Sensor Dalam Dunia Film di Indonesia


Perfilman di Indonesia diatur melalui UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, sekelompok masyarakat dibawah Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesiapun mengajukan hak uji materi dikarenakan UU Perfilman ini mengijinkan sensor terhadap karya yang sudah dihasilkan oleh para sineas film. (unduh permohonan uji materi UU Perfilman)

Persoalan besarnya apakah sensor itu sendiri bertentangan dengan jaminan konstitusional tentang hak asasi manusia dalam UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya.

Film, sebagaimana media ekspresi lainnya dalam hukum Internasional diatur melalui Pasal 19 baik dalam Deklarasi Universal HAM dan juga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Dalam konteks kebebasan berekspresi dikenal adanya pembatasan tertentu (vide Pasal 19 ayat (3) KIHSP) yang dapat dianggap sah berdasarkan norma-norma hukum Internasional dalam hal ini yaitu: pembatasan dilakukan dengan UU, dipergunakan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.

Pemerintah dan DPR dalam hal ini sebagai pembuat UU tentu dapat menentukan sejauh mana pembatasan-pembatasan (sensor) dalam dunia perfilman dapat dikenakan. Namun, sekali lagi, pertanyaan besarnya sejauh manakah pembatasan tersebut memenuhi kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan yang baik? Misalnya apakah kegiatan sensor sebagaimana dimaksud dalam UU Perfilman tersebut memenuhi kaidah lex certa (kejelasan perumusan) atau apakah sensor tersebut benar-benar diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.

Saya sendiri berpandangan bahwa sensor itu tidak diperlukan, karena dapat menghalangi kemampuan dan kreatifitas para pembuatnya. Saya ingat pada suatu waktu Film Indonesia pernah mengalami masa – masa suram karena adanya sensor yang berlebihan ini dan akibatnya yang muncul adalah film-film yang tidak bermutu.

20 comments
  1. Nazieb said:

    Sepakat, Mas…
    Justru sensor itu biasanya malah membuat pencipta karya menjadi tertantang untuk “nakal” dan mengakali sensor yang ada..
    Apa adanya lebih baik πŸ˜€

  2. apalagi kalo sensornya subyektif
    mestinya biar masyarakat yg menilai yak

  3. anggara said:

    @nazieb
    betul, saya sepakat dengan pendapatnya mas

    @caplang
    let the market decide :mrgreen:

  4. Yari NK said:

    Menurut saya sensor dan badan sensor itu sangat perlu sekali…..
    Kenapa?? Supaya mereka punya pekerjaan dan nggak menambah penggangguran! Wakakakakak…. πŸ˜†

  5. nopie said:

    bukan tidak perlu, tetapi selama film itu berada diwilayah indonesia maka sangat penting bagi sineasnya untuk mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya di Indonesia. lebih jelasnya menjadi tantangan bagi film maker berekspresi dengan bercermin pada kondisi tersebut. tetapi memang lembaga sensor kali ini menyikapi film yang beredar terlalu “berle” mereka terlalu subyektif, tidak melihat pemahaman masyarakat penikmat dan pemerhati film tentang pentingnya mempertahankan setiap jengkal alur yang ada.

    ya… menurut saya sih film komersil yang beredar maih dalam ranah yang dapat diterima dan belum ada yang peru di sensor. sekali lagi perlunya pemahaman yang sama tentang ranah yang boleh dan yang tidak.

    dan yang paling penting selama film tersebut masih dapat diterima berarti inilah kondisi sosbud kita.

    apapun kondisinya kreatifitas tidak akan pernah mati !!!!

  6. anggara said:

    @yari
    bisa aja kang yari nih

    @nopie
    nah itu dia yang jadi masalah, karena subyektifitas sangat tergantung pada kondisi masing-masing orang

  7. penyensoran bikin film tambah menyedihkan untuk di lihat…
    yang paling aq gak suka tuh pas pirates of carribean ntu….banyak sensornya..jadi ilfil pas nonton..untung yang ngajak nonton gak bikin ilfil πŸ˜›

  8. Clay Carter said:

    Kalo gak ada sensor bakalan banyak kerjaan buat para lawyer media nih..he3..

    tapi menurut saya peraturan sensor di Indonesia telah cukup jelas koq rumusannya..terlalu mendetail bahkan..coba saja lihat PP nya….

  9. anggara said:

    @angelndutz
    betul dan tepat sekali πŸ™‚

    @clay
    tapi tujuan yang hendak dilindungi apa? itu pertanyaan mendasar buat saya sih

    @aya
    gitu ya pak πŸ™‚

  10. Clay Carter said:

    yang hendak dilindungi ya beberapa hal yang disebutkan dalam 19 (3) ICCPR. SIlahkan tengok Siracusa Principles on the limitation and derogation provisions in the international covenant on civil and political rights dan The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information Principles untuk perumusan secara lebih jelas tentang pembatasan yang disebutkan dalam 19 (3).

  11. anggara said:

    @clay
    anda sepertinya sangat expert dalam bidang ini, gimana kalau anda buat blog, atau kalau malas anda bisa buat tulisan disini silahkan kirim email ke saya

  12. Clay Carter said:

    gak, saya bukan expert koq..kebetulan pernah diajarin mentor dulu di LBH Jakarta…ya lumayan lah bisa tau sedikit aturan2 semacam itu..

  13. anggara said:

    @clay
    ooh alumni kalabahu LBH Jakarta yaa, pantas hafal benar dengan instrumen HAM internasional πŸ™‚

  14. Pendapat saya tentang lembaga sensor : perlu sekali sebab siapa yang bisa mencegah anak2 untuk nonton sebuah tayangan ? padahal tayangan itu ada hal2 yang buruk untuk anak2 mungkin sebagian film ada yang mengutamakan adegan yang tidak seharusnya ditonton oleh anak2 sehingga bila disensor akan merubah makna dari film itu sendiri….tapi kan sulit ya kalo tiba2 anak2 kita melihatnya…..ah. semoga ada penyelesaian yang lebih bijak ya.
    salam
    Listiana Lestari

  15. anggara said:

    @listiana
    menurut saya, malah nggak perlu lembaga sensor itu, yang diperlukan adalah soal pengaturan distribusi produk filmya

  16. kenapa kok bukannya soal distribusi itu yg dibahas. saya capek nih dicekokin film amerika, sejak kran film import amerika dibuka besar besaran tahun 80an itu. πŸ™‚

  17. anggara said:

    @papabonbon
    ha…ha….ha…itu berarti kita harus meningkatkan kualitas film Indonesia dong, bukan persoalan kran impor

  18. syem said:

    kalau saya sih…. sebagai warga negara yg baik, harus trimalah perpu yg ditetapkan, dan kalaupun dlm suatu UU ada pihak yg dirugikan sprti para sineas film yg kebebasannya seolah direnggut, itu mah tantangan pra kreator film lokal untuk menciptakan sesuatu yg menarik tp tdk negatif. karna setau saya sih, yg disensor tuch cuma yg negatif-2 aja. bicara tentang HAM, org bnyak menangapinya berlebihan smp menembus batas norma, padahal pengaruh media trhadap tingkah laku sosial sangat tajam & itulah alasan adanya sensor, masyarakat kita kan heterogen hampir dalam segala aspek termasuk dalam menyikapi sebuah tayangan seperti film. sperti kasus smack down dulu, mski tayangannya tngah malam saat anak-2 tidur, tapi penontonnya didominasi ank-2 juga yg berdampak pada praktek kekerasan krn mniru tyangan itu, jd jln satu-2nya untuk mencgah itu ya sensor, agar tidak terjadi penghandelan trhadap suatu tontonan, dan itu lbih merugikan pembuat film krn kryanya malah sama skali tidak boleh ditayangkan. untuk menikmati film original atau film tnpa sensor, skarangkan banyak di internet. kalau ingin menikmati film dari stasiun TV atau CD yg dipasarkan dalam pengawasan UU, kita harus trima segala kekurangannya. kalau UU tntang film ditiadakan, sperti apa jdinya masyarakat indonesia yg kita tahu cenderung mengikuti pola hidup bintang idolanya? bahkan dengan sensor, tingkah laku sosial yg semakin buruk tidak dapat dielakan krn pngaruh film dan smacamnya, pa lagi tidak ada pembatasan. maaf trlalu panjang, tp saya sangat tertarik dengan artikel ini.

    • @syem
      terima kasih atas komentar anda

Leave a reply to anggara Cancel reply