban dalam sebuah konferensi pers. Berita laporan polisi oleh korban dimuat di berbagai media seperti Jawa Pos, Tabloid Adil, Tabloid Nyata, termasuk Radar Yogya. Harian pimpinan Risang Bima Wijaya ini juga melengkapi laporan jurnalistiknya tentang perkembangan peristiwa, memuat karikatur, dan memuat artikel lepas.
Pada 22 Desember 2004 Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, memutus bersalah dan memvonis Risang Bima dengan hukuman 9 bulan penjara. Keputusan yang bernuansa kriminalisasi terhadap profesi jurnalistik ini menimbulkan protes di kalangan komunitas pers. Sayangnya, saksi ahli dari Dewan Pers (RH Siregar) justru menyatakan Risang Bima melanggar etika jurnalistik. Hingga keluar putusan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta, disusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum pemimpin Harian Radar Yogya ini dengan penjara 6 bulan.
Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan hal-hal sbb :
- Menolak setiap upaya kriminalisasi terhadap jurnalis dan pers yang bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Mengancam atau mengirim jurnalis ke penjara dengan KUHP merupakan langkah mundur dan menghilangkan hak publik akan informasi. Penggunaan KUHP dalam kasus sengketa pemberitaan pers menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi kemerdekaan pers, sesuatu yang selama ini dijadikan ikon pemerintahan SBY-Kalla.
- Mengecam putusan Mahkamah Agung RI yang memvonis Risang Bima Wijaya, Pemimpin Umum Radar Jogja, dengan hukuman penjara 6 bulan karena profesi jurnalistik dilindungi UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan pasal 28F UUD 1945. AJI mendesak Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di bawahnya agar berpegang pada ketentuan UU Pers No 40/1999 dalam menangani kasus terkait pemberitaan pers.
- Mengingatkan semua pihak bahwa jika terjadi sengketa atau keberatan terhadap karya jurnalistik agar menggunakan mekanisme hak jawab, hak koreksi, dan pengaduan kepada organisasi jurnalis dan/atau Dewan Pers. Bahkan jika jurnalis dinyatakan melanggar etika jurnalistik, hukuman yang paling mungkin adalah denda terhadap perusahaan pers, bukannya pemenjaraan.
Jakarta, 7 Mei 2007
Heru Hendratmoko
Ketua Umum
Eko Maryadi
Koord. Divisi Advokasi
saya setuju dengan pendapat diatas namun semuanya harus kembali pada pembinaaan wartawan yang sesungguhnya, apa sudah sesuai dengan prosedur atau belum, hal ini terjadi mungkin karena adanya oknum wartawan yang mencoba berbuat diluar kendali, jadi ya semuanya terbawa bawa, memang hal ini bukan masalah biasa tapi perdu diketahui hal yang paling mendasar adalah pembinaan serta pengawasan. mungkin hanya hall itu yang mampu meredamnya, sekarang bukan saatnya ntuk saling menyalahkan, banyak orang yang hanya asal bicara… selih baik koreksi diri itu yang paling perlu. terima kasih wasalamu alaikum…
Hidup wartawan, hidup penulis! terus siarkan dan kabarkan hal mana yang benar katakan benar, yang salah katakan salah. Maju teruuuuuuuuuuuussssssss.
Makasih boleh mampir dan kenalan di Blog Anda ini. Jadi ingat jaman-jaman kuliah dulu:)
berita adalah fakta, ketika berita keluar dari fakta dan tidak lagi obyektif adakah penggunaan jabatan disalahgunakan oleh si penulis, untuk kepentingan entah pribadi maupun kelompok,
Sudah sepatutnya di sesalkan atas pemenjaraan Risang, entah itu keteledoran dari si Risang yangmemposisikan diri sebagai nara sumber dalam pemberitaanya sehingga berita tidak lagi obyektif, namun telah menjadi subyektif ataukah memang demi persaingan dalam usaha surat kabar, tentu jika persaingan dalam usaha surat kabar maka sanksi bisa di tujukan pada Redaksi di mana tulisannya di muat, bukan Risang yang harus menggung akibatnya, namun adakah perlidungan dari Redaksi tempat risang bekerja atas segala hal yang ia tulis, sehingga Risang harus bertanggung jawab sendiri atas tulisan ayng dimuat di surat kabar yang seharusnya mungkin juga harus bertanggung jawab karena telah memuat tulisan yang ia tulis, meproses dan memuatnya.
mungkin justru perusahaan yang telah meuat tulisan itu justru yang lebih harus mendapat porsi terbanyak dalam mempertanggung jawabkan apa ayng telah disiarkan bukannya si penulis, karena perusahaanlah yang memiliki modal ayng lebih besar dalam tersebarnya sebuah berita.
maka bebaskan risang apabila perusahan yang memuat tulisannya juga tak tersentuh hukum karena telah terikat kerjasama, seharusnya perusahan juga menggung aikbatnya bahkan mendapat porsi lebih.