Liputan Pemeriksaan Pendahuluan II UU Pornografi
Senin, 13 April 2009 pada pukul 15.00 Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika mempresentasikan dihadapan Majelis Panel Mahkamah Konstitusi tentang beberapa perbaikan sesuai nasihat dalam Sidang Pendahuluan I. Selain itu kami juga melaporkan pencabutan permohonan dari Wahid Institute dan masukknya Happy Salma sebagai Pemohon dalam perkara 17/PUU-VII/2009.
Pada prinsipnya tidak ada perubahan substansial dalam permohonan revisi ini, namun hanya melakukan formulasi ulang terhadap struktur permohonan dan mempertegas kembali kedudukan hukum dan kepentingan hukum dari Para Pemohon serta memperkuat kerugian konstitusional yang dialami oleh masing – masing pemohon. Silahkan lihat beritanya disini dan disini. Update: silahkan unduh risalah sidangnya disini
Kang, sy mah gag begitu ngerti, apalagi sih kekurang puasan anda dan pemohon terhadap UU Pornografi dan Pornoaksi ini. Kebebasan apa sih yang mereka inginkan di negeri Indonesia ini. Apa mereka ingin agar negara kita seperti negara liberal lain, boleh telanjang, boleh freesex, dan boleh boleh yang lain. Trus anda sbg seorang advokat, begitu saja menerima untuk mengadvokasi permohonan mereka yang menurut sy berlebihan itu. Hampir 6 bulan UU itu berlaku, adakah yg secara substantif hak2 mereka terabaikan. Kebebasan spt apa lagi sih yg dan mereka inginkan?
mas anggara, bisa tolong di jawab pertanyaan chingoksmell di atas? sepertinya juga akan menjawab rasa penasaran sy.
terima kasih
“Susah memang kalau narrow-minded dan hard-headed. Apapun produk hukum yang dibuat pasti ditanggapinya sebagai memasung kemerdekaan. Memangnya kemerdekaan seperti apa sih yang anda dan mereka maui? Kemerdekaan seperti di negara2 Barat? Fine! Coba deh tinggal di negara Barat, rasakan tentang “kemerdekaan” yang anda impikan. Di Barat aja yang menurut khayalan kalian itu bebas melakukan apa saja, justru banyak sekali aturan yang membatasi kebebasan. Anda bisa saja dituntut sebagai telah menyebabkan ketidaknyamanan bagi publik, padahal menurut anda tidak begitu. Di Barat, masalah kecil seperti karena noise dari dalam rumah yang terdengar keras sampe ke tetangga dan kalau tetangga merasa terganggu, anda bisa disatroni oleh polisi, dan nama anda akan tercatat sebagai orang yang menyebabkan keributan di kota itu. Di Indonesia, mana ada aturan seperti itu? Sama juga dengan kepornoan yang anda agung-agungkan sebagai hak berekspresi, kreativitas seni, dll. Maunya anda kan siapapun bebas memakai atau tidak memakai apapun. Anda memang akan bilang yang penting orang lain jangan berpikiran porno. Padahal, orang lain itu sudah hidup dalam keadaan nyaman, aman, tentram, sampai akhirnya anda datang dengan perilaku porno (yang menurut kalian sih tidak porno sebab bagi anda porno itu sudah biasa sehingga yang porno itu sudah tdk sianggap porno lagi), yang akhirnya masyarakat menjadi tidak nyaman karena anda. Lhaaa, sekarang kok anda menyalahkan masyarakat banyak yang terganggu oleh anda, kenapa anda tidak introspeksi diri, coba lihat ke dalam diri anda kenapa kok masyarakat banyak sampai terganggu? Memangnya kemerdekaan dan kebebasan seperti apa yang anda inginkan? Kebebesan berbuatu semau gue dan tak peduli meskipun masyarakat luas terganggu? Get real, man! Grow up!”
@chingoksmell
sebenarnya coba anda dalami lagi permohonan tersebut, adakah dalam permohonan disebutkan baik, implisit ataupun ekplisit, jika para pemohon mendukung kebebasan tanpa batas? Tanpa UU Pornografi sudah cukup banyak aturan hukum, terutama di KUHP, yang dapat membendung pornografi, namun masalahnya adalah tidak pernah diterapkan secara baik dan benar.
nah apakah ketidak tegasan aparat penegak hukum kemudian membolehkan orang untuk membuat aturan-aturan lain yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku? Tentu tidak, karena akan mengakibatkan ketidak stabilan sistem hukum dan guncangan terhadap prinsip – prinsip negara hukum. Saya teringat ucapan Prof Sahetapy yang menyatakan bahwa banyaknya UU menunjukkan suatu negara itu lemah.
Mengenai gangguan terhadap tetangga, juga ada aturannya di KUHP, HO (UU Gangguan), KUHPerdata, Perda, dll. Namun kan tidak pernah ditegakkan, beda dengan di Eropa atau di Canada dan AS. Jadi kalau enggak pernah ditegakkan bukan berarti enggak ada aturannya kan :).
“Menurut sy, alasan pembenar yang anda sampaikan sangat mengada-ada, gag substansial, gag mendasar, hanya bersandar pada teknik hukum semata, hanya berdasar bahwa terlalu banyak peraturan akan membuat suasana suatu negara tidak nyaman, tidak stabil. Seharusnya, anda melihat dari sisi filososi mengapa sesuatu peraturan perundang-undangan itu dibuat atau dibentuk (apalagi anda pernah belajar dari Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Komar Kantaatmadja mengenai hal itu). Menurut sy, tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan pada ujungnya adalah rasa keadilan masyarakat terbesar, artinya sangat-sangat harus memperhatikan faktor common sense masyarakat umum Indonesia. Jika pemikiran kita berangkat dari pemahaman demokrasi, maka sebagian besar masyarakat Indonesia menginginkan keberadaan Undang-Undang tersebut. Keinginan sebagian kecil masyarakat (yang sebenarnya gag memahami substansi diaturnya suatu aturan dalam bentuk peraturan perundang-undangan), bisa saja “agak” kurang diindahkan. Bukankah prinsip demokrasi yang sangat anda “sanjung” tinggi seperti itu? Selanjutnya, coba perhatikan implementasi klausul-klausul Undang Undang itu dalam kurun 6 (enam) bulan terakhir ini. Adakah ia memasung kebebasan “berekspresi” dan “berkereasi” yang mereka lakukan? Adakah bukti bahwa dengan berlakunya Undang-Undang itu, terjadi ketidak stabilan sistem hukum dan guncangan terhadap prinsip-prinsip negara hukum yang anda kemukakan di atas? Yang ada hanya rasa takut dan suudzon yang berlebihan di pihak anda. Bisa saya simpulkan bahwa anda dan teman-teman sebagai “mania demokrasi” mempunyai standar ganda dalam melakukan penilaian terhadap kebebasan yang anda dan teman-teman anda idam-idamkan (demokrasi) selama ini. Di satu sisi, anda dan teman-teman anda menginginkan kebebasan berekspresi dan berkreasi, tapi dilain pihak anda dan teman-teman anda telah menginjak-injak prinsip-prinsip demokrasi, dimana keinginan terbesar masyarakat (common sense) menginginkan keberadaan Undang-Undang tersebut, dan tentu saja yang harus didahulukan dibandingkan keinginan “segelintir” orang (anda dan teman-teman anda) yang menginginkan Undang-Undang itu dihapus sama sekali dari Bumi Pertiwi Indonesia, hanya dengan dalih, sekali lagi, hanya dengan dalih telah ada ketentuan dan klausul yang sama pada Undang-Undang eksisting selama ini dan dikhawatirkan tumpang tindah. Sy yakin, jika dasar anda dalam melakukan uji materil hanya berdasarkan alasan teknik hukum tumpang tindihnya aturan yang telah ada, maka uji materil itu akan dimentahkan oleh Majelis Hakim. Salam.”
@chingoksmell
terima kasih atas pendapatnya dan juga terima kasih sudah menjadi Tuhan karena bisa menentukan apa yang terjadi 🙂 salam
Sy kasihan melihat anda dan teman2 anda yang membabi-buta mencari pembenara agar keberadaan UUPP dihapus, dan dengan naifnya menuduh sy telah menjadi Tuhan. Grow up, man!
@chingoksmell
buat saya menang atau kalah bukan persoalan besar, meski saya juga menginginkan kemenangan. Namun yang paling penting adalah bagaimana berproses dengan benar sesuai dengan tugas profesional saya dan kepatuhan terhadap kode etik advokat. Soal Tuhan saya kutip tulisan anda yaa
Salam
Nui undang2 da blaku lum sih . . . ???????
jgn bkin bnun dunka . . . Tpi . . . . . . . . .ga jdi ah. .. Wakakakakakakakkkak……..
@rggz
sudah