Otonomi Khusus Dalam Hukum Internasional (Catatan Kritis untuk Keistimewaan Yogyakarta)
Tulisan ini dimuat juga di hukumonline, lihat di sini
Pendahuluan
Otonomi khusus adalah salah satu bagian dari apa yang dinamakan Hak untuk menentukan nasib sendiri. Dalam praktek hukum internasional dijabarkan dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan juga Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Rumusan pasal 1 dari kedua kovenan ini ditujukan pada:
1. Masyarakat yang telah mendapatkan kemerdekaannya
2. Masyarakat yang tinggal di wilayah yang berlum mendapat kemerdekaan
3. Masyarakat yang tinggal di sebuah negara yang berada di bawah pendudukan militer asing.
Istilah otonomi sendiri muncul dalam berbagai konteks hukum. Dalam hukum nasional otonomi adalah bagian dari pemerintahan sendiri dari sebuah institusi dan organisasi publik. Dalam hak ini termasuk kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, yang menyatakan bahwa pemerintahan otonomi berhak mengatur urusannya sendiri melalui pengesahan sebuah Undang-undang. Dalam hukum internasional, otonomi berarti bahwa sebagian dari wilayah suatu negara diberikan kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri yang dalam beberapa hak dengan cara mengesahkan suatu undang-undang tanpa diikuti pembentukan usatu bangunan kenegaraan yang baru[1]. Menurut Lapidoth yang dikutip oleh Hans-Joachim Hentze terdapat beberapa konsep dari otonomi dalam konstruksi hukum yaitu :
1. as a right to act upon one’s own discretion in certain matters;
2. as a synonym of independence
3. as a synonym of decentralization
4. as exclusive powers of legislation, administration, and adjudication in specific areas of an autonomous entity
Secara prinsip, otonomi diberikan sebagai perolehan suatu wilayah berpemerintahan sendiri (internal-self government), sebagai pengakuan kemerdekaan parsial dari pengaruh pemerinthan pusat. Kemerdekaan ini hanya dapat ditetntukan melalui tingkatan otonomi dalam proses pengambilan keputusan politik.
Perolehan otonomi khusus dalam konteks hukum internasional pada umumnya didasarkan pada suatu perjuangan untuk memperoleh status politik dalam suatu negara yang telah merdeka. Hukum Internasional memang secara khusus membatasi hak untuk menentukan nasib sendiri yang berujung pada terbentuknya negara baru pada tiga kategori yaitu:
1. Masyarakat yang berada di bawah penguasaan (penjajahan) dari negara lain
2. Masyarakat yang berada dibawah pendudukan pemerintahan asing
3. Masyarakat yang masih tertindas oleh suatu pemerintahan yang otoriter.
Otonomi khusus dalam hukum internasional telah diakui sebagai salah satu jalan untuk menghindari proses disintegrasi dari suatu negara. Oleh karenanya Hukum internasional memberikan penghormatan terhadap perlindungan dari suatu kelompok bangsa atau etnis untuk mempertahankan identitasnya. Untuk itu salah satu keuntungan dari penerapan otonomi adalah sebagai salah satu sarana penyelesaian konflik. Perkembangan dari prinsip-prinsip otonomi ini sebagai hasil dari perkembangan hukum internasional secara umum yang didasarkan pada perlindungan terhadap hak asai manusia yang secara langsung berdampak pada pemajuan standar umum bagi kepercayan terhadap demokrasi, kesetraan, dan partisipasi rakyat dalam bidang ekonomi, social, budaya, politik, dan hukum dari suatu negara.
Adanya daerah otonomi dalam suatu negara (a self-governing intra state region) sebagai suatu mekanisme penyelesaian konflik adalah suatu tindakan pilihan bagi penyeleisan konflik internal, sehingga memaksa pemerintah pusat utnuk menciptakan daerah otonomi sebagai suatu intra state region with unique level of local self-government[2]. Untuk itu daerah otonomi harus mendapatkan pengakuan konstitusional dari negara induk yang didasarkan pada prinsip pemerintahan sendiri yang derajat kemandiriannya lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya dalam suatu negara
Isi Dari Otonomi
Otonomi dapat berarti keseimbangan yang dibangun dengan konstruksi hukum antara kedaulatan negara dan ekspresi dari identitas kelompok etnis atau bangsa dalam suatu negara. Secara konstitusional tingkat dari otonomi sendiri dapat ditentukan melalui pengalihan kekuasaan legislative dari organ nefara kepada lembaga dari daerah otonomi tersebut. Dengan mendasarkan prinsip kedualatan negara, satu atau lebih wilayah dapat diberikan status khusus sebagai daerah otonomi yang berhak menikmati local self-government yang menurut Lauri Hannikainen mencakup beberapa kewenangan dan isu tertentu yang penting antara lain:
1. Status dari daerah otonomi harus ditentukan dalam konstitusi atau UU yang berada diatas ketentuan perundang-undangan di sutau negara. Ini juga bisa didasarkan pada perjanjian antara pemerintah pusat dan masyarakat di daerah tersebut
2. Daerah otonomi harus mempunyai DPR yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat di daerah tersebut dan memiliki bebarapa kewenangan legislatif yang mandiri
3. Adanya kewenangan ekslusif dari pemerintah otonomi yang meliputi: pendidkan dan kebudayaan, kebijakan kebahasaan, urusan sosial, kebijakan agraria dan sumber daya alam, perlindungan lingkungan, pembangunan ekonomi dan perdagangan daerah, kesehatan, tata ruang, dan transportasi
4. Daerah otonomi mempunyai kemungkinan untuk menjadi salah satu pihak dalam proses pengambilan kebijakan dalam level nasional
5. Peradilan lokal harus menjadi bagian dari otonomi dan dapat menikmati kemandirian dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
6. Kewenangan dalam perpajakan akan memberikan dasar kuat bagi pembanguan ekonomi dari daerah otonomi
7. Daerah otonomi juga harus mempunyai hak untuk bekerja sama dengan daerah atau masyarakat lain di negara tetangga terutama dalam hal ekonomi dan budaya[3]
Hukum Internasional memang tidak memberikan pembatasan dalam pengaturan secara konstitusional dalam suatu negara dalam hal bentuk betuk sub sovereign status atau otonomi.
Menurut Husrt Hannum, otonomi yang lebih luas harus diikuti juga oleh perolehan beberapa kewenangan yang diurus secara langsung
1. DPR lokal yang dipilih dengan memiliki kewenangan legislatif yang mandiri
2. Kepala pemerintahan yang dipilih
3. Kekuasaan kehakiman lokal yang mandiri dengan kewenangan penuh untuk melakukan penafsiran terhadap peraturan lokal
4. Adanya perjanjian pembagian kekuasaan antara pemerintah otonomi dengan pemerintah pusat[4]
Suatu wilayah otonomi harus dapat menikmati penguasaan yang efektif atas beberapa masalah-masalah lokal dengan tetap dalam kerangkan norma dasar dari suatu negara. Otonomi tidak sama dengan kemerdekaan dan pemerintah daerah otonomi sulit untuk mengharapkan tidak adanya intervensi dari pemerintah pusat dan pada saat yang sama, negara harus mengadopsi fleksibilitas perlakuan yang akan membuat daerah otonomi mampu untuk mengelola kewenangannya secara nyata.
Yogyakarta, Otonomi Khusus, dan Praktek Indonesia
Dalam konteks Indonesia, daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:
PasaI 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan pengaturan baru ini, ada dua daerah (propinsi) yang diakui kekhususannya berkaitan dengan faktor sejarah ataupun politik, diantaranya adalah Papua melalui UU No 21 tahun 2001 dan Aceh melalui UU No 11 tahun 2006. Namun ada perbedaan mendasar dari perolehan status otonomi khusus yang diperoleh oleh dua propinsi ini, sifat otonomi khusus untuk Papua lebih merupakan tindakan sepihak dari pemerintah pusat sementara untuk Aceh adalah buah kesepakatan dari Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditanda tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Kedua provinsi ini mendapatkan status otonomi khusus dengan sejarah panjang melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat yang otoriter.
Dalam Konteks Yogyakarta, adalah sebuah keistimewaan karena Yogyakarta secara sepihak menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia melalui Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Sesudah itu Sri Sultan Hamengkubowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkembangan Keistimewaan Yogyakarta
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU Nomor 3 Tahun 1950 yang kemudian diubah menjadi UU No 19 Tahun 1950. Pemerintah DI Yogyakarta berdasarkan UU tersebut menikmati kewenangan antara lain:
1. Urusan Umum
2. Pemerintahan Umum.
3. Agraria.
4. Pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung.
5. Pertanian, Perikanan dan koperasi.
6. Kehewanan.
7. Keradjinan, perdagangan dalam negeri dan perindustrian.
8. Perburuhan.
9. Sosial.
10. Pembagian (Distribusi).
11. Penerangan.
12. Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan
13. Kesehatan.
14. Lalu lintas dan angkutan bermotor.
15. Perusahaan.
Dalam kedua peraturan perundang-undangan ini tidak tampak berbagai kewenangan khusus seperti yang telah dijabarkan oleh Hurst Hannum maupun oleh Lauri Hannikainen. Meski demikian sudah tampak berbagai kewenangan eksklusif dari Pemerintah DI Yogyakarta
Yang cukup menarik bahwa kedudukan penguasa kerajaan di Yogyakarta justru tidak diatur oleh kedua UU ini, secara politis ini berarti Pemerintah Pusat mengakui keduanya sebagai Penguasa dari DI Yogyakarta. Namun, dengan tidak adanya penjelasan secara hukum tentang posisi keduanya ini yang kemudian rentan dalam penafsiran tentang siapa yang berhak menduduki posisi eksekutif dalam pemerintahan di Yogyakarta. Dilema ini sudah muncul sejak meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DI Yogyakarta.
Dilema dari posisi dan keistimewaan dari Yogyakarta ini dicoba dijawab melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta yang dirancang oleh DPRD DI Yogyakarta. Untuk itu penting untuk melihat kewenangan yang digagas dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta ini.
No |
Isi Otonomi |
Pengaturan |
1 |
Status Daerah Otonomi |
Diatur melalui RUU Keistimewaan Yogyakarta |
2 |
Status dan Kewenangan DPRD |
Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan eksklusif |
3 |
Peradilan dan penegakan hukum |
Diatur melalui UU nasional yang berlaku; tidak mempunyai kewenangan eksklusif |
4 |
Perpajakan |
Diatur melalui UU Otonomi Daerah yang umum; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif |
5 |
Kerjasama Internasional |
-; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif |
6 |
Kewenangan Eksklusif |
Pertanahan, Budaya serta kewenangan lain yang telah diatur melalui UU Otonomi Daerah |
7 |
Pembagian Keuangan |
Diatur melalui UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; tidak mempunyai kewenangan ekskulsif |
8 |
Kepala Eksekutif |
Penetapan oleh DPRD Propinsi: hanya Sultan/Pakualam dan/atau kerabatnya yang berhak menduduki posisi eksekutif |
Dari sisi pengaturan otonomi, tidak tampak adanya perbedaan antara keistimewaan yang akan dipunyai oleh Yogyakarta dengan otonomi yang dinikmati oleh propinsi yang lain yang tidak berstatus istimewa. Hal ini berbeda dengan status yang saat ini dinikmati oleh Aceh dan Papua. Keistimewaan Yogyakarta hanya tampak pada pengisian posisi kepala dan wakil kepala eksekutif di Yogyakarta yang hanya bisa ditempati oleh Sultan/Pakualam dan/atau kerabat kerajaan dan juga kewenangan di bidang pertanahan (yang dikenal dengan sultan grond) dan juga budaya.
Dari sisi hukum akan sangat sayang apabila keistimewaan Yogyakarta hanya istimewa di tiga isu tersebut, karena sangat banyak kekhasan yang bisa diatur melalui UU Keistimewaan Yogyakarta. RUU Keistimewaan Yogyakarta dapat dinyatakan sebagai low degree of autonomy
[1] Hans-Joachim Heintze, On The Legal Understanding of Autonomy dalam Autonomy: Application and Implication, Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 7
[2] Kjell-Ake Nordquist, Autonomy As A Conflict Solving Mechanism-An Overview dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 59
[3] Lauri Hannikainen, Self Determination and Autonomy in International Law dalam Autonomy: Application and Implication Kluwer Law International, Finland, 1997, hal 90
[4] Hurst Hannum, Autonomy, Sovereignty, and Seld Determination: The Accomodation of Conflicting Rights, University of Pennsylvenia Press, Philadelphia, 1996, Hal 467
Saya setuju dengan pernyataan penutup tulisan di atas. Sebagai seorang anak bangsa yang dilahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, saya memandang bahwa dengan mengingat perjalanan sejarah penggabungan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman ke dalam Republik Indonesia, pemerintah pusat selayaknya membuat aturan mengenai DIY berupa undang-undang yang mengakomodasi Amanat 30 Oktober 1945.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman adalah negeri merdeka yang menggabungkan diri ke dalam bagian dari NKRI. Kenyataan ini harus dihormati oleh NKRI dengan memberikan wewenang otonomi yang lebih luas kepada DIY, yang bisa membedakannya dari provinsi-provinsi lain di Indonesia. DIY harus dipandang sebagai sebuah monarki konstitusional, bukan sebuah provinsi yang memiliki struktur seperti provinsi-provinsi lainnya.
Terus-terang, apabila Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman saat ini mencabut Amanat 30 Oktober 1945 dan menyatakan diri sebagai sebuah monarki yang merdeka, saya dengan bangga akan kembali ke DIY dan berdiri di belakang Sultan HB X dan Sri Paduka Pakualam IX. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman menyatakan bergabung dengan RI bukan untuk dijajah oleh Jakarta.
Saya sangat tidak suka dengan orang-orang yang bukan aseli DIY yang menjadi warga DIY dan merongrong agar Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman tidak otomatis menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Orang-orang seperti itu sebaiknya hengkang dari DIY dan silakan tinggal di provinsi yang bukan sebuah Daerah Istimewa.
Betul. Sangat disayangkan mana kala Yogyakarta yang sekarang hanya dilihat sebagai bagian Indonesia. Ingat! Yogya adalah kerajaan yang merdeka dan yang dengan sukarela menyatukan diri dalam keindonesiaan yang baru merdeka. Tapi bukan untuk diinjak-injak eksistensinya.
Kalau dalih agar demokratis identik dengan pemilihan langsung, ini adalah pikiran yang bodoh. Pemilihan langsung yang boros dan menyengsarakan rakyat itu di Indonesia ini hanya melahirkan pemimpi-pemimpi ulung dan bukan pemimpin ulung. Lihat bagaimana korupnya hasil pemilihan langsung! Benarkah pemilihan langsung sudah lebih baik dari Yogya?
Saya yang bukan Yogya pun tidak suka dengan hal itu. Tapi saya juga tidak suka pada pola pikir yang bersifat sektarian. Saya setuju pada pikiran yang bukan Yogya sebaiknya jangan ikut memperkeruh situasi, tapi silakan memberikan masukan kepada Saudara-saudara kita yang Yogya dengan jujur dan ikhlas. Jujur, saya lebih mendukung Yogya yang otonom termasuk mengatur dan menentukan pemerintahannya sendiri. Pemilihan langsung seperti sekarang hanya mekanisme demokrasi semu yang sangat korup dan menghancurkan tata kehidupan Yogya.
Ada satu hal lagi yang perlu diwaspadai terkait hingar bingar Keistimewaan Yogyakarta Hadiningrat. Saudara-saudaraku yang di Yogya, sebangsa dan setanah air. Hati-hati! Isyu YOGYA ini hanya merupakan pengalihan isyu yang lebih krusial. Isyu tentang BANK CENTURY DAN KASUS GAYUS. Semakin bertele-tele kasus Yogya, semakin menguntungkan dan menyenangkan kepentingan yang ingin mengaburkan kasus BANK CENTURY DAN KASUS GAYUS. Ingat, di sana tersimpan bencana dan tragi rakyat Indnesia. Sebaiknya Saudara-saudaraku ada yang tetap mengawal kasus BANK CENTURY DAN KASUS GAYUS, disamping tetap mengawal Keistimewaan Yogyakarta. Tapi kalau pemerintah pusat tidak bisa diingatkan, kenapa tidak referendum saja. Lebih cepat lebih baik dan aman. Bravo YOGYA …
Pingback: Komentar untuk Catatan Kritis untuk Keistimewaan Yogyakarta « Tak mimpi jadi pemimpin; Jadi rakyat kritis saja
Jogya? ya sangat disayangkan, ingat jogya yang selalu melekat dengan kultur jawa
Keistimewaan Jogja harus tetap terjaga dan dipertahankan, payung hukum Daerah Istimewa sesegera mungkin untuk disahkan menginggat Kesultanan Yogyakarta dan masyarakat Jogja memiliki budaya dan kekuatan yang kuat dalam mengatur/menyelenggarakan sebuah tatanan kepemerintahan bergaya kasultanan.
Pilihan bergabung dengan NKRI adalah sebuah bukti bahwa Raja Yogyakarta telah siap bersama-sama dengan daerah-daerah lainya menyatu membuat negara kepulauan raksasa didunia dengan harapan RI menjadi negara yang yang besar dan makmur, walaupun sebelum bergabung dengan NKRI Yogyakarta sudah berdaulat.
Arsitek Bangsa ini harus mampu mengkaji akan potensi kekuatan yang dimiliki oleh Yogyakarta, terutama kasultanannya, budayanya, kebersamaan dan semangat membangun NKRI. sehingga bisa menelurkan karya-karya kebijakan tentang Keistimewaan Yogyakarta yg tepat.
secara pribadi saya meyakini NKRI akan menjadi raksasa kekuatan baru didunia jika menejerialnya dimulai dari Yogyakarta, dengan semangat baru kebersamaan untuk memperbaiki tatanan NKRI. saya berharap Yogyakarta bisa memprakarsai “Komitmen Baru NKRI”.(ris G wicaksono)
@peyek
urusan jogja sama kultur Jawa apa pak? Saya jadi bingung nih *sambil pura-pura mikir dan tersenyum*
@ristiyono
terima kasih atas komentarnya
Jogja memang lain, sebab memang Istimewa. Istimewa dalam kaitan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia… Itulah pentingnya membaca sejarah..
@tulus
iya, benar sekali pak
Justru saya suka dengan dareah-daerah yang kultur nya masih kuat…Jogja memang istimewa….Pemerintahannya agresif dalam membantu pemasaran UKM…great^_^
sejarah boleh beda,,,,,,,tetapi kan wilayah tersebut masih dalam lingkup NKRI,,,,,,,,,ya seharusnya disamakan dengan wilayah atau daerah lain yang sama sama di NKRI ,,,,,,,kalo ada yang istimewa,,,,,,,,itu namanya nggak adil,,,,,,,,,
soal konsep pemberlakuan Otonomi Khusus … memang ok, tapi implentasi nya sangat rumit , Papua karena Otonomi Khusus telah memiliki Majelis Rakyat Papua (MRP), sayangnya MRP banyak kali di pojokkan ketika menyampaikan aspirasi masyarakat asli Papua. Jadi …untuk memaksimalkan implementasi Otonomi Khusus di Indonesia , perlu ada Menteri yang membidanginya. begitu Pak, terima kasih
saya sangat setuju dengan adanya otsus. tapi pemerintah paham k tidak soal otsus, jangan hanya karena takut papua mau merdeka jadi kasih otsus, klau jogja pantas karena sesama ras melayu
saya setuju banget yogya punya otonomi kaya negara wales atau skotlandia sehingga bisa ikut sepakbola AFC atau FIFA jadi indonesia bisa diwakili dua wakil. aceh sebenarnya bisa ikut AFC karena punya kedaulatan bidang olahraga
yang bener
iya bener
yang bener
Harusnya ini bisa dilihat sebagai alternatif dalam mencari pemimpin yang bisa dipandang sebagai sosok pengayom dan panutan. Demokrasi cara Barat mengandung kelemahan tidak berhasilnya memunculkan sosok bapak pemimpin sekaligus panutan yang dicintai rakyatnya, karena hanya mengedepankan urusan duniawi dan sifatnya jangka pendek/sementara dan berasal dari filosofi Barat yang materialistik. Rakyat Jogja menemukan cara yang khas dalam mencari sosok bapak dan menyatukan seluruh rakyat Jogja. Saya rasa biarkan rakyat Jogja memilih caranya dan jangan memaksakan cara yang tidak sesuai malah menimbulkan perpecahan. Atau mungkin fenomena inilah yang dikawatirkan para pemimpin Pusat karena tidak mendapatkan tempat di hati sebagian rakyatnya ?
Pingback: Referendum Untuk Yogya « Dunia Anggara
biasa aja tuh
Keistimewaan Yogyakarta seutuhnya adalah harga mati. Sekali ISTIMEWA tetap ISTIMEWA, kalau SBY dan Partai Demokrat tetap menolak DIY, semua rakyat YOGYA akan bergerak.
Saya setuju keistimewaan Yogyakarta dipertatahpakan, karena merupakan suatu keunikan dan keragaman sistem pemerintahan dan kekuasaan di Indonesia, bagai mana kita wujudkan keistimewaan tersebut ini yang menjadi masalah. Yogyakarta adalah sebuah kerajaan, tetapi kerajaan yang konstitusional. Yang menjadi masalah dewasa ini adalah adanya arus demokratisasi dalam tatanan pemerintahan, apakah jika kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat atau gubenur DIY dipilih oleh rakyat, apakah keististimewaan DIY akan hilang, saya kira tidak, yang penting sekarang keistimewaannya itu ditempatkan sebagai kepala daerah itu tetap pada raja, raja adalah kepada daerah, bukan kepala pemerintahan, atau ingin dua-duanya raja adalah kepala daerah dan kepala pemerintahan. Kalau ini yang terjadi, berarti semangat demokrasi akan luntur di Ngayogyakarta. Mari kita berenung dengan kesadaran dan kearifan. Tetapi yang paling pas adalah apa yang dapat diputuskan oleh keluarga kesultanan dipadukan dengan apa yang dikendaki oleh rakyat. Referendum memang sebuah alternatif, namun jangan sampai referendum menimbulkan gesekan horizontal, sangata kami sayangkan jika referendum tersebut hanya dimenangkan olh salah satu opsi. Yang paling pas adalah kita lakukan survey olh lembaga independen, seperti LSI atau lainnya minimal ada 5 lembaga survey yang kita gunakan utk mengetahui apa yang dinginkan rakyat Ngayogyakarta. tentu dari 5 itu kita ambil hasil rata-ratanya ? http://www.tadjidanms mataram NTB
apa cuman jogja aja yg istimmewa.
truz yg lainya jadi pas……….
daerah otonomi khusus diatur dalam Pasal 18 B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
>> ini masalah yang sangat kritis,jika berlarut-larut bisa jadi akan ada aksi Gerakan Yogyakarta Merdeka. satu per satu daerah NKRI akan menuntut merdeka karena sudah tidak percaya lagi dengan Pemimpin Negara / Pemerintah Pusat, parahnya kalau semua daerah kompak,bukan lagi reformasi tapi Revolusi yang akan terjadi.
satu per satu daerah otonomi khusus di indonesia minta merdeka,karna sudah muak dengan pusat. apakah ini akan terjadi juga dengan Yogyakarta?…