Mengadili Keyakinan


Saya heran dengan beberapa kasus yang dianggap “aliran sesat” oleh MUI dan kemudian malah diproses oleh kepolisian. Karena bagaimana caranya mengadili suatu keyakinan yang hanya ada di ranah kepercayaan

Tindak pidana penghinaan terhadap agama diatur dalam Pasal 156 a dan 157 ayat (1) KUHP yang berbunyi

Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal 157

(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketuhui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dcngan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling hanyak empat rupiah lima ratus rupiah.

Rumusan pasal 156a dan 157 ayat (1) KUHP ini, menurut pendapat saya sangat subyektif dan sulit diukur dengan satu ukuran yang pasti. Kenapa saya berpendapat seperti itu, karena rumusannya lebih masuk pada rumusan “seseorang yang sedang menyatakan pendapatnya tentang sesuatu hal yang diyakininya benar sementara menurut pendapat umum (mayoritas) adalah tidak benar”

Saya melihat penggunaan ketentuan ini kepada para penganut “aliran sesat” terlihat berlebihan, karena sekali lagi yang diadili adalah kepercayaan dan keyakinan.

Lain soal kalau yang diadili adalah perbuatan “menganjurkan orang untuk melakukan sesuatu yang merusak”, kalau ini lebih terang unsur perbuatan yang dapat diadili

Nah kalau dia “berdakwah” tentang keyakinannya kenapa harus dihadapi dengan hukum pidana (lebih banyak malah kekerasan) kenapa tidak dihadapi dengan dakwah juga?

Advertisement
16 comments
  1. Zka said:

    Jadi kalau menurut anggara, apa ini bisa kita ajukan ke MK dengan alasan bertentangan dengan Pasal 29 UUD?

  2. anggara said:

    @zka
    bisa aja sih, namun dugaan saya putusannya akan berbunyi “conditionally constitutional” seperti hukuman mati

  3. Nenda Fadhilah said:

    Abis baca jurnal, disana ditulis: “freedom of belief is absolute but freedom to act is not absolute”.
    Jadi yang bisa pemerintah atur itu masalah tindakannya. Kayak kepercayaan Children of God yang menganjurkan seks bebas atau kepercayaan yang menghalalkan perbuatan pidana seperti pencurian terhadap penganut agama lain.

  4. Yari NK said:

    emang “penyalahgunaanan dan penodaan suatu agama” definisinya bagaimana sih?????
    Batas-batas penyalahgunaan dan penodaan suatu agama definisinya nggak jelas menurut saya.

  5. anggara said:

    @nenda
    aku sepakat, dan memang seperti itulah yang seharusnya

    @yari
    sayang saya belum melihat ada satu putusan MA yang memberikan definisi atau doktrin tentang hal itu kang

  6. Rob said:

    Pertanyaannya adalah “Apakah ada kepercayaan bebas di Indonesia berdasarkan UUD 1945 atau tidak?”

    Kalau jawabannya adalah “Iya”, maka pasal2 dari KUHP tidak sesuai dengan UUD dan dapat di-judicial review-kan. Dan, kalau jawabannya “tidak”, maka pemerintah harus menerapkan KUHP.

    Tapi ini isu yang sangat rumit dan sulit karena pemerintah harus bertanggung jawab dalam rangka melindungi hak rakyat untuk kepercayaan bebas tapi juga harus mengormati pendapat ‘ahli’ di hal2 yang terkait dengan agama Islam, yaitu Ulama2 dari MUI…namanya “between a rock and a hard place”.

  7. Yari NK said:

    Nah, itu dia kang, berarti aliran2 itu ‘kan belum tentu ‘menodai’ suatu agama, karena definisinya belum jelas.
    Contohnya: Agama Kristen menanggap Jesus Christ / Isa A.S. itu bagian dari trinitas Ketuhanan, sedangkan dalam agama Islam menganggap Isa A.S. itu sebagai nabi. Jadi apakah kedua agama itu saling ‘menodai’?

    Lagipula, Indonesia ‘kan bukan negara yang berlandaskan pada satu atau dua agama saja, ya boleh-boleh saja ada pasal seperti di atas mengenai masalah ‘penodaan suatu agama’ namun tentu harus lebih lengkap dengan definisi yang jelas, agar tidak melanggar hak2 individu tentang ajaran yang dipercayainya.

    Toh juga dalam beragama (menurut agama Islam juga) tidak boleh adanya pemaksaan. Kita hanya bisa menghimbau mereka yang ‘sesat’ untuk kembali ke jalan yang benar lewat dakwah dan diskusi bukan dengan cara pemaksaan apalagi dengan kekerasan!

  8. anggara said:

    @rob
    terima kasih atas kunjungannya, saya terkejut ternyata pak rob ini sangat lancar berbahasa Indonesia. Saya berpendapat kebebasan beragama itu ada dalam UUD, oleh karenanya tentu bisa dimintakan uji materinya di MK, hanya kalaupun di uji materikan maka saya duga hasilnya akan menjadi “conditionally constitutional”.
    Saya pikir adalah kewenangan MUI untuk menyatakan sebuah aliran sesat atau tidak akan tetapi bukan kewenangan mereka untuk kemudian menutup apalagi mempidanakan kalau tidak ada perbuatan yang secara langsung berakibat pada terganggunya ketertiban umum

    @yari
    saya sepakat dengan pendapat kang yari

  9. khim said:

    sebenernya yang jadi masalah kenapa sampai aliran sesat itu diproses seperti itu, yaitu karena mereka tetap membawa nama Islam dan mengaku sebagai Islam, dengan dasar keimanan yang melenceng dari Islam.

    kalau mereka pakai nama lain, agama Bejo, misalnya, seharusnya tidak jadi masalah.

  10. anggara said:

    @khim
    sekali lagi pertanyaan mendasarnya adalah, bagaimana caranya anda mengadili keyakinan. kan tidak bisa. yang bisa diadili adalah perbuatan, apakah “dakwah” (dalam pandangan kaum yang dituduh “sesat”) yang dilakukan oleh mereka itu dilarang secara hukum? bukannya lebih baik dakwah dilawan dengan dakwah?

  11. khim said:

    hal ini tidak sama dengan ‘perang dakwah’ antara agama yang berbeda.
    mereka ‘berdakwah’ dengan tetap membawa nama agama yang disimpangkan ajarannya, saya rasa ini lebih tepat di sebut sebagai fitnah

  12. anggara said:

    @khim
    saya pikir esensinya sama saja, bagaimana anda yakin bahwa suatu pendapat yang mayoritas tersebut adalah yang “paling benar”. menurut saya sih sepanjang tidak melakukan suatu “perbuatan” tetap saja tidak bisa dipidana.
    pertanyaan mendasar saya malah belum dijawab, bagaimana caranya mempidana keyakinan dan pikiran?

  13. khim said:

    perbuatannya ya fitnah itu tadi

    mempidananya, ga tau ya, saya ga pernah belajar masalah hukum menghukum

  14. anggara said:

    @khim
    apa yang mayoritas juga tidak melakukan fitnah, sementara tidak ada ruang terbuka untuk mendiskusikan gagasan dan mempertukarkan gagasan atau ide atau keyakinan masing-masing dengan cara yang baik? belum ada ruang diskusi langsung dinyatakan sesat 😀

  15. khim said:

    rasanya kok jadi seperti maling menyatakan dirinya tidak bersalah karena menurut hukum buatan si maling mencuri itu boleh2 saja.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: